PERJUANGAN MEMBANGKITKAN SENI TRADISI


Pahit dan Getirnya Membangun Kesenian di Kecamatan Cisewu (Episode I)
Oleh: Gun Gun Nugraha*)


SEDIKIT sekali orang mengetahui tentang perjalanan saya dalam membangun kesenian yang sudah punah puluhan tahun di kecamatan Cisewu, supaya bisa kembali tegak berdiri. Bertahun-tahun saya mencari dan menemui nama-nama tokoh yang berkaitan dengan kesenian di kota Garut atas petunjuk kang Edi (Eks. Sekmat Cisewu), diantaranya Kang Deden Erlis, Pa Maman Sudarman, Empit Supriatna, dll. Dengan harapan bisa membantu saya dalam mewujudkan visi-misi ini.
            Di tahun 2011 yang lalu, saya pergi menemui kang Maman Sudarman. Sampai bermalam di rumahnya. Keluarganya begitu baik menyambut saya, ( terimakasih buat si Ibu, istri kang Maman). Saya terus menyampaikan bagaimana kondisi kesenian tradisi Cisewu saat itu kepada beliau, dan mohon adanya perhatian untuk perkembangan kesenian tradisi di daerah
            Selain itu, hampir setiap nama mantan tokoh seni dulu yang ku dengar di jumpai. Blusukan hingga ke kaki-kaki gunung antaralain : Alm. Aki Rahmat macan (seniman debus), Abah Icang ( tokoh reog dan calung), dsb. Mengajak kembali mereka agar bisa semangat kembali berkesenian. Membangkitkan kembali seni tradisi yang sudah lama punah. Tentu saja biaya perjalanan ini saya tanggung sendiri, saya harus mengorbankan tenaga, pikiran, waktu dan materi untuk memperjuangkan visi-misi ini sejak tahun 2009.
 Tidak jarang, saya harus anyukna hutang  untuk membiayai gelar budaya tahunan, termasuk  saya merelakan tanah dan uang pribadi untuk berrdirinya bangunan sanggar seni. Yang terpikir oleh saya, bagamana kesenian tradisi itu harus hidup kembali.
            Sepenggal cerita ini, menunjukan bahwa bukanlah proses yang mudah untuk mewujudkan cita dan rasa: Supaya kesenian tradisi itu bangkit kembali seperti dulu. Torehan prestasi yang diraih saat ini, diperjuangkan dengan susah payah. Dalam perjuangan iitu, saya tidak peduli orang-orang menyebut saya gila, kuno, untuk kepentingan politik, pengkhianat, kampungan dan kata-kata meremehkan lainnya.


Karena saya menyadari, jika dalam perjuangan itu: orang-orang akan memandang sebelah mata, meremehkan, dan jika telah berhasil mereka akan datang berbondong-bondong  menyanjung kita, dan merasa menjadi sama-sama pahlawan, atau bisa jadi kita akan dikucilkan serta dituduh sebagai pengkhianat.
            Saya selalu berterimakasih kepada para penasihat (Pak Yoyo, Pak Mei, Kang Edi dan Kang Dik-dik, Kang Asep serta semuah tokoh masyarakat Cisewu)  dan orang-orang yang telah membantu saya dalam perjuangan ini. Untuk terus mengumpulkan pundi-pundi prestasi. Serta mewujudkan semua gagasan saya. Saya juga mengucapkan terimakasih pada kawan-kawan dan saudara-saudara yang telah membantu dalam perjuangan ini: Hendra Sukmawan, Deden Farid, Anggi Pebriana, Darmawan, Rohana GP, Egis Sugestian, dan masih banyak lagi.
            Dan sebuah catatan: Saya harus terus berevaluasi untuk kesempurnaan jiwa saya: Jangan pernah angkuh dan puas terhadap sebuah torehan prestasi. Jangan lupakan orang-orang yang telah berjasa dalam mensukseskan gagasan. Teruslah berevolusi sehingga kesenian tradisi nanti bukan hanya sekedar jaya kembali, tapi bisa mensejahterakan para pegiatnya, tanpa harus kehilangan nilai-nilai tradisi lamanya. Serta lebih penting, curhatlah pada tuhan, karena tuhan tak akan mengkhianati kita dan selalu setia mendengarkan kita. *** 14 Oktober 2014, jam 01. 30 WIB.

*)Gun Gun Nugraha, Alumni STSI Bandung dan Mantan Jurnalis Garut Pos

Post a Comment

0 Comments