Menata
Masyarakat Kehilangangan Identitas Budaya
Oleh: Gun Gun Nugraha
KITA sekarang
berada di sebuah peradaban yang tidak jelas identitas budayanya. Ketidakjelasan
budaya masyarakat ini, d akibatkan
ruang-ruang agama dan budaya Barat, yang dipublikasikan gencar oleh media masa
kita (baik elektronik atau ataupun media cetak), merambah terlalu jauh bahkan sering menghancurkan sistem
kebudayaan lokal atau kearifan lokal warisan karuhun. Adat istiadat warisan leluhur
seperti acara ngepret, yang
dilaksakan ketika tahun baru Islam, acara menyambut kelahiran bayi, upacara
menanam padi atau panen raya, dan lain sebagainya. Kini telah ditinggalkan masyarakat
. Sehingga, hakikatnya atau maknanya pun pupus sudah. Dampak dari itu, bangsa
menjadi anarkis, individualistis, tak ada sopan santun, hedonis, bahkan menjadi
brutal tak berperikemanusiaan.
Selain dari itu, yang lebih parahnya ritual tahlilan
(mendo’akan orang sudah meninggal) dan marhabaan yang sudah berjalan ratusan
tahun sebagai warisan para wali --para wali sudah jelas merupakan orang yang
tingkat keilmuan, ketaqwaan atau ketaatannya pada sang pencipta lebih dari
orang sekarang (orang Islam sekarang kebanyakan cuma asal bisa bicara saja,
terkadang keliru atau dasar pemikirannya dangkal sudah berani menentang adat
istiadat tanpa penggalian hakikat lebih jauh. Keduanya (tahlilan dan marhabaan)
diperangi oleh sebagian kalangan, yang sepi sejarah dan kering pengetahuan
falsafahnya. Bagaimana jika tahlilan merupakan sebuah kebenaran, maka yang
menjadi korban dari pemikiran sempit itu adalah keluarga kita sendiri.
Sebagian orang, kata “Pamali” dianggap
sebuah ajaran yang menyesatkan lebih jauhnya merusak nilai-nilai agama. Jelas
ini merupakan pandangan yang keliru. Hakikat kata”Pamali”, merupakan ketaatan
pada sang pencipta, ketaatan untuk menjaga kestabilan alam (menjaga hubungan
baik antara manusia dan manusia, antara manusia dan alam), sehingga karena
hubungan baik tersebut kehidupan harmonis terjalin. Tak ada peristiwa
kekeringan, saat musim kemarau, bencana alam, atau kejadian-kejadian alam
lainnya. Dalam dua dekade ini, kita merasakan sendiri, akibat dari ulah kita
yang telah menghancur leburkan bumi, hutan dan di babat (gergaji mesin meraung
setiap malam di hutan jauh, merusak ekosistem---tak terlihat lagi burung kerak, burung manyar, burung gelatik, dan hewan-hewan lainnya yang sering ditemui
oleh leluhur kita dulu).
Menghadapi kenyataan seperti ini,
agama tidak bisa berbuat banyak, dan tak bisa berjalan sendiri. Jelas
memerlukan unsur lain sebagai pendampingnya guna menghadang kebokbrokan
moralitas bangsa saat ini, yang semakin menjadi.
Kerusakan moralitas bangsa ini semakin akut, bukan
sekedar kanker yang menempel di tubuh, yang bisa diamputasi, tetapi sudah
menjalar hingga ke seluruh tubuh, tinggal menunggu kematian. Korupsi
merajalela, perselingkuhan rumah tangga, sex diluar nikah (atau sex bebas)
menjadi hal yang lajim bahkan menjadi sebuah kebanggaan atu menjadi trand di
sebagian kalangan. Yang lebih mengejutkan, beberapa orang artis ternama di
Indonesia, dengan bangganya mengobral bahwa dirinya memiliki seorang anak diluar
nikah atau hubungan gelap. Di internet tidaklah sulit untuk kita jumpai photo-photo dan video-video porno. Yang tersebar masuk ke
HP-HP para pelajar sebagai bahan inspirasi untuk melakukan perjinahan.
Menghadapi kenyataan seperti ini,
agama tidak bisa berbuat banyak, dan tak bisa berjalan sendiri. Jelas
memerlukan unsur lain sebagai pendampingnya guna menghadang kebokbrokan
moralitas bangsa saat ini, yang semakin menjadi. Satu-satunya jalan, kita harus kembali pada
budaya masa lalu dengan aqidah yang berbeda, menuju ridho Allah SWT. Kearifan lokal dan Islam kita bangkitkan
sebagai pondasi kita menuju kebahagiaan di Dunia dan akhirat. Amin.***
Gun Gun Nugraha, Aktivis Seni Rakyat Cisewu, Alumni
Teater STSI Bandung.
0 Comments