DEKLARASI GLOBAL ART 22 MARET 2009





                                                                            



                                                                          PROFIL
                                                                                  
Kehadiran The Global  Art 22  Maret 2009, menjadi sejarah baru bagi dunia kesenian di desa Cisewu, Kecamatan Cisewu –Garut. Merupakan waktu  sakral, sekaligus goncangan bagi daerah yang sedang terpuruk kondisi kesenian tradisinya. Satu  fenomena yang membuat wacana sosial berhari-hari. Sebagai resfon dari menjelmanya konsep organisasi yang mengusung “Revolusi Kebudayaan”.
            Global Art yang d rintis oleh Gun Gun Nugraha S.Sn, Darmawan, S.Sn, dan Deden Farid ini. Beranggotakan sekitar 250 orang, meliputi pelajar dan umum.  Dengan struktur pengurus sebagai berikut.Pelindung: Muspika Kecamatan Cisewu. Penasihat : Asep Tatang, Drs. Edi Supriadi (eks. Sekmat Cisewu ), Drs. H Meinuzar, M.Mpd dan Ahmad Darodjah, S.Pd.
            Kenapa pada perekrutan sasarannya adalah remaja dan pemuda? Kami berpikir bahwa sebuah perubahan harus berawal dari pemuda. Dengan dasar lain, pada waktu itu para pemuda Cisewu, sedang demam menggandrungi band  atau permainan yang berbau tekhnologi modern bisa diberi istilah budaya Barat. Tidak jarang tak sesuai dengan cita-cita luhung leluhur kami --meninggalkan seni-seni dan nilai-nilai ketradisian sebagai peninggalan karuhun.
            Puluhan jenis kesenian tradisi, seperti : Lais, Wayang tutur, Rengkong, Reog, Babagongan, Momonyetan, Kacapi Suling, Gondang, Bakicot, dan lai-lain. Sama sekali tidak disentuh oleh mereka. Beralasan kampungan atau ngolot. Para pemuda pemudi sudah malu mengafresiasi budaya-budaya atau seni local. Digerus mentalitasnya ke arah dominasi budaya pop. Selain seni-seni tradisi, permainan anak-anak baheula juga atau di kenal dengan istilah kaulinan barudak Lembur seperti: Boyongan, Gobag, Ucing-Ucingan, Hahayaman, Sasalimpetan, Pangpring, Gunggaya, Maen Kaleci, Maen Karet, dan lain sebagainya. Total ditinggalkan. Tergantikan play station atau sinetron yang sering tidak bermutu dan kering nilai pendidikan.
            Kenyataan itulah yang menjadi landasan Global Art didirikan, dengan penamaan organisasinya sedikit asing, sebagai setrategi untuk menjaring para pemuda, yang waktu itu tengah dilanda kebarat-baratan. Kami memiliki cita-cita besar “Kecamatan Cisewu Menjadi Puseur Budaya Sunda,” dengan alasan kekayaan seni tradisi dan seniman sangat melimpah, dan Balong Sirah, sumber air yang berada dipusat kecamatan, yang di mitoskan sebagai air keramat ---menjadi saksi bisu perjalanan Cisewu, dari cikal bakal daerah ini hingga perkembangannya ke depan.***
                                                    
                                                DASAR PEMIKIRAN

TANAH SUNDA merupakan salah satu wilayah yang kaya akan seni dan budaya. Keanekaragaman budaya tersebut, sebagaimana kita ketahui, merupakan refleksi dari intepretasi (penasiran) manusia terhadap alam semestanya yang tertata indah ini. Dari realitas kehidupan seperti itu, karena kecerdasan emosi spiritualnya, orang Sunda mewujudkannya kedalam nilai-nilai estetik yang adi luhung. Bernilai kontemplatif bagi apresiator. Sebagai kecenderungan, bentuk-bentuk seninya berpesan  menjaga tata kosmos.
Karya-karya seni tersebut merupakan aset budaya yang harus dijaga dan dilestarikan keadaannya. Menjaga dari tergerusnya oleh arus budaya luar (baca: Barat) atau globalisasi yang mengarahkan bangsa pada identitas budaya yang tidak jelas. Kehilangan akar budaya sudah pasti akan terjadi pemutusan generasi. Diganti oleh generasi hedonis: glamor, sekuler, kebarat-baratan, gengsi, sok-pamer, dan kehilangan religiusitas. Sebuah tata nilai yang rusak. Yang tidak kita pungkiri, bawa media masa (Tv, film, surat kabar dsb,) banyak berperan dalam menciptakan budaya tersebut. Menciptakan budaya populer. Penyeragaman budaya, menerobos lapisan-lapisan sosial (bertendensi individualistis), dan kekeringan spiritualitas telah terjadi sekarang ini. Tidak heran kalau di negara ini banyak terjadi pembunuhan, prampokan, penjarahan dan tindakan-tindakan asusila lainnya. Selain itu, efek negative dari produksi budaya masa; membuat bangsa ini lebih menghargai budaya Barat daripada budayanya sendiri. Para generasi muda lebih bangga menenteng gitar atau keyboard dibanding membawa kecapi atau angklung. Imbasnya, puluhan bahkan ratusan jenis kesenian sekarat dan akhirnya lenyap. Berdasarkan penelitian Artur S. Nalan (budayawan dan mantan rektor STSI Bandung) dalam bukunya “Deskripsi Kesenian Jawa Barat” mengatakan bahwa ada tiga ratus lebih jenis kesenian di Jawa Barat telah punah. Belum di daerah lain.
Dari realitas kehidupan sosial seperti itulah, kami atas nama Global Art  dalam kesempatan ini, tersentuh untuk melestarikan seni-seni tradisi yang sudah punah—bahkan lebih lanjut ingin  mengembangkannya. Oleh karena itu, kami berharap dengan adanya Gelar Budaya, adventure dan Perlombaan Degung ini visi misi kami terwujud. Dan semoga program ini bisa berlangsung dengan sukses, atas dukungan dari berbagai pihak. Serta The Global Art  menjadi mitra pemerintah melalui Dinas terkait. Terima kasih!***