SKRIPSI: "PEMIKIRAN ARTHUR S. NALAN TENTANG KHAZANAH TEATER RAKYAT JAWA BARAT"
Penulis : Gun Gun Nugraha
Tulisan ini dilindungi UU HAK CIPTA
Mohon yang mengcopy harus seijin penulis
Selamat Membaca.............
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
“300 jenis kesenian tradisi di Jawa
Barat sedang mengalami sekarat sebagian sudah punah“. Begitulah menurut buku,
Deskripsi Kesenian Jawa Barat yang ditulis Arthur S. Nalan dan Ganjar Kurnia.
Dari jumlah tersebut, termasuk teater rakyat Jawa Barat, berdasarkan pendataan Disbudpar ada 36
jenis. Masuk dalam wilayah memprihatinkan. Bagi yang mengenal, mengetahui,
memahami, dan menghayati.
Sebagian
dari kita tentu ingat, dengan Longser,
Pantun, Uyeg, Ogel, Sandiwara, Masres, Manorek, dan masih banyak taeter rakyat
lainnya. Dulu merentangkan kekuatan kejeniusan para senimannya. Berdampak pada
pembentukan identitas orang Sunda. Namun sekarang, pasang surut dan gulung
tikar terlakoni, mencerabut kepribadian orang Sunda. Hanya abadi dalam
buku-buku dan karya-karya ilmiah. Tidak menorehkan efek menggairahkan bagi
kesenian.
Kondisi
semacam itu merupakan sebuah tantangan yang berat bagi para akademisi, pemikir
atau pemerhati budaya, fraktisi, serta sejumlah orang dan lembaga yang masih
terkait serta memiliki kepedulian untuk melestarikan dan mengembangkan. Yang
diawali dengan penggalian secara radikal, guna menemukan unsur-unsur yang
terkecil dari sebuah komponen teater rakyat. Karena teater rakyat yang muncul
ke permukaan, diibaratkan sebuah gunung es di tengah lautan. Pembongkaran harus
di lakukan, dengan konsep ‘T’ besar−Istilah Saini KM. Sampai serpihan-serpihan budaya, yang berserakan
terkumpul, satu landasan untuk revitalisasi.
Saat
ini teater rakyat butuh sosok ilmuwan seni, juru bicara, bahkan advokat seni,
sekaligus sebagai fraktisi, seperti Arthur S. Nalan. Menjadi satu dalam jiwa
keberpihakan yang murni. Karena untuk konservasi dan revitalisasi teater rakyat,
tidak cukup berbicara di atas meja seminar dan diskusi. Berjubel wacana,
berdesak-desakan teori, menambah rentetan predikat akademik. Tanpa aplikasi di
lapangan. Hidup sebagai pelaku kesenian, itu yang lebih berdaya guna. Kesenian
rakyat secara makro, teater rakyat secara mikro. Tidak cukup hanya diteliti,
menambah koleksi laporan penelitian. Namun wujud kongkret pikiran, gagasan,
menjadi lebih penting dalam kondisi teater rakyat dewasa ini.
Penulis
pikir, ini bukan subjektifitas. Objektifitas menjadi dasar untuk sebuah
penilaian. Arthur S. Nalan telah menyeimbangkan diri di dua wilayah kesenian.
Teoritis dan fraktis. Pelbagai laporan penelitian, buku-buku, dan karya-karya
ilmiah tentang teater rakyat telah ditorehkan. Sebagai rujukan dirinya dan
pengkaji serta pelaku seni lainnya. Untuk kegiatan-kegiatan berkesenian. Begitu
pun dengan naskah-naskah drama dan pertunjukan seni teaternya yang mengambil
idiom-idiom teater rakyat, telah diguriskan mengisi bentangan sejarah
perjalanan panjang teater rakyat Jawa Barat.
Sebagian
dari kita mungkin ingat dengan Tewaysun (Teater Wayang Sunda) atau wayang
ajen. Arthur S. Nalan bekerjasama dengan Ki dalang Wawan Gunawan meramu
konsep teater rakyat Barat, yang dikenal publik dengan istilah teater modern, dengan teater rakyat lokal.
Multi media dimasukan untuk media bantu visualisasi artistik. Ini diharapkan
semangat kreativitas seniman tradisi lebih berkobar, jangan terjebak pada satu intepretasi tradisi saja. Membuat seni
rakyat dan masyarakat penyangganya lebih bergairah. Tidak mandeg, akhirnya
melepuh.
Itu
salah satu tawaran Arthur yang ngigelan jaman. Mencoba masuk dalam celah
masyarakat yang telah memudar karena prahara budaya, (Menurut DS Muljanto dan
Taufik Ismail dalam bukunya Prahara Budaya yang dikutip Arthur S. Nalan), ditimbulkan adanya kondisi gegar budaya,
dimana budaya luar yang sangat berbeda ─bertubi-tubi datang menyergap budaya
asli, sehingga menciptakan “keadaan yang berbahaya” yang setelah terjangkit
sulit mengembalikannya. Membuat seni teater rakyat tenggelam. Karam. Entah
kapan kembali jaya untuk berlayar.
Di
samping sebagai pelaku seni dan akademisi, penulis mencermati sosok Arthur S.
Nalan sebagai ‘juru bicara terkeras’ bagi teater rakyat, di bandingkan
pemerhati budaya umumnya, pandangan-pandangannya secara emikal atau pun etik
sering kali memberondong lembaga pemerintahan. Yang punya tanggung jawab khusus
untuk membangkitkan teater rakyat dari kematian. Sebab, punahnya teater rakyat
bukan hanya akibat serangan budaya luar semata. Namun berbagai faktor persoalan
dari dalam pun seringkali memberi warna fragmentasi yang tidak sesuai satu sama
lain. Arthur melihat dari berbagai titik, sehingga kajian dan karya-karyanya
terasa menukik dan kontekstual.
Penyelamannya
guna menemukan identitas teater rakyat, di bimbing ideologi Budha: Yang mengenal
akan dikalahkan oleh yang mengetahui, yang mengetahui akan dikalahkan oleh yang
memahami, yang memahami dikalahkan yang menghayati. Meneguhkan dirinya
dalam pembedahan Teater rakyat Jawa Barat, dengan multi metodologi. Pendekatan
tersebut dipilih Arthur S. Nalan atas dasar landasan teori James Dandjaja dalam
memandang teater tradisi dari dua aspek yakni : identitas dan fungsi. Selain
itu, metode penelitian Grounded, dan lain sebagainya. Digunakan sebagai pisau
bedah. Menjumpai mutiara teater rakyat yang terpendam, yang tidak akan
habis-habisnya untuk digali.
Mengingat
banyak tulisannya yang tersebar, maka selayaknya dicoba untuk dikaji ulang.
Mungkin juga dikritisi. Sehingga pandangan-pandangannya lebih berdaya guna bagi
keberlangsungan teater rakyat di Jawa Barat. Semua ini perlu diketahui, supaya
bermanfaat bagi terciptanya kembali zaman keemasan teater rakyat di Jawa Barat dan tatanan apresiasi yang lebih
cerdas.
1.2.
Identifikasi/Rumusan Masalah
Dalam
penelitian ini penulis mengidentifikasi beberapa masalah meliputi :
1.
Bagaimana Arthur S. Nalan mengenal, mengetahui, memahami
serta menghayati dan mengkaji Teater
rakyat ?
2.
Solusi apa yang ditawarkan oleh Arthur S. Nalan dalam
menjawab persoalan-persoalan teater rakyat ?
Dari
dua pertanyaan tesebut bagaimana
penelitian ini dipokuskan
terhadap
persoalan teater rakyat menurut pandangan, pemikiran, gagasan original Arthur
S. Nalan, baik tataran konsep atau praksis. Untuk itu, sebagai pijakan penelitian
ini akan diuraikan rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana
pemikiran-pemikiran, pandangan, dan gagasan Arthur S. Nalan dalam menjawab
permasalahan teater rakyat di Jawa Barat ?
1.3
Tujuan Penelitian
Mengacu kepada masalah penelitian,
tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk memperoleh dan
mengumpulkan data tentang pemikiran-pemikiran, gagasan-gasan Arthur S. Nalan
dalam menjawab persoalan-persoalan teater Rakyat di Jawa Barat yang tengah
berada di zona keterpurukan. Kemudian penulis mendeskripsikanya secara
sistematis.
1.4
Manfaat Hasil Penelitian
Manfaat
dilakukannya hasil penelitian ini, penulis bagi menjadi dua bagian, yaitu manfaat
secara teoritis dan manfaat secara praktis.
Manfaat
secara teoritis :
1.
Sebagai masukkan bagi pengembangan pemikiran dan aktivitas
teater rakyat di Jawa Barat.
2.
Sebagai sumbangan kepustakaan teater dan khazanah
intelektual teater rakyat di Jawa Barat.
Manfaat
secara praktis
1.
Sebagai pijakan bagi teaterawan akademik maupun seniman
tradisi yang memiliki rasa keberpihakan terhadap teater rakyat. Guna menjawab
persoalan-persoalan yang sedang menggejala atau tengah terjadi.
1.5 Batasan Istilah Judul
Judul
dalam skripsi ini adalah: “Pemikiran Arthur S. Nalan Dalam Khazanah Teater
Rakyat Jawa Barat.” Judul tersebut
akan memberikan gambaran singkat tentang pemikiran, pandangan, gagasan Arthur
S. Nalan terhadap teater rakyat dalam hal menjawab beberapa permasalahan yang
berkisar pada permasalahan teater rakyat
di Jawa Barat. Disamping itu pun, penulis disini akan memberikan
gambaran mengenai perjalanan intelektualnya.
1.6 Telaah Pustaka
Dalam penelitian ini, penulis bertolak dari beberapa
referensi yang menyangkut tentang teater rakyat di Jawa Barat, diantaranya: Teater Egaliter (2006) dari Arthur S. Nalan. Memuat tentang
pemetaan zona budaya di Jawa Barat, teater rakyat dan masyarakat penyangganya,
konsep totalitas dan intimitas dalam teater rakyat Jawa Barat, aspek manusia
dalam teater rakyat, anatomi teater rakyat Jawa Barat, memperlakukan teater
rakyat Jawa Barat, dan punahnya teater rakyat di Jawa Barat. Deskripsi Kesenian Jawa Barat ( 2003 )
dari Arthur S. Nalan. Memuat tentang berbagai jenis kesenian Jawa Barat, struktur
dramatik, hingga sejarahnya. Pola-Pola Teater dramatis (1980/1981) dari
Saini, KM, Atik Sopandi, S.kar, dan Enoch Atmadibrata. Memuat tentang data umum
kesenian Jawa Barat sampai struktur pagelaran. Lakon-Lakon Sandiwara Cirebon
Dalam Pertunjukan di Tengah Masyarakat (1991) dari Jaeni, S. sen. Memuat
tentang berbagai lakon-lakon Sandiwara Cirebon,
otoritas masyarakat penikmat hingga Islamisasi lakon sandiwara. Perlakuaan
Lakon Sandiwara Cirebon (1999) dari Jaeni, S.sen. Menguraikan tentang
Masyarakat dan seni pertunjukan Cirebon sampai perlakuan lakon sandiwara
Cirebon. Pesta Rakyat di Jawa Barat (Suatu kompilasi dan analisa
fungsi) (1999) dari Arthur S. Nalan. Membahas berbagai upacara adat dan
ritual di berbagai daerah Jawa Barat. Menyangkut waktu pelaksanan sampai
masyarakat penyangganya. Teater
Daerah Indonesia (1996) dari Prof.
Dr. I Made Bandem dan Dr. Sal Murgiyanto. Membahas tentang definisi teater
daerah, jenis-jenis, hingga ciri-ciri teater daerah. Catatan Seni (1998) dari Arthur S. Nalan dan
Agus R. Sarjono (ed). Membahas tentang pantun Bogor sampai memperlakuakan
Teater Rakyat Jawa Barat.
1.7 Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara,
pendekatan, atau langkah-langkah dalam melakukan penelitian yang sistematis,
logis dan rasional. Pada dasarnya, metode dan teknik penelitian ini adalah
bahwa data atau kesimpulan yang ditarik dapat diperiksa lagi oleh peneliti lain
menurut prosedur yang dilaporkan secara jelas. Dengan demikian, hasil
penelitian tersebut telah sesuai dengan keadaan di lapangan.
Metode
yang digunakan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diteliti oleh penulis
disini adalah metode deskriptif (pemaparan). M. Nazir mendefinisikan metode
penelitian sebagai suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu
objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa
pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini untuk membuat
deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis , faktual, dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang diselidiki
(1988:63).
Maka upaya untuk mendapatkan hasil
yang otentik tersebut, disini penulis menggunakan teknik penelitian melalui
tiga cara diantaranya yaitu pengumpulan
data dengan cara studi pustaka, pengamatan (observasi), dan wawancara.
1.
Studi pustaka
a.
buku, makalah,
artikel, skripsi, dan bentuk tulisan lainnya
Langkah ini merupakan langkah dasar sebagai bentuk
referensi, informasi, dan sekaligus penunjang kelancaran penulis dalam
melakukan kegiatan penelitian. Beberapa referensi pustaka meliputi : Teater
Egaliter (Arthur S. Nalan), Khasanah Seni pertunjukan Jawa Barat (Enoch
Atmadibrata), Deskripsi Kesenian Jawa Barat (Arthur S. Nalan), Sanghiyang Raja
Uyeg (Arthur S. Nalan), Teater Daerah Indonesian (I Made Bandem), dan lain
sebagainya.
b.
Browsing
Teknik ini
merupakan pengumpulan setiap bentuk data yang berkaitan dengan pemikiran Arthur
S. Nalan pada teater rakyat Jawa Barat dangan cara mengamati dan menelusuri
situs website dalam media internet. Pengambilan data dari sumber
internet berupa data tertulis dan visual (gambar) tentang Arthur S nalan, pemikirannya terhadap teater
rakyat Jawa Barat.
2.
Pengamatan (observasi)
Pengamatan atau observasi ini
dilakukan guna untuk memperoleh gambaran mengenai individu, sosok Arthur S.
Nalan, yang tidak diutarakan dengan kata-kata atau lebih menekankan pada suatu
perilaku yang berlaku pada individu Arthur S. Nalan itu sendiri.
Langkah-langkah yang diambil, meliputi: Pengamatan ketika Arthur S. Nalan saat
menjadi dosen, ketua jurusan, ketua STSI Bandung, dan sebagainya.
3.
Wawancara
Wawancara bertujuan untuk mendapatkan
informasi dari seorang narasumber dan beberapa kolega yang sama dibidang seni
pertunjukan. Wawancara ini dilakukan dengan cara tatap muka langsung melalui
pertanyaan-pertanyaan mendalam tak berstruktur, dengan narasumber utama, Arthur
S. Nalan, dan beberapa narasumber lain, diantaranya: Prof. Jakob Sumardjo,
Prof. Saini KM, Yoyo C. Durachman, Rusman Nurdin, dan sebagainya. Sebagai significant
ather (orang yang dikenali oleh narasumber utama)
Setelah
data wawancara terkumpul, baik yang berasal dari sumber lisan maupun tulisan,
kemudian data yang telah diperoleh itu diolah dengan cara diklasifikasikan dan
dianalisis, sehingga diperoleh data yang cukup mewakili dan tepat untuk
menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Kemudian peneliti melakukan sebuah
penyusunan data ke dalam bentuk laporan penelitian yang ditulis secara
sistematis.
1.8
Sistematika Penulisan
Hasil
penelitian ini akan dibuat karya tulis (Skripsi) dalam lima bab. Secara logis
dan sistematis.
Bab
pertama, merupakan pendahuluan atas penelitian yang dilakukan.
Bab ini membahas latar belakang penelitian, identifikasi/ rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah judul, telaah pustaka,
landasan teori, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab
kedua, membahas
tentang: peta teater rakyat Jawa Barat, jenis-jenis dan bentuknya, baik yang
hidup maupun yang sudah punah, serta permasalahan-permasalahannya.
Bab
ketiga, menguraikan tentang (1) Biografi Arthur S. Nalan. (2) Arthur S.
Nalan dan kerja kreatif. Karya-karya
yang meliputi: naskah-naskah drama, dan karya seni pertunjukannya.
Bab
keempat, akan
membahas tentang (1) Pandangan-pandangannya mengenai teater rakyat Jawa
Barat. (2) Solusi fraksis Arthur S.
Nalan untuk kehidupan teater rakyat di Jawa Barat.
Bab kelima, merupakan kesimpulan. Dalam bab ini akan dikemukakan
jawaban atas permasalahan pokok yang dikemukakan penulis, sekaligus
penemuan-penemuan dalam penelitian ini. Pada bab ini juga dikemukakan kalimat
penutup, yaitu sebagai hasil akhir dari penelitian ini.
BAB II
TINJAUAN UMUM
KEHIDUPAN TEATER RAKYAT DI JAWA BARAT
2.1 Peta Teater Rakyat Jawa Barat
Teater secara umum dapat diartikan
sebagai bentuk pertunjukan yang ditampilkan didepan penonton dan secara
terbatas dapat diartikan sebagai drama, yaitu penuturan hidup dan kehidupan
manusia yang ditampilkan diatas pentas (RMA. Harimawan, 1988 : 2). Implisit apa
yang dijelaskan tersebut mengandung pengertian tentang teater modern Indonesia
pada tahun 1966-an kebelakang, yang menurut Jakob Sumardjo dan A. Kasim Akhmad,
sebagai pengamat teater mengatakan bahwa pertunjukan teater pada masa itu,
cenderung lebih banyak menggunakan naskah-naskah realisme konvensional.
Apabila kita sikapi dengan cermat pengertian tersebut, kiranya tidak mewakili
sebuah definisi umum teater di Indonesia khususnya Jawa Barat. Karena di
dalamnya ada juga yang dikenal dengan nama instilah lain yakni “teater rakyat”
atau teater tradisional, sebut saja teater Wayang maupun teater Pantun
Sunda dsb. yang mungkin dalam hal ini dapat digolongkan sebagai teater “non
drama”[1].
Teater
secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu theaomai yang
berarti dengan takjub melihat dan mendengar. Kemudian kata ini berubah lagi
menjadi theatron yang berarti gedung pertunjukan/pentas, publik, dan
lakon. Dalam pengertian yang lajim dipergunakan saat ini, teater adalah suatu
kegiatan manusia dalam menggunakan tubuh/benda-benda yang dapat digerakkan
dimana suara dan musik sebagai media utamanya, untuk mengutarakan,
mengekpresikan cita-rasa seni (Yoyo C. Durachman dan Arthur S. Nalan,
1996:82-83). Jika mencermati definisi tersebut, teater memiliki pengertian yang
luas. Bisa jadi segala jenis pertunjukan adalah teater.
Namun
selain definisi di atas, ada pengertian yang lebih spesifik. Dalam istilah
teater rakyat. Teater rakyat adalah sebuah genre teater yang hidup dan
berkembang di kalangan masyarakat. Didukung oleh masyarakatnya itu sendiri,
sebagai penyangga, berdasarkan turun-temurun. Dengan estetika rakyat yang
gampangan. Tidak rumit atau mudah dipahami, sifatnya egaliter dan banyak
improvisasi. Jenis teater ini banyak tersebar di Jawa Barat.
Jawa
Barat yang disebut sebagai dataran Sunda memiliki beragam jenis kesenian,
tercatat kurang lebih ada 300 jenis kesenian yang masuk pada wilayah teater dan
“non teater”. Tersebar di berbagai kota atau kabupaten, banyaknya ragam jenis
kesenian tersebut bukan semata-mata hasil atau produk dari masyarakat Jawa
Barat saja, akan tetapi dapat pula
tumbuh dan berkembang jenis kesenian dari berbagai wilayah lainnya. Seperti
dari Jawa Tengah dan Jawa Timur yang secara letak geografisnya tidak dapat
dipisahkan dari pulau Jawa secara keseluruhan. Maka tidak heran apabila di
pulau Jawa ini ada bentuk kesamaan atau keseragaman budaya, karena hal tersebut
di atas memungkinkan untuk terbentuknya suatu proses difusi atau akulturasi.
Salah satu bentuk atau wujud dari proses pembentukan akulturasi budaya tersebut
tampak terlihat jelas dalam unsur-unsur budaya yang melingkupinya, salah
satunya yakni dalam unsur seni khususnya teater.
Pada wilayah seni khususnya seni
pertunjukan, yang berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur telah menyebar atau
berbaur dengan seni pertunjukan yang ada di Jawa Barat. Bahkan dari bentuk
pembauran tersebut, terlahir jenis kesenian baru yang dimana seni pertunjukan
tersebut menjadi ciri oksidentalisme masyarakat Jawa Barat seperti
halnya teater Wayang Cepak yang mendapat
pengaruh dari budaya Jawa. Jika kita perhatikan secara seksama, dalam hal ini
tampaknya budaya Jawa Barat lebih bersifat transparan. Dalam artian
budaya-budaya Jawa Barat dapat di jadikan sebuah tempat untuk berlabuhnya
budaya wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan bahkan budaya dari luar Negara
sekali pun. Hal ini menurut Spradley dapat dikatakan berada dalam kondisi
ketercerabutan budaya (culturally deprived) dan kebanjiran budaya (culturally
overhelmed) (Arthur.S. Nalan, 2006:12).
Kondisi culturally deprived
dan culturally overhelmed tersebut, memiliki rotasi putaran waktu yang
begitu cepat, layaknya seperti angka-angka digital dalam dunia cyber. Bahkan
dalam kondisi era pemerintahan pada saat ini, diperkuat pula dengan dibukanya
keran-keran budaya, moderenisme dan globalisasi budaya. Sehingga ini
memungkinkan untuk terjadi kehilangan jejak-jejak akar budaya atau kehilangan
referensi-referensi sejarah budaya Jawa Barat itu sendiri. Tampaknya apa yang
dijadikan sebagai kuncinya yakni globalisasi budaya, implisit mengarahkan
masyarakat untuk merujuk pada suatu tatanan budaya masa, --dimana sekat-sekat
atau ruang budaya yang plural tersebut menjadi satu tatanan yang seragam.
Upaya rekontruksi dalam seni-seni
pertunjukan atau upaya penyelamatan terhadap wujud seni umumnya teater dan
teater rakyat pada khususnya. Pada saat ini menjadi semakin terpragmentasi oleh
berbagai konsepsi-konsepsi budaya yang saling bertentangan, sehingga hal ini terasa
sulit bila dilakukannya sebuah upaya untuk melakukan pemetaan, ataupun untuk mencari akar
budayanya, karena telah terjadi suatu ketidakteraturan atau chaos.
Jika kita mau merenungkan kembali
atau mereintepretasi bentuk seni pertunjukan tradisi pada saat ini, tampaknya telah
berlangsung suatu keadaan nihilis. Dalam artian seni pertunjukan tersebut telah
kehilangan arah tujuan kearifannya, dan apa yang tampak --hanyalah sebuah
bentuk nostalgia yakni pemuliaan atas wujud seni dengan masalah isinya selalu
dikesampingkan .
Jakob
Sumardjo, seorang budayawan, berusaha untuk melakukan sebuah pemetaan terhadap
budaya Sunda dan mencoba untuk mencari serpihan jejak-jejak artefak seni dengan
cara mengkaji etno cultural Sunda. Dengan maksud agar tampak jelas
asal-muasal atau refensi dari ciri-ciri wujud kebudayaan, yang berasal dari
berbagai masa atau berbagai budaya tertentu[2]
(cultural system, material culture, social system). Dengan cara
mengkategorisasikan masyarakat terhadap segala hal, baik yang berhubungan
dengan kategori alam, maupun sosial-budaya. Sebut saja klasifikasi simbolik untuk memahami
dinamika manusia dan kebudayaannya (termasuk juga di dalamnya seni umumnya, seni
pertunjukan teater khususnya). Dalam hal ini pun diperjelas lagi dengan
membedakan budaya sawah, dan budaya ladang. Akan tetapi, dalam hal untuk
memahami seni pertunjukan pada saat ini (dalam budaya global), tampaknya terasa
akan sulit untuk mencari jejak-jejaknya, baik jejak-jejak seni pertunjukan yang
berasal dari budaya sawah maupun dari budaya ladang. Karena pada masa saat ini,
seni-seni pertunjukan tradisi di Jawa Barat telah ditumpangi oleh berbagai
budaya (budaya agraris dan industri). Ataupun berbagai elemen dari genre
seni pertunjukan masa lalu dan masa kini (budaya Barat), atau dari berbagai
bentuk elaborasi segala macam budaya. Oleh karena itu, khususnya mengenai
teater tradisional rakyat (teater rakyat) pernah diungkapkan oleh Jakob
Sumardjo dalam bukunya yang berjudul “Perkembangan Teater Modern Dan Sastra
Drama Indonesia” mengatakan :
Sudah sulit membedakan, mana tradisional rakyat yang
berasal dari religi asli (animisme, monisme, fetisisme, dinamisme) dan
mana yang merupakan karya kerakyatan pada zaman Hindu dan zaman masuknya Islam
di Indonesia. Dan juga teater rakyat yang bersumber pada teater keraton… (Jakob
Sumardjo, 2004-17).
Upaya untuk melakukan sebuah pemetaan
atau sekatan-sekatan terhadap perkembangan seni pertunjukan, yang dilakukan
oleh Jakob Sumardjo dirasa sangat begitu signifikan bagi catatan-catatan kecil
sejarah seni pertunjukan. Khususnya teater di Jawa Barat. Menurutnya, bahwa hal
ini perlu untuk memetakan, mana jenis-jenis teater rakyat, teater keraton dan
mana yang tergolong kedalam teater modern.
Artur S. Nalan dalam buku “Teater
Egaliter”, mencoba untuk memetakan mengenai keberadaan atau eksistensi seni
pertunjukan di Jawa Barat yang terbagi kedalam beberapa wilayah, diantaranya
yaitu wilayah budaya Cirebon, Banten, Priangan, Pakidulan, dan Pakaleran. Untuk
memperjelas sebuah kajian tentang pemetaan atau untuk menunjukan suatu
batasan-batasan dalam seni pertunjukan yang berkembang di setiap bagian wilayah
budaya Jawa Barat, khususnya seni pertunjukan yang masuk pada genre teater,
maka dalam hal ini penulis akan bagi kedalam beberapa poin di antaranya :
- Bagian wilayah budaya Banten
Wilayah
budaya Banten dapat disebut pula sebagai wilayah pantangbekser yang
wilayahnya meliputi Pandeglang, Tanggerang, Lebak, dan Serang. Di wilayah ini
kurang lebih ada 8 jenis seni pertunjukan yang masuk pada genre teater yang diantaranya
: Gacle, Ubrug, Topeng, Pantun, Wayang Garing, Wayang Golek Lenong, Blantek dan
Cador.
- Bagian wilayah budaya Priangan
Wilayah Priangan secara geografis
hanya terdiri dari Garut, Bandung,
Bandung (kodya), Sumedang, Ciamis dan Tasikmalaya. Di wilayah ini kurang lebih
ada 6 jenis seni pertunjukan rakyat yang masuk pada genre teater diantaranya : Sandiwara
Sunda, Longser, Gekbreng, Pantun, Wayang Golek, dan Manorek.
- Bagian wilayah budaya Cirebon
Wilayah budaya Cirebon yang terdiri
dari daerah Mainkucici (singkatan dari Majalengka, Indramayu, Kuningan, Cirebon
(kodya), Cirebon (kabupaten). Wilayah ini memiliki genre pertunjukan rakyat
yang dapat dikategorikan kedalam genre teater diantaranya : Sandiwara
Cirebon, Sandiwara Indramayu, Wayang kulit, Wayang Cepak, Wayang Golek,
Sintren, Pantun, dan Tarling.
d. Bagian
wilayah budaya kaleran
Pertunjukan yang dimiliki wilayah
budaya pakaleran ini sangat khas dan berbeda dengan wilayah budaya lain seperti
Banten, Priangan dan Cirebon. Pertunjukan rakyat yang dapat di kategorikan
kedalam teater antara lain adalah Topeng Bekasi, Topeng Banjet, Wayang
Golek, Wayang Kulit, Pantun, Sandiwara, dan Tarling dangdut.
- Bagian Wilayah Pakidulan
Yang
termasuk seni pertunjukan teater di bagian wilayah pakidulan ini diantaranya,
Uyeg, Topeng, Aweh, Topeng Cepet, Cador Pantun, Ronggeng Gunung, Angguk dan
Manorek.
Walaupun sebuah pemetaan yang dilakukan
oleh Arthur S. Nalan tersebut diatas tidak begitu jelas batasan suatu masanya
(zaman Hindu, Islam, dan Kolonial) secara rinci dan bagaimana bentuknya, seperti
halnya apa yang telah dilakukan oleh Jakob Sumardjo, namun usaha atau upaya
untuk melakukan sebuah pemetaan atau batasan-batasan tersebut sangat signifikan
untuk menentukan jejak-jejak ragam jenis teater disetiap batasan-batasan atau
wilayah budaya di Jawa Barat dewasa ini.
2.2 Jenis-Jenis Teater Tradisi Di Jawa Barat
Teater tradisi di Jawa Barat tumbuh
dan berkembang secara subur dengan berbagai ragamnya, hal ini mungkin
disebabkan pula yang dimasa lampaunya terkenal dengan kehidupan agraris
ladangnya, sehingga banyak dimasuki oleh masyarakat atau budaya lainnya, yang
hal ini memungkinkan pula akan terbentuknya suatu akulturasi budaya yang
berdampak pula pada gaya ekspresi estetiknya.
Jika
melihat pada zaman dahulu, teater rakyat merupakan seni yang bersifat sakral.
Dalam pertunjukannya harus selalu dilakukan secara sungguh-sungguh, dengan
bentuk seremonial. Untuk mempertunjukannya pun tidak dapat dipertunjukan disembarang
waktu dan tempat. Waktu dan tempat untuk pertunjukan teater rakyat bersifat sakral,
merupakan salah satu bagian yang terpenting untuk terselenggaranya sebuah
upacara atau ritus. Menurut bentuk kepercayaan mereka --bahwa sesuatu yang
sifatnya supranatural atau yang sakral dapat memanifestasikan dalam dunia
sekuler. Dasar pokok estetika kesenian teater rakyat ini adalah religi, maka
untuk memahami teater rakyat atau tradisional diperlukan pemahaman terhadap
religi yang menjadi dasarnya. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa semua teater
rakyat adalah sakral. Ada pula yang bersifat profan, mana kala fungsi religinya
sudah tidak sesuai lagi dengan religi baru. Tetapi unsur estetikanya masih
tetap digemari atau digunakan (Jakob Sumardjo, 2004).
Apabila
mengacu pada data yang dideskripsikan
DISBUDPAR, di Jawa Barat terdapat beberapa jenis teater dengan berbagai
ragamnya. Tercatat sekitar 36 ragam atau jenis diantaranya : bangkong reang,
gekbreng, ogel, longser, topeng, wayang golek, manorek dan masih
banyak hal lainya.
Untuk memperjelas mengenai ragam dan
jenis teater yang berada di daerah Jawa Barat. Maka penulis pikir perlu untuk
memaparkan beberapa jenis teater rakyat
dan bentuknya. Sekedar gambaran saja.
a) Ubrug
Teater ubrug terdapat di daerah
Banten, memakai bahasa campuran Sunda, Jawa, Indonesia dan kadang-kadang pula
bahasa Lampung. Teater ini mempergunakan iringan gamelan yang berlaras salendro
dengan goong buyung. Kostum yang sering digunakan dalam hal pementasannya
biasanya mengunakan busana sesuai dengan situasi cerita yang dekat dengan
kehidupan sehari-hari, atau paling jauh mengunakan busana-busana yang digunakan
pada abad ke 19. Beberapa cerita atau lakon yang populer dari teater ubrug ini
adalah si Jampang, si Pitung, Sakam, Dalem Boncel, dan Jejaka Pecak.
b) Longser
Teater longser terdapat di daerah
Jawa Barat tepatnya yaitu berasal dari daerah Priangan atau Bandung. Ada
beberapa yang memperkirakan kalau longser itu perkembangan dari kesenian
lengger yang merupakan bentuk perubahan dari doger, yang diperkirakan
ada atau mulai berkembang di Jawa Barat yaitu pada tahun 1915. Jika dilihat
dari pola bentuk pertunjukkannya teater longser tidak beda jauh dengan
teater ubrug yang pada dasarnya ada sebuah bentuk lawakan dan ada penyajian
lakonnya.
c) Sintren
Teater sintren banyak terdapat di
daerah pantai utara terutama di wilayah Cirebon, Indramayu, Subang, dan
Kuningan. Teater ini masih menunjukan sifat magis religiusnya, yakni dengan
adegan kesurupan (trance) bagi penari sintrennya. Dalam hal ini ada yang
menuturkan bahwa asal-usul sintren berasal dari sebuah upacara pemanggilan roh
atau mahluk gaib. Pertunjukan ini dipimpin oleh seorang pawang sebagai shaman
atau dukun.
Penari sintren ini identik selalu
menggunakan kacamata yang berwarna hitam yang fungsinya untuk menutupi mata
sewaktu penari sedang berada dalam kondisi trance. Penari sintren ini ditutupi
dengan menggunakan kurung ayam yang telah dibungkus kain, hal ini diupayakan
agar si penari sintren tidak terlihat ketika berada dalam kurungan tersebut.
Lagu-lagu yang dilantunkan umumnya layaknya seperti memanggil-manggil bidadari
atau ruh (mahluk gaib) yang diyakini dapat mendatangkan kekuatan tertentu.
Seperti tercermin dalam lagunya yaitu Kembang Terate, Gulung-gulung Klasa,
Turun Sintren, Simbar Pati, Kilar Blatar, dan lain-lain.
d). Manoreh
Teater manoreh terdapat di daerah
Ciamis selatan, teater ini semula merupakan media dakwah, tetapi sekarang lebih
berfungsi sebagai tontonan untuk meramaikan hajatan dalam keluarga. Meskipun
demikian namun dalam halnya pertunjukannya masih menggunakan sesajen berupa
perapian pembakaran kemenyan, alat-alat kecantikan, bedak, cermin, minyak wangi, makanan berupa tumpeng, buah-buahan,
ubi-ubian, binatang, perabot dapur dan pakain.
e) Ronggeng Gunung
Sebenarnya bentuk kesenian ini merupakan peristiwa tari
pergaulan biasa, antara seorang ronggeng atau lebih dengan penontonnya. Diadakan
pada waktu malam hari mulai pukul 08.00 sampai menjelang pagi. Bentuk teaternya
terletak pada lirik-lirik lagu yang dinyanyikan pesinden menjelang tari
ronggeng sendiri, teater ini sedikitnya ada beberapa sebutan nama lain yakni
bisa disebut juga ronggeng tayub, atau bisa juga disebut sebagai ronggeng
kaler. Sesuai dengan sebutannya, ronggeng gunung merupakan pertunjukan yang
menampilkan seorang penari sekaligus penyanyi yang berasal dari gunung.
Penyajian ronggeng gunung dimainkan dengan alat musik sederhana yang terdiri
dari instrument kendang, ketuk, dan goong. Ronggeng-ronggeng ini memiliki lagu
khas. Setiap lagu berpadu dengan tarian khusus dan penyajian satu lagu ini
dianggap satu babak.
Konon keberadaan ronggeng gunung tidak
dapat dilepaskan dari cerita Dewi Samboja. Secara ringkas ceritanya dikisahkan
sebagai berikut: “Patih Kidang Pananjung memberi wangsit kepada Dewi Siti Samboja,
putri Prabu Siliwangi ke-38, ketika akan mendirikan kerajaan di Tatar Galuh
selatan, wangsit itu kira-kira berisi ‘Siti Samboja , paman memberi amanat,
nanti kamu harus sanggup menjadi ronggeng dan memakai nama samaran Nini Bogem.
Sebagai nayaga Ki Lengser juga harus memakai nama samaran Naya Dipa, maksudnya
untuk membalas dendam kepada para Bajo”.
Pertunjukan ini biasanya disajikan
sebagai hiburan pelepas lelah seusai melakukan aktivitas keseharian, seperti
menanam padi, atau sehabis melakukan panen padi. Beberapa lagu yang biasa di
lantunkan dalam pertunjukan ronggeng gunung ini dalah Kudup Turi, Ladrang,
Sisigaran Golewang, Raja Pulang, Onday, Kawungan, dengdet, parut, trondol, dan
lain-lain
f ) Topeng Blantek
Topeng Blantek ini terdapat di
wilayah Jawa Barat bagian selatan Jakarta, seperti Bojonggedeh, Pondok Ranjeg,
Citayem, dan Ciseeng. Blantek berart “campur aduk”, “tidak karuan”. Disebut
topeng karena dalam sebuah tariannya terdapat penari topeng. Pertunjukan ini
biasanya diadakan di halaman rumah dengan menggunakan obor, dengan permainan
mengitari obor yang di jadikan sebagai penerangan dalam pertunjukan tersebut.
Lakon-lakon yang dimainkan kebanyakan bernafaskan islam. Pada saat-saat
istirahat antar babak sering di lantunkan lagu-lagi dzikir berbahasa arab atau
lagu-lagu berbahasa Betawi. Gamelan teater ini terdiri dari rebab, kecrek,
koromong, kenong dan goong. Beberapa lakon yang terkenal di antaranya Prabu
Zulkarnain, Lurah Barni, dari benteng buyuku, kramat pondok rajeg.
g) Gekbreng
Gekbreng terdapat di daerah
Sukabumi, seni ini masuk pada kategori atau genre seni teater rakyat berada di
wilayah kabupaten yang ada di Jawa
Barat. Bentuk dari seni teater gekbreng ini berupa drama tari yang
bersifat humor, yakni menceritakan mengenai tentang fenomena keseharian hidup
yang ada di masnyarakat setempat. Secara etimologi gekbreng berasal dar
dua kata, yaitu “gek” dan “breng” yang artinya “duduk seketika”,
sedangkan “breng” artinya bersama-sama. Istilah atau kata gekbreng
memiliki konotasi yang dapat diartikan yaitu, ketika seseorang duduk saat itu
pula riuh rendah bunyi gamelan memulai aksi pementasan.
Seni gekbreng diciptakan oleh
Abah Ba’i pada tahun 1918, setelah tamat berguru pada seorang seniman longser
yang bernama Abah Emod atau di kenal dengan nama lain adalah Abah Soang di
Kampung Situ Gentang Ranji, Sukabumi. Konon, kesenian ini timbul dari reaksi
masyarakat atas ketidakadilan yang dilakukan oleh para penguasa pada waktu itu.
Dengan daya kekreatifannya, Abah Ba’i menangkap keluhan-keluhan masyarakat
terhadap penguasa itu dan meramunya menjadi suatu bentuk drama tari yang
bersifat humor yang kemudian disebut gekbreng. Jadi, dahulu gekbreng
adalah suatu kesenian yang bertujuan untuk mengingatkan para penguasa melalui
sindiran-sindiran halus yang disampaikan dengan gaya humor agar jangan terlalu
sewenang-wenang dalam menggunakan kekuasaannya.
Peralatan musik yang digunakan untuk
mengiring pertunjukan gekbreng adalah seperangkat gamelan
berlaras selendro yang terdiri dari: (1) kendang; (2) terompet; (3) ketuk tilu;
(4) rebab; (5) rincik; dan (6) gong. Pertunjukan gekbreng biasanya
diadakan di tempat terbuka atau tempat yang agak luas, seperti pendopo atau
halaman rumah. Para penontonnya duduk berkeliling membentuk huruf U atau tapal
kuda. Demikian pula mengenai dekorasi panggungnya, terkesan cukup seadanya dan
bahkan bersifat abstrak imajiner. Pertunjukan teater rakyat ini dapat dilakukan
pada siang maupun malam hari. Pada malam hari, sebagai pencahayaan dipergunakan
obor tradisional bersumbu tiga yang disebut oncor.
h) Pantun
Pantun
termasuk jenis teater tutur rakyat di Jawa Barat. Pantun Jawa Barat (Sunda)
berbeda dengan pantun Melayu (Indonesia). Pantun Sunda adalah cerita tutur
dalam bentuk sastra Sunda lama yang di sajikan secara paparan (prolog), dialog,
dan bisa juga dinyanyikan, yang dalam halnya pantun Sunda ini merupakan sebuah
bentuk seni pertunjukan teater. Sedangkan pantun Melayu bila dibandingkan
dengan nama salah satu jenis kesenian di Jawa Barat adalah semakna dengan
sisindiran Sunda. Seni pantun Sunda di
bawakan oleh seorang juru pantun (tukang pantun) sambil diiringi alat musik kacapi
yang di mainkan sendiri.
Seni pantun di Jawa Barat sudah lama
hidup atau berkembang, yang diperkirakan ada pada sejak zaman Hindu-Budha di
Jawa Barat, yang dalam naskah Sunda kuno yakni Siksa Kandang Karesian (1518 M)
disebutkan bahwa pantun telah digunakan sejak zaman langgalarang. Kata “pantun”
dalam bahasa Sunda dan Jawa berarti “padi”. Pantun sebagai seni tutur di Jawa
Barat ini memang semula ada hubungannya dengan dengan pemujaan Dewi Padi.
Meskipun dasarnya muncul dari religi
asli, namun seni pertunjukan ini telah banyak tercampur dengan paham Hinduistis
dan Islam. Cerita pantun ini berkisar pada kisah-kisah langgalarang,
Banyakcatra, Siliwangi, Hatur wangi, Lutung Kasarung dll, yang semuanya itu
bersumber dari cerita-cerita mitos ataupun legenda pada saat zaman dahulu.
i) Cador
Cador merupakan salah satu
jenis teater rakyat Jawa Barat yang terdapat di kabupaten Sukabumi, Cianjur dan
Bogor. Teater ini di sajikan sebagai selingan dalam pergelaran Pencak Silat.
Agar penonton tidak merasa tegang ketika menyaksikan Penca Silat, maka di
pertunjukkan lah bobodoran-bobodoran (komedi). Dengan demikian kemudian
lahirlah jenis teater yang di sebut dengan Cador yaitu kepanjangan dari
istilah Pencak Silat dan bobodoran. Cerita-cerita yang di sajikan dalam Cador
ini sama seperti cerita yang di sajikan oleh longser, yakni cerita-cerita
yang memiliki unsure komedi. Tema yang di pertunjukan pada teater ini adalah
seperti Tunjung Mekar, Mawar Lumayung, Nara Dipa, Layuan Naga Sari, dan Dewining
Taman.
j) Gending
Karesmen
Gending Karesmen, merupakan salah
satu jenis teater rakyat Jawa Barat yang dirintis oleh R. Memed Kartabrata pada
tahun 1927. Gending Karesmen ini terdiri dari beberapa seni yang menjadi
penopangnya di antaranya seni sastra, yakni berupa naskah cerita atau lakon
dalam bentuk prosa liris, yaitu karya sastra yang dapat di ungkapkan melalui
nyanyian, kemudian seni musik, seperti kacapi suling atau berbagai instrumen
yang ada pada beberapa gamelan di Sunda, kemudian Seni tari dan yang terakhir
yakni seni rupa. Cerita atau lakon yang di bawakan dalam Gending Karesmen ini
adalah cerita-cerita yang di ambil dari
cerita-cerita Pantun seperti lutung Kasarung, Munding Laya dan lain sebagainya.
k) Wayang Cepak
Wayang cepak berkembang di Jawa Barat
yakni di daerah Cirebon. Awal perkembangan wayang cepak ini bermula ketika
Elang Maganggong, putra Ki Gendeng Slingsingan, dari daerah telaga, berguru
agama Islam kepada Suta Jaya Kemit di Gebang. Disebut wayang cepak atau papak,
karena wayang ini terbuat dari kayu yang ujungnya tidak runcing dan apabila
dilihat dari bentuk dan wandanya, wayang cepak ini merupakan perkembangan dari
wayang kulit, wayang golek, atau wayang menak, yang berpusat di daerah Cirebon.
Cerita-cerita yang biasa di sajikan
dalam wayang cepak ini adalah lakon yang berjudul, menak, panji, cerita-cerita
yang diambil dari babad, legenda dan mitos. pertunjukan wayang cepak ini
biasanya haya sebatas pada upacara adat seperti ngunjung buyut, ruwatan dan
sebagainya. Pertunjukan ini memiliki struktur yang baku, secara umum susunannya
seperti (1) tatalu, (2) babaka unjal, paseban, dan bebegalan, (3) nagara sejen,
(4) patepah, (5) perang gagal, (6) penakwan/goro-goro, (7) perang kembang, (8)
perang raket, (9) tutug.
Waditra yang digunakan sebagai
pengiring dalam pertunjukannya biasanya menggunakan laras pelog, namun untuk
menyesuaikan diri denga situasi dan kondisi, selanjutnya dipakai laras
salendro, yang waditranya meliputi gambang, gender, suling, saron, bonang,
kendang, goong, peking, jenglong dan ketuk. Beberapa lagu yang dilantunkan
antaralain banyeman, gonjing, lompong kali, gagalan, kiser kedong-dong dan lain
sebagainya.
l) Wayang kulit Indramayu
Wayang
kulit Indramayu pada dasarnya tidak beda jauh dengan seni wayang kulit yang
berada di daerah Jawa dan di daerah Cirebon, yang membedakan adalah dalam hal
penggunaan bahasa dalam bertutur. Wayang kulit
indramayu diakui oleh masyarakat pendukungnya yaitu sebagai media dakwah
Wali Sunan Kalijaga atas perintah Sunan Gunung Jati, yang dalam hal ceritanya
diambil pula dari kisah Ramayana dan Mahabrata. Musik yang mengiringi dalam
pertunjukan ini adalah menggunakan musik gamelan yang berlaras pelog dan
salendro. Bila dilihat dari pola bentuk pertunjukannya inipun tidak beda jauh
dengan wayang cepak Cirebon, secara umum susunannya seperti (1) tatalu, (2)
babaka unjal, paseban, dan bebegalan, (3) nagara sejen, (4) patepah, (5) perang
gagal, (6) penakwan/goro-goro, (7) perang kembang, (8) perang raket, (9) tutug.
Wayang kulit Indramayu ini digunakan dalam upacara adat daerah setempat
yaitu seperti ngaruat, upacara ngunjung yang dipandang oleh mereka sebagai
proses interaksi antar anggota masyarakat yang masih percaya bahwa menghormati
leluhur adalah perbuatan baik dan terpuji.
m) Wayang Kulit Bekasi
Latar belakang wayang kulit Bekasi
sebenarnya masih sama dengan wayang-wayang sejenis lainnya, yang membedakan
wayang kulit bekasi dengan wayang kulit daerah lainnya adalah faktor sosiologis
dan pengaruh budaya lingkungannya, kemudian perbedaan yang lainnya tokoh-tokoh
yang terdapat dalam wayang kulit bekasi ini ada kemiripan dengan tokoh-tokoh
yang ada dalam tokoh-tokoh wayang golek misalnya Semar, Cepot, Udel, dan
Gareng, dan Dorna yang digambarkan dengan wajah kearab-araban dan memakai topi
haji. Wayang kulit bekasi ini di bawa oleh seorang nama Balentet kurang lebih
sekitar tahun 1918 s/d 1982.
Dalam pertunjukan atau penyajian
wayang kulit Bekasi dibagi menjadi tiga
bagian pertunjukan atau sisen, pertama di sebut dengan bubuka yang di mulai
dari pukul 20.00 hingga tengah malam, kemudian di lanjutkan dengan tatalu, yang
berlangsung dari tengah malam sampai kurang lebih pukul tiga pagi, kemudian
bagian yang terakhir yaitu tutup kayon yang berlangsung dari pukul tiga pagi
sampai dengan pertunjukan selesai.
n) Wayang Golek
Wayang golek adalah bentuk teater
rakyat yang sangat popular di masyarakat luas, yang termasuk wayang golek di
Jawa Barat ada dua macam yakni wayang golek papak (cepak) dan wayang golek
purwa. Wayang golek ini bisa di sebut juga sebagai wayang boneka. Yang memiliki
lakon-lakon galur dan carangan yang bersumber dari cerita besar Ramayana dan
Mahabrata. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda yang diiringi pula dengan
gamelan Sunda (berlaraskan pelog). Wayang golek memiliki fungsi yang relevan
dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lingkungannya baik spiritual maupun
material.
Dari
beberapa temuan penulis, jenis-jenis teater rakyat yang telah dipaparkan di
atas. Bisa dikelompokan ke dalam dua bagian yakni teater tradisi kerakyatan dan
teater rakyat yang berasal dari keraton. Ciri-ciri teater tradisi kerakyatan
adalah sifatnya egaliter. Bahasa komunikasi pertunjukannya mudah dipahami, dan
lain sebagainya. Yang termasuk kedalam teater ini, diantaranya : longser,
cador, uyeg, dan banyak lagi. Sedangkan teater rakyat yang berasal dari
keraton, memiliki cirri-ciri sifat bahasa pertunjukannnya yang rumit, patuh
pada sebuah aturan, mewah, dan lain-lain. Yang termasuk ke dalam jenis teater
rakyat ini adalah : beberapa jenis wayang yang telah diuraikai di atas.
2.3 Bentuk
Teater
Di
Indonesia khususnya di Jawa Barat begitu banyak ragam dan jenis teater. Dari
perjalanan eksistensinya kehidupan teater memiliki sejarahnya yang panjang,
dari zaman ke zaman dari masa ke masa hingga dewasa ini teater tersebut masih
dapat bisa dijumpai. Tentunya dari sebuah perjalanan tersebut, memiliki
beberapa keberagaman bentuk dari setiap perkembangan zamannya, hal ini dilatar
belakangi pula dengan dinamika kehidupan masyarakat dan kebudayaannya. Dimana
faktor utama dalam keberagaman bentuk tersebut dilatarbelakangi pula dengan
berbagai pandangan atau perpekstif, semangat (kreativitas) atau emosi, serta
intepretasi manusia disetiap zamannya
terhadap teater. Tidak luput pula hal yang sangat signifikan adanya keberagaman
bentuk teater itu sendiri, bisa di latarbelakangi karena Indonesia ditempati
atau dihuni oleh berbagai kelompok manusia yang berlainan budaya. Baik dari
budaya internal (Indonesia) maupun budaya ekternal (budaya luar), yang
sedikitnya telah memberi warna, bentuk bagi keberagaman teater.
Pada saat ini, di wilayah Jawa Barat
memiliki keberagaman bentuk teater. Untuk menjelaskan bentuk-bentuk teater
tersebut di sini penulis akan merujuk apa yang telah dikatakan oleh Harimawan
dalam bukunya yang berjudul “Dramaturgi”,
yakni seperti :
1.
Bentuk teater yang lahir di dalam
lingkungan kehidupan desa. Kegiatannya terikat erat oleh persoalan kehidupan sehari-hari
dalam desa, yaitu adat atau agama.
2.
Bentuk teater yang lahir di keraton.
Pertunjukan dilakukan pada upacara-upacara tertentu, sedangkan para pelakunya
adalah para anggota keluarga bangsawan. Pertunjukan hanya dilaksanakan untuk
kalangan terbatas. Tingkat artistik yang dicapai bisa tinggi sekali. Cerita
pada umumnya berkisar pada kehidupan kaum bangsawan yang dekat pada dewa-dewa
dan sebagainya. Dunia kenyataan di luar keraton tidaklah menjadi persoalan.
3.
Bentuk teater yang tumbuh di
kota-kota. Kadang-kadang masih membawa bentuk-bentuk yang di desa atau di
keraton. Ia lahir dari kebutuhan yang timbul dengan tumbuhnya kelompok-kelompok
baru di dalam masyarakat dan sebagai produk dari kebudayaan baru, sebagai
fenomena modern.
4.
Bentuk teater yang diberi predikat
modern atau kontemporer. Ia menampilkan peranan manusia bukan sebagai tipe,
melainkan sebagai individu. Dalam dirinya terkandung potensi yang besar untuk
tumbuh, tetapi pada saat ini, ia merupakan teater golongan minoritas. Ia adalah
hasil pencarian yang dilakukan oleh manusia secara terus menerus.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas,
kiranya sangat signifikan untuk menentukkan ragam jenis teater yang ada di Jawa
Barat, dalam hal untuk menunjukkan mana bentuk teater rakyat, dan mana yang
termasuk kedalam bentuk teater klasik (kraton).
2.4 Permasalahan Teater Rakyat Jawa Barat
Berbagai masalah dalam perkembangan
dunia teater rakayat di Jawa Barat begitu mendera --sehingga kepunahan teater
rakyat tidak bisa lagi dihindarkan. Hal ini disebabkan bahwa teater rakyat
sebagai seni secara mikro dan makronya budaya pada dasarnya tidaklah statis
akan tetapi bersifat dinamis. Dinamika yang terjadi dalam teater diakibatkan
beberapa faktor diantaranya: faktor
perubahan politik --peralihan dari orde baru ke reformasi, sosial kultur serta
serangan budaya luar yang tidak lagi terbendung atau kebanjiran budaya (culturally
overhelmed), menurut istilah Spradley. Sehingga Jawa Barat menjadi wilayah
bagi tumpahan budaya-budaya luar (ekternal), hal ini sangat memungkinkan pula
membuat masyarakat Jawa Barat berada dalam suatu kondisi ketercerabutan budaya
(culturally deprived) atau kehilangan identitas budayanya. Paradigma
masyarakat penyangga berubah, baik itu cara pandang terhadap alamnya ataupun
cara pandang dalam bermasyarakatnya. Dengan demikian akan berpengaruh pula pada
cara pandang berkeseniannya, termasuk terhadap teater rakyat kita. Kini
masyarakat sudah berubah, mereka lebih mencintai cerita setengah Barat daripada
cerita-cerita rakyat. Sehingga teater rakyat menjadi punah. Ini Sebuah hal yang
berat, jika teater rakyat menjadi teater rakyat yang hidup. Saini KM
mengungkapkan:
Ini berat. Saya pun tidak mungkin melakukan sesuatu,
sehingga teater rakyat ini menjadi teater rakyat yang hidup. Sekarang
masyarakat tidak kenal lagi cerita-cerita rakyat dan mereka lebih kenal cerita setengah rakyat
dan setengah Barat. Misalnya saya mementaskan Sangkuriang, anak-anak sekarang
sudah tidak mengenal. Dianggapnya apa. Kalau saya mementaskan Damar Wulan
misalnya. Berbeda sekali dengan di Barat, mereka di sekolahnya sudah diajar
(Wawancara : Saini K.M, 29 Oktober 2010).
Disamping itu, ada beberapa hal lebih
penting yang mempengaruhi lenyapnya teater rakyat di Jawa Barat khususnya kota
Bandung, melalui beberapa wawancara terutama Arthur S. Nalan dan beberapa
koleganya: Saini KM, Jakob Sumardjo, Yoyo C. Durachman. Akibat kepunahan yang
terjadi dalam teater rakayat di Jawa Barat ada beberapa faktor di antaranya:
Pemerintah, Seniman teater rakyat, dan Jurusan Teater STSI Bandung
2.4.1. Pemerintah
Pemerintah salah satu unsur, yang
idealnya punya perhatian terhadap masalah-masalah kebudayaan. Khususnya pada
teater rakyat, selama ini jauh dari harapan. Kepunahan berbagai jenis teater
rakyat, belum bisa menggerakan dirinya untuk bertindak. Tapi berjalan sendiri
dan sibuk dengan urusan-urusan kekuasaan. Dari pemerintahan pusat sampai daerah
tidak punya kepedulian sama sekali. Mereka adalah orang-orang yang tidak peduli
pada cara hidup masyarakat. Jakob Sumardjo, mengatakan:
Kita sebenarnya tidak bisa
mengharap pada pemerintah, orang-orang pemerintah itu kebanyakan
orang-orang yang tidak seperti kita, mereka tidak peduli pada kebudayaan.
Orang-orang itu pedulinya pada kekuasaan. Tidak pada cara hidup masyarakat.
Kalau orang-orang seperti pemerintah, kita jangan terlalu mengharap. Nah yang
bisa dirubah, jika ada tokoh-tokoh yang
peduli terhadap kebudayaan. Kita usahakan dia bisa memerintah. Tapi kalau
sekarang kita mengharap pemerintah dari pusat ke daerah, orang tidak punya
kepedulian sama sekali. Kita tidak bisa berharap banyak meskipun kita
terangan-terangan. Mereka tidak memahami nilai-nilai luhur, yang harus ditinjau
secara modern (Wawancara : Jakob Sumardjo, 26 Oktober 2010).
Pemerintah yang diwakili Disbudpar
ini, sebuah dinas yang menangani masalah-masalah kebudayaan dan pariwisata,
sebenarnya sebuah unsur dalam sistem teater rakyat, yang memiliki tanggungjawab
khusus untuk pembinaan dan konservasi kebudayaan lokal. Kurang melakukan
penggalian-pengalian dan berpihak pada perkembangan teater rakyat. Selama ini
hanya berbasis pada program yang tidak dilakukan secara berkesinambungan. Hanya
berbasis proyek. Karena banyak pejabat-pejabatnya
yang tidak memahami masalah-masalah
kebudayaan. Bersifat pegawai saja. Dan ada dugaan cenderung kental
dengan muatan-muatan politik. Yoyo C. Durachman menuturkan:
…Misalkan kalau orang mau mengangkat si X itu menjadi
kepala ini (Disbudpar), suatu jabatan
yang penting dikalangan Pemda, si X ini dapat dukungan enggak dari
partai politik. Dia yang mendapat dukungan belum tentu yang konsen, atau
menguasai masalah-masalah. Akibat dari itu, akhirnya program-program yang
dilaksanakan oleh Disbudpar itu, hanya bersifat semacam seremonial saja. Dalam
tanda kutif Proyek. Karena bersifat begitu. Pikiran mereka itu selalu, bahwa
kesenian yang patut dipelihara itu kesenian yang berorientasi pada pariwisata.
Maka karena berorientasi pada pariwisata bobot keseniannya itu harus tinggi.,
harus mengikuti selera masyarakat. Padahal di negara-negara maju
kesenian-kesenian yang serius itu bisa menjadi objek wisatawan. Dan yang
menjadi masalah, program kontinu itu tidak ada. Kalau di negara maju
terciptakan. Jadi sebaiknnya Disbudpar itu
membuat kegiatan yang lebih dipertanggung jawabkan(Wawancara: Yoyo C.
Durachman, 25 Oktober 2010).
Penulis
fikir bagaimana sebuah kesenian bisa berkembang dan teater rakyat bisa terus
hidup jika mental-mental atau kemampuan oknum pegawai pemerintah (Disbudpar)
hanya mengarah pada proyek semata (merujuk pada pendapat Yoyo C. durachman).
Sedangkan di daerah, seniman-seniman teater rakyat berharap ada pembinaan dan
pemberdayaan. Mereka menunggu ada upaya yang lebih kongkret dari pemerintah.
Disamping
itu, Disbudpar selama ini katanya --hanya
berposisi sebagai pendata saja. Sebaiknya mereka melakukan pembinaan pada
generasi muda untuk merevitalisasi ulang. Bagi mereka kebudayaan itu bukan masalah yang utama.
Nandi Riffandi :
Disbudpar selama ini hanya mendata saja. Yang bagus di tampilkan. Sementara yang
punah-punah, kesenian yang mau habis -- mereka tidak berusaha merevitalisasi
ulang. Kalau ada revitalisai kan ada orang-orang muda yang bisa dididik, punya
talenta. Karena saya pikir kebudayaan itu jadi nomor berapa. Sekarang kebudayan
porak poranda (Wawancara: Nandi
Riffandi, 28 Oktober 2010).
Disamping itu, pegawai-pegawai dinas
ini bukanlah orang-orang profesional, yang belum tentu orang kebudayaan. Orang
hukum, atau orang tekhnik. Jabatan-jabatan mereka sifatnya birokrasi saja. Jakob Sumardjo menuturkan:
Disbudpar sebaiknya, dipegang oleh orang-orang yang
bener-bener profesional. Jangan pegawai begitulah. Tapi menurut saya,
pelaksananya boleh pegawai. Tapi kenapa ketua-ketuanya enggak di ambil dari
orang luar. Mereka selalu, jabatannya jabatan birokrasi saja. Bukan jabatan
profesional. Kalau birokrasi pegawai-pegawai Budpar itu, belum tentu orang
kebudayaan. Orang hukum, atau orang tekhnik, dan sebagainya. Ya, susah selama
sistem pemerintahan sendiri enggak di rubah (Wawancara : Jakob Sumardjo, 26
Oktober 2010).
Begitulah kondisi Disbudpar yang
sebaiknya punya kepekaan terhadap persoalan kepunahan teater rakyat di Jawa
Barat ini. Namun disayangkan, sebuah dinas kebudayan yang dikelola secara profesional
--tampaknya masih hanya harapan yang tidak tahu kapan akan tercapai.
2.4.2. Seniman
Teater Rakyat
Seniman teater rakyat merupakan
sekelompok masyarakat yang hidup pada umumnya dalam lapisan sosial bawah.
Mereka memiliki cara pandang tradisi konservatif. Dengan tidak bermaksud merendahkan,
banyak yang berpendidikan rendah. Sikap mereka yang polos dan apa adanya dalam
berekspresi kesenian. Dan lambat dalam menangkap informasi kekinian, membaca
jaman, dan beradavatasi berkesenian, khususnya bergiat di teater yang sesuai
dengan apa yang masyarakat butuhkan sangat sulit. Akhirnya, teater rakyat yang
mengandung idiom-idion lama, yang tidak sesuai dengan waktu sekarang punah,
karena tidak mampu mengikuti keinginan masyarakat pendukungnya yang terus
berubah, karena faktor serangan budaya luar yang ditawarkan oleh media masa.
Sedangkan teater rakyat bisa hidup karena didukung ekologinya. Yoyo C.
Durachman berpendapat:
Teater rakyat harus di dukung ekologinya. Pengertian
saya: ekologi itu, suatu lingkungan yang
bisa mendukung sesuatu untuk bisa hidup. Sekarang kita berbicara lingkungannya
teater rakyat Jawa Barat. Teater rakyat Jawa Barat itu, dia akan bisa hidup: 1)
kalau ada pelakunya. Pelakunya sekarang gimana? Tidak ada regenerasi, dan
sebagainya. Kenapa tidak ada regenerasi? Mungkin jawabannya teater rakyat tidak
menghasilkan secara ekonomi. Kenapa? Ya, tidak ada ‘pengguna’ (Apresiator,
penonton). Karena teater rakyat hidup itu oleh penontonnya. Sekarang, jarang
sekali orang yang menanggap teater rakyat. 2) tradisi budayanya. Misalnya tradisi
kesundaannya, dan lain sebagainya. Teater rakyat bisa hidup kalau tradisinya
mendukung. Misalnya sarana dan prasarananya (Wawancara: Yoyo C. Durachman, 25
Oktober 2010).
Selain itu, sikap mempertahankan diri
pada status lama sering terjadi. Sehingga proses regenerasi tidak tercipta.
Sifat yang tidak mau berubah dan bekerjasama dengan seniman lain pun, menjadi ciri khas seniman teater
rakyat atau tradisi. Seperti dalam sandiwara sunda atau reog. Hernawan SA
mengatakan:
Misalnya dalam sandiwara atau reog. Kenapa mereka enggak
mau membuat regenerasi. Ketika ada orang-orang muda yang mau masuk ke dalam, contoh dalam sandiwara sunda,
padahal mereka mampu melakukannya. Kenapa harus tetap yang main itu orang-orang
lama. Ini belum bisa, katanya. Ini ada ego di seniman-seniman teater
tradisional itu. Misalnya, katanya: Saya dari dulu jadi pangeran, jadi putri.
Enggak bisa digantikan. Enggak merasa mereka itu sudah tua. Mereka ketakutan
untuk disaingi oleh orang muda. Bahkan ada yang mengatakan, saya enggak mau
main kalau saya tidak jadi pangeran. Kalau jadi permaisuri, jadi permaisuri.
Kalau jadi pangeran, jadi pangeran (Wawancara: Hernawan SA, 01 November 2010).
Meskipun itu adalah kasus kecil,
setidaknya ini memberi gambaran mengenai karakter khas seniman-seniman tradisi
Sunda (kecuali yang di bentuk di akademik), yang tidak mau terbuka pada sebuah
perubahan. Dan cenderung mereka tidak mau saling mendukung satu sama lain dalam
sikap memajukan seni-seni rakyat, khususnya teater rakyat di Jawa Barat.
2.4.3. Jurusan Teater STSI Bandung
Jurusan
teater STSI Bandung merupakan barometer
(tolak ukur) dalam penciptaan kreatifitas teater, dan lembagaa pendidikan seni
ini telah banyak melahirkan teaterawan-teaterawan dan ribuan alumni yang
tersebar di seluruh wilayah Jawa Barat. Dengan kehadiran para teaterawan dan
alumni teater tersebut, dalam wawancara dengan penulis, secara tidak langsung
Saini KM menyarankan sebaiknya ikut menjadi bagian dalam upaya konservasi
teater-teater tradisi di Jawa Barat, dengan cara perombakan kurikulum yang
berorientasi pada penegakan teater tradisi. Selama ini, kiprah para teaterawan
dan alumni yang dilahirkan oleh kurikulum yang berorientasi pada teater Barat
ini, banyak yang kurang peduli terhadap persolan perkembangan teater rakyat di
Jawa Barat. Justru mereka lebih bergelut dengan teater Barat. Ini adalah
kesalahan kurikulum, salahsatunya, yang belum berpihak pada penegakan teater
rakyat. Saini KM mengatakan:
…..Kesalahan kurikulum diantaranya. Dianggapnya, anak-anak
sekarang lebih senang teater rakyat Barat. Oleh karenanya, di TV semua itu.
Sedangkan teater rakyat yang banyak di sekeliling, kalau kita pergi ke kampung
misalnya, banyak teater rakyat ini. Mereka tidak lagi terangsang oleh itu, dan
mereka bawa permainan teater Barat ke kampung. Bangga mereka itu. Orang kampung
anggapnya apa itu. Nah, karena saya katakan tadi --dalam kurikulum penegakan
teater rakyat itu belum ada (Wawancara: 29 Oktober 2010).
Perombakan kurikulum, perangkat mata
kuliah di sebuah lembaga pendidikan, khusunya di jurusan teater STSI Bandung
mutlak dilakukan. Guna menciptakan para
teaterawan dan alumni yang punya
kepedulian terhadap penggalian seni teater rakyat. Pengkajian, revitalisasi,
atau konservasi.
Kepunahan teater tradisi ini,
sebetulnya, adalah tanggungjawab akademisi seni, yang tertuang dalam tridarma
perguruan tinggi. Sebuah pengabdian pada masyarakat. Lepas dari jurusan teater
STSI yang sekarang berorientasi pada teater Barat. Setidaknya sebagai akademisi
seni, punya rasa keterpanggilan untuk pembinaan-pembinaan terhadap
seniman-seniman tradisi, yang sedang mengharap adanya satu pencerahan -- supaya
teater rakyat bisa hidup. Disamping itu, idealnya banyak melakukan riset (tanpa
menunggu hibah) untuk kepentingan pendokumentasian, diskusi, konservasi,
pertunjukan-pertujukan yang berakar tradisi lokal, dan lain sebagainya.
Justru sekarang, para teaterawan yang
di dilahirkan di jurusan teater STSI Bandung, banyak yang merasa bangga
(sebagaimana yang dikatakan Saini KM) ketika mereka mementaskan naskah-naskah
Barat. Daripada mempertunjukan teater-teater yang berwarna lokal, baik itu
mengolah naskah-naskah lokal atau idiom-idiom yang berakar tradisi.
Kecenderungan ini mengakibatkan kurangnya apresiasi teater rakyat di wilayah
kampus sendiri. Apalagi di luar kampus.
Melihat keadaan seperti ini, Arthur
S. Nalan pun memiliki kesepakatan yang sama, jika kurikulum jurusan Teater STSI
Bandung di rubah. Ia setuju tapi harus
ada terobosan yang berani dari semua. tidak berorientasi pada Barat, tetapi
disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan teater rakyat sekarang. Dan tidak
berlebihan jika kampus seni “bebenah dan berkiprah”, saat ini perlu membaca mengktritisi tujuan
dan sasaran pendidikan teater. Arthur S. Nalan:
Tidak berlebihan, jika kita mau melakukannya, yakni
“bebenah dan berkiprah” dalam artian
dalam beberapa langkah, diantaranya:
1.
Membaca dan mengkritisi tujuan dan
sasaran pendidikan
teater.
2.
Menelaah dan memfokuskan kurikulum
yang merujuk pada
tujuan dan
sasaran.
3.
Melakukan proyeksi penguatan dan
pengayaan terhadap
beberapa
ketrampilan hidup (lifeskills), seperti menulis lakon,
mengembangkan bentuk-bentuk ekspresi baru, memiliki garapan khas,
praktis dan menarik.
4.
Meningkatkan pendidikan dosen (secara
berkala) dan
mendorong
melahirkan tokoh homocreator di bidangnya.
5.
Memiliki tokoh panutan kreatifitas
dan pengkaji dengan
melahirkan
pertunjukan dan buku untuk masyarakat.
Sekarang ini, menurutnya,
kampus-kampus seni tengah melakukan proses pencarian kembali, proses memilih
kembali, mencari akar budaya, kekuatan lokal. Dari kesadaran-kesadaran batin
para pembaharu. Karena itu sudah saatnya “pembacaan kembali” pada pendidikan
teater di beberapa kampus seni, khusnya bisa jadi jurusan teater STSI Bandung.
Apa tujuan dari sasasaran pendidikan teater kita? Lulusan ingin seperti apa?
Karena peran alumni sesungguhnya akan
menjadi indicator-indicator (sesuatu yang menjadi petunjuk) di masyarakat.
Masyarakat menunggu dan ingin melihat peran alumni, para sarjana seni yang
dihasilkan.
BAB III
PERJALANAN ARTHUR S. NALAN
3.1 Biografi Arthur S. Nalan
3.1.1 Masa Kecil
Arthur S Nalan lahir di Majalengka
hari Sabtu, 21 Februari 1959 dalam keadaan premature. Ia anak sulung dari lima
bersaudara, pasangan H. Drs. Arsim Nalan Natawiguna asal Sumedang dengan Hj. Tuti Ruchiati asal Majalengka. Namanya pun
sebagai wujud cinta mereka merupakan penyatuan nama Ar dan Tur. Tetapi karena
ayahnya seorang sarjana sejarah sangat kagum pada dua tokoh sejarah
legendaries, yaitu King Arthur dari Inggris dan Jendral Mc Arthur dari Amerika,
namanya dilengkapi jadi Arthur. Orang Sunda yang bernama Asing. Ia tinggal di
kampung Kaputihan, letaknya di Majalengka kota sebelah timur dekat dengan
komplek makam Giri Lawungan.
Dulu sewaktu kedua orang tuanya
menikah masih menjadi pasangan muda, ayahnya guru SMP di Majalengka dan
kemudian pindah ke Bandung. Mereka hidup di Bandung, Arthur tinggal dengan
nenek dari ibu yang biasa dipanggil Mimi, nama sebenarnya Hj. Atinah. Kakeknya
bernama Mukti Sanusi, mantan Jurutulis di masa lalu, karena itu dipanggil
masyarakat dengan sebutan Wa Ulis. Ia memanggil kakeknya Mama. Arthur kecil
tinggal dengan para bibi (adik ibunya) dan menjadi anak kesayangan Mimi.
Sebagai anak kampung waktu itu Arthur
termasuk suka bergaul dengan teman sebaya dan di bawahnya. Teman masa kecil,
katanya ada beberapa, seperti: Didi
Rosadi, Sadikin, Wowo Sugriwo, Ading, Pandi. Sekarang mereka sudah pada berumah
tangga dan kebiasaan di daerahnya, banyak yang menjadi pengembara artinya
tinggal di kota lain, seperti Jakarta, Cirebon, dan Jawa. Kalaupun ada yang
tinggal di Majalengka, biasanya yang beristri orang Majalengka.
Mama Arthur, kakeknya, seorang tokoh masyarakat yang dituakan,
termasuk dalam urusan agama dan sosial. Ia punya beberapa kambing dan ayam
peliharaan di kebun samping rumah. Di dekat rumahnya juga ada Tajug (langgar bagi
masyarakat ibadah sholat lima waktu dan
berkumpul). Mamanya sendiri yang mencari rumput, ia sekali-kali ikut. Biasanya
mengambil rumput di Pasir Cangkudu dan Pasir Cina. (Keduanya tempat kuburan).
Tetapi tempat bermain yang mengasyikan, seperti “ngala jangkrik” dan “maen langlayangan”.
Di dekat kampung ia ada sungai besar
namanya Cideres, airnya jernih dan berbatu. Ada beberapa Leuwi (kedung) yang
diberi nama orang, seperti Leuwi Pak Eye, Leuwi Pak Jaka. Arthur dan kawan-kawan sering bermain ke Cideres,
mandi dan berenang. (Arthur bisa berenang pertama kali karena sering mandi di
Leuwi). Lalu biasanya beristirahat dan membuat kedokan (tumpukan batu sungai
yang dicampur jerami) di sungai yang airnya tidak deras, tujuannya supaya ada
ikan yang terperangkap. Tiga hari atau seminggu kemudian dilihat, biasanya ada
ikan kecil yang terperangkap, seperti benter, kehkel. Lalu biasanya dibakar
dipinggir sungai dan dimakan.
Arthur sekolah di SDN 4 Majalengka,
waktu itu kepala sekolahnya Pak Saiful Islam. Dulu tak bersepatu hanya bersandal.
Di sekolah bertambah teman satu sekolah, kalau tidak salah, katanya, yang akrab
Dadang, Misna, dan Wawan. Sore hari ia belajar agama dan mengaji di Darul Huda,
pesantren milik Haji Damiri, ulama terkenal di daerah Warung Jambu. Arthur
bersahabat dengan anaknya Otong. Ia bisa mengaji karena didikan dari Darul Huda
dan kakeknya. Kalau maghrib solat di tajug di kampungnya, biasa disebut Tajug
Pak Lami, karena yang mendirikannya. Ia paling senang mendengarkan dongeng
Islami dan Silat dari Mang Encim, Ia pandai sekali mendongeng. Arthur ingin
bisa mendongeng seperti dia.
Kebiasaan masa kecil ada yang buruk
dan yang baik. Tetapi keduanya dianggap biasa saja. Yang buruk, adalah
kenakalaan masa kecil, seperti mencuri mangga, mencuri tebu di kebun tebu milik
pabrik gula, kabur dari mengaji, mencuri bonteng (mentimun), mempermainkan anak
perempuan. Yang baik, belajar mengaji, sholat, tampil di acara Rajaban,
Imtihan, hafal surat-surat, Muludan. Kebiasaan pada seninya, adalah
mendengarkan dongeng agama dan silat, dan nonton wayang. Arthur dijuluki Si
Gungclo, setiap ada pertunjukan wayang selama masih di Majalengka ia dan
kawan-kawan suka nonton, bahkan kalau agak jauh diantar kakeknya, pulangnya subuh bersama teman-teman.
Arthur juga juara deklamasi
se-Majalengka. Kemudian se-wilayah Cirebon. Ia paling senang pada puisi ‘AKU’
Chairil Anwar dan ‘Peuting’ di Bandung, Surachman RM.
Arthur juga suka nonton
Sandiwara Sunda, Topeng Cirebon, Wayang
Kulit (Dalang Renda) dan Orkes Melayu. Juga nonton film di Istana Bintang,
terutama film cowboy, dengan Pupung teman satu sekolah (bapaknya penjaga
Bioskop).
3.1.2 Masa Remaja
Masa kecil sebuah kenangan yang besar
baginya. Tamat SD Ia pindah ke Bandung. Tinggal bersama orang tua di Jl.
Sukaaman Cicadas Bandung. Tepatnya di belakang Rumah Sakit Al Islam, jalan
Awibitung. Arthur tinggal dengan adik-adik dari tahun ke tahun bertambah akil
balig. Ia masuk SMPN 5 di jalan Jawa yang waktu itu masih sepi, tahun 1970an.
Ia diantar pake becak langganan keluarga bersama adiknya, Dian B Nalan. Waktu
itu kepala sekolahnya Pa Lili sadeli. Arthur bersahabat dengan Mamay (anaknya
Gubernur Solihin GP). Ia aktif pramuka dengan bimbingan Pak Abidin (guru
agama). Ia biasanya menulis sajak dan
puisi. Bahkan Arthur suka diminta bikinkan surat untuk teman sekelas membuatkan
surat cinta. Ia sudah mulai menyenangi lawan jenis dan menjalin cinta monyet.
Ia senang padanya karena pintar, terutama pandai bahasa Inggris dan tulisannya
bagus.
Pergaulan anak kota Arthur jalani,
mulai dibelikan motor Honda Bebek. Dan sering naik ke Puncrut (sekarang biasa
disebut Punclut). Ia juga suka naik gunung, seperti ke Jayagiri Tangkuban
Parahu. (Karena penasaran lagu Melati dari Jayagiri, Bimbo). Ia mulai menjadi
penulis saja yang diam-diam. Ia juga suka menggambar, pelajaran menggambar
nilainya A. Olah raga kesukaannya, berenang dan Basket.
Lulus SMPN 5 ia didaftarkan ke SMAN 3
Bandung jurusan Paspal (Pasti Alam, kalau sekarang IPA). Sekolah terkenal dan
bergengsi. Keinginan orang tua siapa yang bisa membantah waktu itu, katanya.
Padahal ia ingin ke SMAN 1 bersama Mamay
yang sekolah di sana. Tapi Arthur jalani dengan perjuangan luar biasa, guru
yang disiplin, soal latihan yang selalu banyak. Membuat “teller” juga (apa yang ia katakan). Dari mulai
Aljabar analit, Fisika Mekanika, Biologi, Kimia Organik dan Anorganik, Ilmu
Ukur Ruang, Ilmu Ukur Sudut, benar-benar membuat kepala berdenyut. Hingga
hasilnya “tak memuaskan” di raport, hanya nilai Agama dan kesenian yang bagus.
Takut anaknya tidak lulus, maka tahun kedua Arthur “terpaksa” dipindahkan
kembali ke Majalengka. Menjadi siswa SMAN 1 Majalengka. Akhirnya ia beradaptasi
kembali dengan kondisi di daerah. Kebetulan waktu itu ayahnya menjabat sebagai
Kepala Dinas Kantor Departemen P & K Kabupaten Majalengka. Mereka tidak
tinggal di rumah nenek, tetapi menyewa rumah di Gang Suma. Tetapi ia lebih suka
tidur di rumah Neneknya.
Hanya saja semua kenangan masa kecil
mulai menghilang. Teman-teman masa kecil sudah tak tinggal lagi di kampung,
pada mengembara. Ia jadi bergaul dengan teman SMA, walaupun ada juga teman masa
SD yang kini satu SMA. Arthur bersahabat dengan Maliki anak Kadipaten (kini di
Jakarta), Hendra (kini di Cirebon), dan Yusuf (sudah meninggal). Sebagai remaja
kota yang datang kembali ke daerah, kebiasaan kota ia bawa, ia menjadi pemain
Basket yang mengajak teman-teman menyukainya, akhirnya membentuk grup Basket
kelas, lalu sekolah. Padahal dibalik itu, Arthur berbasket ria untuk memikat
siswa perempuan biar suka, dan berhasil. Ia memacari teman-teman satu sekolah,
sekolah lain yang katanya ada “kembang sekolahnya”. Namun yang paling
membuahkan kenangan indah dengan teman SD yang ketemu kembali setelah SMA,
sebut saja namanya Sabarika. Penyabar, pandai dan cantik tentu saja.
Di SMA ia aktifis kesenian, majalah
sekolah dan kegiatan kesenian merupakan bagian dari kesibukannya. Bahkan tahun
1977 pernah ikut Festival Teater di Bandung, ia dan kawan-kawan dapat artistic
dan pemeran perempuan. Prestasi lumayan, walaupun tidak juara umum. Naskahnya Bejana
karya Kadarisman Achlil, ia berperan sebagai Ayah. Sutradaranya adalah gurunya,
yaitu Pak Lukman. Kegiatan kesenian semakin semarak, termasuk Folksong yang
waktu itu tengah mewabah. Arthur paling tidak biasa menyanyi, jadinya hanya
mengkoordinir saja. Ia menjadi wakil ketua OSIS, ketuanya Yusuf (almarhum).
Arthur juga jadi ketua organisasi BPRK
(Bandung Pos Remaja Klub) Majalengka,
dan juga menjadi pengurus Pramuka DKC (Dewan Kerja Cabang) Majalengka, ketuanya
Apang Sopandi. Ia juga suka alam, hampir gunung-gunung di daerah Majalengka dan
sekitarnya pernah di datangi.
Puisi-puisinya lebih banyak puisi cinta. Beberapa lakon yang di buat
judulnya: Nostalgia, Memorial, Ketika Matahari Menyengat.
3.1.2 Masa Kuliah
Lulus SMA, kembali ke Bandung. Ia diharuskan
ke ITB arsitektur, ia menurut untuk ikut testing (padahal ia testing ke jurusan
Seni Rupa). Untunglah tidak lulus ke ITB. Ayahnya punya sahabat semasa sekolah
di Sumedang, kemudian ke IKIP Bandung, yaitu sastrawan ternama Saini KM
(kebetulan Pak Saini KM Dosen di ASTI Bandung), daripada anaknya tidak kuliah,
akhirnya masuklah ke jurusan teater ASTI Bandung lewat penitipan kepada Pak
Saini KM supaya ia “dibina” sampai
berhasil. Sama dengan apa yang dituturkan oleh Saini KM:
Jadi begini, ayahnya datang kepada saya. Titip anak
ini supaya sekolahnya maju dan
sebagainya. Ayahnya adalah teman sekolah saya. Lalu waktu sudah selesai
sekolah, sudah mengajar di STSI, ayahnya datang lagi. Arthur itu sebaiknya di
dorong untuk sekolah lagi, biar yang memberi dana saya. Jadi ayahnya sangat
mendorong dan akan mendukung dengan semua kekuatan. Arthur sebagai mahasiswa,
yang sebetulnya punya gambaran yangn baik tentang masa depan(Wawancara: Saini
KM , 25 Oktober 2010).
Ibarat ikan diceburkan ke kolam,
Arthur sangat bersemangat belajar seni teater dengan bimbingan Pak Saini KM.
Waktu itu ia ingin seperti beliau, pandai, bersahaja dan baik pada setiap
orang. Ayahnya pernah bilang soal Pak Saini: “Saini mah jalma anu hade ka
sasama, teu budak teu kolot, sarua hade, kudu diturutan !”. Maka akhirnya ia
tumbuh sebagai mahasiswa teater angkatan pertama (1978). Waktu itu mahasiswanya yang muda dan yang tua, yang
muda: Arthur S. Nalan, Tini Margono, Yoyo cahyo, Herry Dim, Bambang Asmara,
Willy Sembung. Ika. Yang tua: Pak Toha, Eka Gandara, Nooringhati, Cece Raksa,
Ajat Sudrajat. Dosen pemeranan dan penyutradaraan adalah Pak Suyatna Anirun,
Sastra Drama dan Filsafat oleh Pak Saini Sendiri, barulah belakangan Pak Yakob
Sumardjo mengajar Sejarah Kebudayaan, dan Pak Dedi Suardi mengajar Seni Rupa
dan Artistik.
Sejak tahun 1978 Arthur mulai aktif
dengan Pak Suyatna di STB (Studi Klub Bandung) menjadi pemeran “anak bawang”
artinya peran-peran kecil saja. Secara perlahan tapi pasti ia mulai mendapat
peran, seperti Juru Tulis Kuwu Adam (Jembangan Pecah), Jaluwuyung (Randumulus),
Haemon (Antigone), bahkan sampai peran utama sebagai Anggaraksa (Egmont).
Ia aktif di STB sampai tahun 2003.
Sejak 1978 juga
persahabatannya(Arthur S. Nalan, Yoyo Cahyo, Herry Dim dan Tini Margono)
membentuk kelompok teater, awalnya p-teater, kemudian menjadi Sanggar Kita.
Yoyo Cahyo lebih banyak bertindak sebagai sutradara dan ia sebagai aktor
sekali-sekali jadi Sutradara. Garapan Sanggar Kita” Pengikut Iblis (GB Shaw),
Teroris (Camus), Inspektur Jendral (Gogol),
Raja Mati (Ionesco). Sebagai sutradara: Perampok (JF Sciller), Perang
Troya Takan Meletus (Jean Gireadoux) (diadaptasi jadi Perang Bidar), Serat
Santri Kembang (Arthur S Nalan).
Arthur menjadi mahasiswa teater yang
aktif, setelah angkatan bertambah (1979) di mana mahasiswanya: Dede Sukmadi
Dukat, Rachman Sabur, Rusman Nurdin, Herman Effendi, Sumpeno Esti, Nandi
Rifandi dan sebagainya. Penampilan mahasiswa teater mudah dibedakan dengan
mahasiswa Tari dan Karawitan yakni berambut gondrong dan pakaian seenaknya.
Termasuk Arthur, Jean atau celana lusuh loak model tentara, jaket GI dan
dilengkapi Sal dileher. Ia dan kawan-kawan membentuk KMT (Keluarga Mahasiswa
Teater) ketua pertamanya Dede Sukmadi Dukat.
Sebagai pemuda yang mengagumi
keindahan dan kecantikan anugerah Tuhan. Ia memacari mahasiswi Tari, tetapi
yang serius menjalin hubungan karena kesederhanaannya dan keanggunannya, Arthur
jatuh cinta pada Lina Marliana Hidayat yang akhirnya kini menjadi istrinya dan
melahirkan anak anak kami, yaitu: Mahesa Herlambang Nalan (1983) dan Ziad
Bestari Nalan (1987). Keduanya kini sudah sarjana.
Tahun 1981 ia lulus Sarjana Muda dari
jurusan Teater ASTI Bandung, dan langsung ditawari sebagai PNS bersama Yoyo
Cahyo. Maka mulai tahun 1982 Arthur jadi PNS sebagai Tenaga Edukatif non
Asisten (begitu SKnya). Tahun 1983 ia
menikah dengan Lina Marliana Hidayat di Subang. Karena ayahnya sebagaai
administrator Perkebunan Kasomalang Subang.
3.1.3 Masa Perkawinan
Setelah menikah ia tinggal di Komplek
Parakan (Jl. F38) yang sekarang menjadi Jl. Parakan Asih No 7 Bandung. Rumah
itu hadiah perkawinan dari orang tuanya, karena ia dan istrinya berhasil studi
dan juga menjadi PNS. Rumah ia awalnya rumah tak bertingkat dan model seadanya.
Luasnya sekitar 125 m2. Tahun 1983 Oktober Arthur dikaruniai anak pertama,
seorang laki-laki ia beri nama Mahesa Herlambang Nalan. Tahun 1996 direnovasi
hasil dari hadiah beberapa lakon dan tentu saja pinjam ke Bank. Membangun
bagian belakang. Tahun 1998 ditingkatkan menjadi dua tingkat sejalan dengan
kedua anaknya (Mahesa ) dan Ziad Bestari Nalan sudah mulai remaja.
Masing-masing punya kamar sendiri.
Arthur mulai merintis menjadi penulis
lakon (ingin seperti Pak Saini KM), ia menulis lakon: Bhubuksah (akhirnya
judulnya diganti jadi Hujan Keris) dan diikutkan pada sayembara lakon DKJ,
menang sebagai juara harapan 1. Kemudian lakon anak-anak: Si Samudra dan
Dunianya Didong (Sayembara Direktorat Kesenian- sebagai Juara harapan 1),
keduanya diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Buana (ia tak punya arsipnya, ada
yang pinjam dan hilang). Lakon Tembang Rawayan (Dirkes- Juara harapan), Serat
Santri Kembang (DKJ 1987) juara harapan 1, Si Badul dan anak ondel-ondel (lakon
anak- Dinas Kebudayaan DKI), Sobrat (DKJ 2004) juara ke 1.
Pengalaman menulis lakon, terus sampai sekarang (lebih
dari 20 tahun) dan sudah menulis sekitar 50 lakon, termasuk Monolog, Drama
Kecil, Skenografi Tari dll. Juga menulis scenario film (TV), yang sudah
diproduksi: Bahana Cinta, Lazuardi, Dibalik Panggung. Jalan Perkawinan
(Direktorat Film Kementrian Budpar-juara 1), Wanita Dari Negeri wewangian
(Direktorat Film Kementrian Budpar-Juara 5 Besar). Kini kegiatan menulisnya
bertambah dengan menulis Novel: Benang Merah, Zakaria (sudah selesai) dan
Sepasang Mata Cinta, Ali Kodom (sedang diselesaikan).
Sebagai orang Sunda pituin (asli),
ia menulis dalam bahasa ibu. Arthur
menulis lakon: Kopiah Jeung Sarung, Oleng Panganten, Kasur Butut, Sorabi
Lagendaris, Sajak Balangsak, Cocoretetan nu Edan (sudah dipublikasikan dan
digarap di festival Teater Sunda Kiwari setiap dua tahun sekali), Ucing
Kawin, Benang Kusut (sudah selesai belum dipublikasikan), Nu Gelo ti
Cipagalo (sedang ditulis).
Ia menulis prosa liris Sunda: Ngabungbang Jeung
Sangkuriang (sudah selesai, tengah proses publikasi), Tampolong Nini (sedang
diselesaikan).
Proses menulis terus ia jalani dengan
spirit meritokrasi (keteladanan) bagi generasi penulis yang akan datang,
artinya bahwa menulis perlu prilaku disiplin waktu yang diatur berdasarkan diri
sendiri, ia sekarang lebih banyak melakukan kegiatan menulis pada tengah malam
sampai pagi, biasanya setelah sholat malam. Di samping itu menulis perlu banyak
membaca dan melihat “kehidupan” karena itu Arthur menyetujui metode yang dibuat
Vicky King (penulis Australia) tentang “Inner Movie” untuk membuat scenario
yang baik, karena itu ia juga mengadaptasinya jadi pengembangan untuk menulis
lakon yaitu metode “Inner Play” untuk membuat lakon.
Di samping itu ia mulai banyak
diundang sebagai pembicara, pemberi workshop penulisan, dan konseptor kegiatan
yang berhubugan dengan seni dan budaya, sampai sekarang. Tahun 2000. Ia dan
Jaeni, teman kerjanya, mendirikan Etnoteater. Yayasan yang bergerak dalam
kegiatan promosi kesenian rakyat yang memiliki tema kerja: Archaic
Revivalism. Selain pempagelarkan kesenian rakyat, juga menerbitkan
hasil-hasil penelitian non fiksi dan juga fiksi. Kami mendirikan Teater WOT
yang produksi pertamanya Rajah Air karya dan sutradaranya, lalu Sop Kura-kura
Made Krecek (Produksi ke -2), karena berbagai kesibukan produksi teater
ditunda. Tetapi menjelajah kemungkinan pertunjukan lain, yakni inspirasinya
digali dari Wayang, maka lahirlah: Wayang KaKuFi (Kayu Kulit Fiber) yang pernah
ke Yunani dan Vietnam (mendapatkan sejumlah penghargaan), Te Way Sun (Teater
Wayang Sunda) beberapa lakon sudah diproduksi: Candrabilawa Layu, The Song of
Dorna, The Song of Magma, Mother
(Kunti).
Ia juga mengembangkan bentuk
jelajahan baru dari KaKuFi, yakni wayang Bunglon (Bunga Lontar) main di Festival
Seni Surabaya. Sekarang tengah mengembangkan bentuk baru yang lebih praktis
tapi taktis untuk pertunjukan yang berprinsip: Saeutik Mahi. Bentuk yang
dikembangkan ini mengambil inspirasinya dari Dunia Orang-Orangan dll, dalam
bentuk Teater Boneka, sementara namanya Anak Zaman (Azam) jadi kalau disingkat
Tebon Azam.
3.1.4 Masa Pengabdian Kerja Formal
Sejak menjadi PNS tahun 1982, Ia
menjadi asisten dosen mata kuliah pemeranan dengan penanggung jawabnya Suyatna
Anirun. Tahun 1989 Arthur studi S-1 bersama semua dosen-dosen muda di STSI
Surakarta, ia dengan istrinya mengambil karya penciptaan tari berjudul HYWA
dengan musik Harry Roesli. Ia jadi dosen pemeranan dan Tata Pentas serta
membimbing skripsi. Arthur pernah menjadi Ketua Jurusan Teater, Asisten PK III,
dan tahun 1991 ia S2 di UGM kajian Seni Pertunjukan, waktu itu Direktur ASTI
dipegang Pak Saini KM, kembali pak Saini KM mendorong ia untuk memberikan
contoh sebuah”pengorbanan” dan contoh untuk pertama kalinya dari teater kuliah
S2. Akhirnya tahun 1993 kuliah S2 ia rampung. Arthur punya prinsip yang mungkin
dianggap arogan oleh orang lain: Tepat waktu dan bermutu. Ia menulis Sanghyang Raja Uyeg, sebuah teater
rakyat hasil revitalisasi Anis Jatisunda di Sukabumi. Tesis ini sudah
diterbitkan.
Ia diminta menjadi kepala PUSLITMAS
STSI Bandung, ketika itu ketuanya Pak Iyus Rusliana. Pada masa puslitmas ia
pegang, ia punya prinsip kerja: Apa yang bisa saya lakukan yang terbaik untuk
STSI ? Maka dibuatlah program-program pengembangan penelitian dan PKM, serta
Jurnal Panggung dirintis secara teratur terbitnya, walaupun dalam keadaan
terbatas dana. Perubahan mata kuliah yang ditanggung jawabi terjadi, ia
mengembangkan mata kuliah Seni Pertunjukan Indonesia yang akhirnya menjadi Kajian Seni
Pertunjukan. Juga Metode Penelitian dikembangkan menjadi Metode Penelitian
Lapangan (fieldwork Research).
Pekembangan yang paling menarik
adalah dalam mata kuliah penulisan lakon yang dirintis Saini KM, kemudian
dibantu Arthur dan Dede Sukmadi Dukat. Ia dengan Dede bersahabat dalam kreasi
lakon, Arthur dan Dede pernah satu tim film seri ACI (aku Cinta Indonesia), ia
diajak Dede. Kemudian dalam scenario lain yang menjadikan pengalamannya
bertambah. Selanjutnya mata kuliah penulisan lakon ia dan kawannya pegang
bersama dan bagi kerja. Pernah ada dosen luar biasa dalam penulisan lakon,
ketika Benny Yohanes Kajurnya (Kepala Jurusan) yaitu Benny Ridarman. Tetapi
tidak berlangsung lama. Yang membahagiakan ia adalah dibukanya minat penulisan
lakon di jurusan Teater, dan kini sudah berhasil meluluskan seorang Sarjana
pertama. Dan menyusul yang lainnya sedang bimbingan. Munculnya minat penulisan
lakon ini adalah mimpi Arthur dan reka
kerjanya, terutama Saini KM, Dede Sukmadi Dukat dan Arthur. Sebab, salah satu
peluang masa depan teater Indonesia, khususnya dunia drama adalah lahirnya
penulis penulis lakon dari sebuah perguruan tinggi seni.
Tahun 2004 ia menjadi ketua STSI
Bandung. Di masa periode ini yang penulis rasakan perubahan STSI Bandung sangat
besar. Perbaikan-perbaikan fasilitas kampus terus dilakukan. Dan mendorong
seluruh dosen untuk melanjutkan studi S-2. Karena ketika ia menjabat, kembali
melontarkan pertanyaan pada dirinya: Apa yang terbaik yang dapat ia lakukan.
Berkat usaha keras dan kerjasama bersama, kampus STSI Bandung yang kata orang
kini menjadi “Agreng” dan fasilitasnya semakin baik. Juga program-program
Tridarmanya. Ia jaringkan dengan pemerintah Jawa Barat dengan program Alumni
masuk kabupaten kota untuk mengemas kesenian khas di daerah masing-masing dan
berjalan baik. Juga kerjasama luar negeri dengan KBRI Prancis, mengikuti
festival NIORT selama sebulan. Termasuk program perintisan studi film.
Selain itu, Arthur S. Nalan cukup dekat dengan para
pejabat di kota Bandung, diantaranya, Walikota Bandung Dada Rosada dan pejabat
lainnya. Ia selalu mengusung nama STSI Bandung setiap ada acara-acara diluar,
Sehingga lembaga pendidikan ini lebih di hargai, dan dikenal masyarakat, dengan
segala kreatifitasnya. Saini KM mengungkapkan, masa kepemimpinan Arthur S.
Nalan, adalah salahsatu periode yang paling baik dibanding dengan masa
kepemimpinan yang lain. Ia menegaskan:
Periode paling baik itu Pak Arthur. Di bandingkan dengan
yang lain. Begitu dia duduk. STSI maju sekali. Tapi sekarang mundur lagi. Jadi
tidak muncul STSI nya. Dulu kalau STSI di bawa keluar, ini adalah STSI, tapi
sekarang… (wawancara : Saini KM, 28 Oktober 2010)
Lepas dari di dukung atau tidak sebagian
program-programnya, sehingga ada yang tidak terimplementasikan, karena itu bisa
jadi terletak di wilayah staf-stafnya dalam menafsirkan gagasan-gagasannya.
Menurut Rusman Nurdin :
Dalam tataran bergaul diluar secara eksternal ia bagus,
tapi barangkali di internal agak sulit. Banyak hal yang belum sampai, belum
tertangani. Itu hal biasa ada kelebihan dan kekurangan.Ya, stafnya mengikuti
atau tidak barangkali konsep sudah jelas, tapi mungkin stafnya bagaimana
menerjemahkan kebijakan, menerjemahkan keinginan, kalau tidak tahu betul repot. Ya, (jika di wilayah penafsiran).
Setiap orang memiliki paradigma masing-masing. Saya pikir dalam obrolan rapat
pimpinan itu ada. Tapi mungkin satu atau
dua orang, yang memahami garisnya. Tapi, ketika terjadi implementasinya, prak-prakan
nya mungkin jalan sendiri-sendiri. Yang jelas keinginan A atau keinginan merah,
tapi akhirnya bisa lihat merahnya ke
jingga atau kemana. Tapi itu wajar- wajar saja (Wawancara: Rusman Nurdin, 28
oktober 2010).
Mungkin saja permasalahan yang di
alami Arthur, membangun ikatan emosional di wilayah internal agak sulit, karena
ada pemikiran yang heterogen di STSI Bandung.
Di satu pihak masih menganut pemikiran primordial, di pihak lain sudah
siap menerima sebuah perubahan. Dan progresifitas Arthur, yang di dewasakan
oleh teater begitu tinggi. Di tuturkan Retno Dwimarwati:
Mungkin ikatan emosionalnya yang agak sulit, yang saya
lihat, saya juga ketika itu jadi ketua pusat penelitian., jadi ada hal-hal yang
tidak mach. Saya tidak tahu di dalamnya seperti apa. Mungkin dia visioner
sementara temannya tidak bisa mengikuti. Jadi mungkin sejalan bisa sejalan,
tetapi ketika lonjakannya terlalu jauh,
yang ini ngejarnya juga akan
sulit. Disini ada kondisi yang sangat sulit, terutama saya fikir: kalau
orang teater progresifitasnya itu sangat tinggi. Tetapi yang lain tidak siap.
Yang lain punya etos primordial. Tapi kalau semua progres, visioner. Saya kira
bisa maju. Sangat sulit, disini ada etos kerja yang dibangun berbeda. Kalau
saya, yang orang teater itu punya Pak Yatna, Pak Saini itu berbeda dengan yang
lain. (Wawancara : Retno Dwimarwati 28 Oktober 2010)
Dibalik itu ia sering bergaul dengan
kalangan seniman dan budayawan di seluruh Indonesia, juga jaringan para doctor
dan professor. Hanya ia seorang yang berpendidikan S2 yang lainnya doctor.
Akhirnya meski berat dan usia sudah 51 tahun, ia paksakan kuliah S3 di
Komunikasi UNPAD dengan biaya sendiri. Meskipun banyak yang menyayangkannya,
kenapa tidak satu periode lagi jadi ketua STSI Bandung? hal ini seperti
dikatakan oleh Prof. Jakob Sumardjo :
Harusnya dilanjutkan. Saya kira ini periode yang lebih
baik. Mengembalikan STSI ini disejajarkan bahwa milik anda. Bukan hanya kita
saja. Pak Saini saya kira mulai begitu. Tapi Pak Arthur ini lebih masuk. Di
banding dengan ketua-ketua yang lain Pak Arthur lebih menonjol, sayangnya satu
periode itu. Karena beliau sendiri sudah tidak mau dicalonkan. (Wawancara :
Jakob Sumardjo, 26 Oktober 2010)
Baginya ini prinsip: Pendidikan lebih
berharga daripada Jabatan. Kalau sekarang tidak S3, api semangat pendidikannya
bisa saja padam, seperti banyak teman-teman yang sebenarnya potensial tetapi
waktunya sudah lewat. Meningkatkan kualitas dirinya yang utama, ia termasuk
dosen yang ideal.
3.2 Arthur S. Nalan dan Kerja kreatifnya
Semenjak kecil bakat-bakat kesenian Arthur S. Nalan sudah
menonjol, salahsatunya pernah mendapat juara
deklamasi puisi se-Majalengka. Kemudian se-wilayah Cirebon. Arah
terhadap kesenian sudah terlihat. Seperti apa yang dikatakan oleh Saini KM:
Arthur S. Nalan adalah seorang anak yang sudah kelihatan bakatnya dari kecil. Pertama orang lain sudah
suka hal-hal seperti anak sekarang.
Kalau Arthur itu sudah tertarik pada cerita-cerita rakyat, kisah-kisah
kakeknya dan oleh karena itu, Arthur
memperpanjang pengalamannya dengan menyambungkan dengan pengalaman dari
kakeknya, kemudian ketika sudah menginjak SMP. Arthur tertarik pada kegiatan
remaja yang sungguh-sungguh, misalnya Arthur itu pernah menjadi juara
deklamasi. Ya, permainan-permainan yang berdekatan dengan kesenian. itulah
gambaran mengenai seseorang yang sudah ke arah kesenian.
(Wawancara : Saini KM, 28 Oktober 2010)
Pandangan ini terbukti selama
perjalanan hidupnya Arthur S. Nalan melahirkan banyak karya yang berkualitas,
kontekstual, tanpa melupakan nilai-nilai kerakyatan. Diantaranya Sobrat,
unggulan juara 1 Dewan Kesenian Jakarat sebuah naskah drama yang terinspirasi
oleh pembantunya sekitar tahun 80-an yang bernama jaman. Dia suka nomor buntut,
dan ia mimpi berjumpa dengan jin wanita di garasi rumah, Jin itu membisikan
nomor itu dengan syarat Jaman harus bersedia kawin dengannya. Tanpa pikir
panjang, Jaman bersedia dan nomor pun kena. Lalu ia pulang ke kampungnya dan
menikah dengan gadis pilihannya. Ternyata jin wanita itu menagih janji dan
menganggap Jaman berhianat, jin itu
hanya meniup tangannya dan mencium dalam mimpi.
Sejak itu Jaman jadi bisu dan tuli. Selain itu, kisah ini di ilhami oleh
tragedi penambang emas liar di daerah Gunung Pongkor. Jakob Sumardjo menafsirkan:
Itu persoalan orang modern. Bukan orang kota, orang urban.
Urban dengan sub urban. Peralihan antara orang-orang desa dan kota. Membawa kebiasaan-kebiasaan
desanya. Yaitu sebagai gejala sosial Indonesia, saya kira menarik. Sobrat itu
bergeraknya ke situ. Bagi orang-orang berpikir tradisional mencoba
mempertahankan tradisinya (Wawancara : Jakob Sumardjo, 26 Oktober 2010).
Selain
itu, Wanita dari Negeri Wewangian (scenario Film) Lima terbaik (Direktorat Film
Budpar) (2007), Ibunda Seni Sunda
(Dokudrama Tien Rostini Asikin) (2006), Jalan perkawinan (scenario Film)
Pemenang 1 (Direktorat Film Budpar) (2006), Lima Puan dan Enam Tuan (kumpulan
Monolog) (2003). Si Badul dan Anak Ondel-Ondel (Lakon anak-anak) (2002), serat
Santri Kembang, DKJ (1986), Anak Bajang dan Anak Gembala, Direktorat Kesenian
(1986), Hujan Keris, DKJ (1984), SI Samudra, lakon anak-anak, Direktorat
kesenian (1984), Dunianya Didong, lakon anak-anak, Direktorat Kesenian (1984).
Naskah-Naskah
drama Arthur S. Nalan begitu kental dengan cerita-cerita rakyat. Sebuah
keberpihakan terhadap masalah-masalah sosial dan tradisi masyarakat. Dan
mengolah cerita-cerita lama menjadi tema sekarang. Tidak ada yang lebih baik
dari Arthur. Saini KM menegaskan:
Tidak ada penulis-penulis lain yang lebih baik dari
Arthur, mengenai cerita-cerita rakyat ini. Arthur menggunakan cerita rakyat ini
berbeda dengan yang lain, ia mengungkapkan untuk tema yang sekarang. Walaupun
cerita-cerita rakyatnya cerita lama.
Tidak ada kritik, tidak ada apa-apa dari saya. Saya senang saja. Kalau saya jadi
sutradara. Saya mengolah lagi cerita itu menjadi cerita saya. Karena memang,
kalau saya jadi sutradara, saya mengolah kembali cerita-cerita itu. Semua
sutradara begitu. Cerita-cerita Arthur enak sekali untuk digunakan (Wawancara:
Saini KM, 25 Oktober 2010)
Karya-karya dramanya yang lain yang
ditulis dari tahun 1985-2000, antara lain: Tembang Rawayan, Serat Santri
Kembang, Kabayan Duta atau Calonarang (2000), Pecah Kulit, Kawin Bedil,
Wanita Yang Diselamatkan, Setan Bla-Bla-Bala di atas Kursi Goyang, Sepuluh Wong
(kumpulan sepuluh Monolog), Pangeran Yang diperankan, Batu Nisan Para
Bagus, Si Jantuk di Negeri Kukuruyuk, Sikuping Gajah, Gunung Permen. Drama
Sunda: Oleng Panganten, Kasur Butut, Cinta Padungdung, Kopeah Jeung Sarung,
Piring Seng.
Naskah-naskah Arthur S. Nalan
mengambil dari kebiasaan-kebiasaan rakyat. Tapi disejajarkan dengan modern.
Yang lebih penting itu filosofinya, filosofi tadi yang harus ditemukan. Jakob
Sumardjo mengatakan:
Kalau naskah-naskahnya ngambil dari kebiasaan rakyat. Ada
dukun dan lain sebagainya, itu masuk. Tapi ini disejajarkan dengan modern.
Peristiwa modern. Menurut saya yang lebih penting itu adalah filosofinya.
Filosofi tadi yang harus ditemukan. Seperti dukun. Ada semacam dukun modern.
Ya, orang modern. Tapi cara berpikirnya yang sangat tradisional (Wawancara:
Jakob Sumardjo, 26 Oktober 2010).
Dan bersama Teater Wot, Arthur S.
Nalan menerbitkan Dongeng Bulu Tanah (kumpulan Sembilan Drama) (2002).
Kumpulan drama Arthur ini di dasari oleh rasa duka yang mendalam terhadap para
penguasa, yang berdiri dan bergerak dalam topeng-topeng kemunafikan.
Keserakahan dan penindasan terhadap rakyat. Tindakan kesewenang-wenangan menumbuhkan kekecewaan dan keprihatinan.
Arthur S. Nalan :
Proses pergantian rezim bagi seorang dramawan adalah
momentum yang menarik, merangsang, menggairahkan, sekaligus mengecewakan dan
memprihatinkan. Rezim di manapun selalu memiliki moto: Oderint Dum Metuan
artinya biar saja mereka (rakyat) benci, asal mereka takut. Moto ini berlaku
juga di Indonesia. Munculnya puluhan vibrasi
peristiwa di tanah air ini menjadi inspirasi, percikan ide dan gagasan,
menggetarkan batin kepengarangan, membuka jemala imazinasi yang akhirnya mendorong
untuk mengabadikannya lewat lakon-lakon tertentu. Mengecewakan dan
memprihatinkan karena ternyata moto rezim itu tak pernah mati. Hanya terlahir
kembali lewat wajah yang berbeda, lewat retorika yang berbeda. Ketika rakyat
merasa mendapatkan harapan dengan reformasi, ternyata reformasi baru menjadi
dongengan belaka (2002).
Dongeng Bulu tanah itu, berisi
sembilan drama. Antar lain: 1) Syair Ikan Tongkol, cerita ini di
ilhami peristiwa DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh memberikan catatan
tersendiri bagi Arthur. Teror yang terus menghantam dan hilangnya hak-hak
sipil, terutama rakyat jelata. Konflik membuahkan perang dan perang hanya
mewariskan anak yatim dan luka dihati yang tak mudah diobati, perlu waktu yang
panjang dari mimpi buruk ini. Secara kebetulan Arthur membaca Syair Ikan Tongkol
yang terdapat dalam tulisan Baroroh Baried tentang: Syair Ikan Tongkol, Paham
Tasawuf Abad XIV-XVII di Indonesia (1987) dalam buku Dari Babad dan Hikyat
sampai sejarah Kritis (T Ibrahim Dkk, Gama press. 1987). 2) Pencuri Hujan,
sebuah cerita tentang keperkasaan perempuan Batak. Peristiwa tragedi danau Toba
dan Porsea, memberi banyak getar keprihatian Arthur. 3) Roti Buaya Mpok Tawi,
gambaran ibukota yang tak ramah menjadi inspirasi bagi Arthur, judul ‘Roti
Buaya’ diawali rasa kertarikannya terhadap roti buaya, salahsatu sajian
disetiap perkawinan adat Betawi yang kerap ia saksikan lewat TV atau langsung.
4) Penjaga Bayangan Huma Langit, kondisi tanah pasundan yang dikenal
dulu Gemah Ripah Loh Jinawi, sekarang tinggal sisa-siasanya saja. Dihancurkan pemerintah
dan rakyat Sunda sendiri. Alam di hancurkan, hutan dibabat habis, sawah-sawah
tak tersisa. Itulah yang mengilhami Arthur S. Nalan dalam menulis lakon ini.
Mitologi Sunda, tentang Sunan Ambu, tentang Pohaci mendasai adanya Huma langit
yang sesungguhnya, dan yang dititipkan pada manusia hanya bayangannya saja. 5) Terasi
Nyai Bilis Merek Dobel B, lakon ini merupakan ekspresi Arthur dari
pengalamannya yang selama kurang lebih (1994-2000) ia banyak berjalan-jalan ke
daerah Pantura (Subang-Indramayu-Cirebon), ia mencatat aroma kaum nelayan.
Kehidupan dan dunia mereka. Untuk rugi jatuh bangun silih berganti, karena gaya
hidup mereka yang sangat dinamiis. Jika sedang untung cuci tanganpun pakai bir,
jika sedang rugi makan terasipun jadi. 6) Sup Kura-Kura, cerita ini
berdasarkan keprihatinan Arthur terhadap kehidupan di Bali, sebuah sorga
pariwisata dunia. Bisnis makanan dan minuman local adalah daya tarik untuk bergoyang
lidah para turis, baik turis mancanegara atau lokal. Akibatnya bisnis
kura-kura, binatang mitologi penjaga keseibangan bumi, menjadi konsumsi secara
besar-besaran. 7) Air Mata Kucing,
Timor-Timur telah lepas, menyisakan luka yang mendalam bagi manusia yang
telah berkorban dan dikorbankan dalam mempertahakan wilayah ini. Dimana
kesalahannya tanpa pendekatan cultural tapi pendekatan keamanan. Kondisi
semacam ini, yang membuat Arthur mengabadikannya dalam lakon ini. 8) Matahari
Tengah Tenggelam. Kisah di tanah Papua yang porak-poranda kehilangan
gunungnya, kehilangan martabatnya, kehilangan segalanya. Menjadi ilham Arthur
dan menyimpan kesedihannya dalam cerita ini. 9) Cermin Waktu (Dongeng dari Masa
ke Masa), Bagi Arthur Majapahit dan Mataram merupakan kerajan yang menarik
untuk dijadikan inspirasi, karena dua zaman yang berbeda, tapi gaya kekuasaanya
sama, selalu ada panglima perang. Kemudian pada masa kemerdekaan dan
pembangunan, Arthur menyimak banyak pejuang yang mati tanpa diketahui dan
dikenal, tapi ada juga orang yang mengaku-ngaku pejuang bisa jadi pahlawan.
Dari rentetan awal sejak Majapahit sampai sekarang hanya ada sebuah dorongan
yang kuat bersemayam dalam hati manusia, yaitu kekuasaan. Sejarah itulah yang
menjadi inspirasi baginya dalam menulis lakon ini.
Disampingitu,
beberapa naskah drama monologtelah ia terbitkan bersama Etno Teater. Yang
terkumpul dalam Enam Puan dan Lima Puan. Dalam Lima Puan terdiri dari:
Perempuan Tiga Jaman, wawancara Ecin, Kosmetika Balonan, Win, dan Ipoh.
Sedangkan dalam Enam Puan, terdapat beberapa judul, diantaranya : Idola,
Korinop, Tuan Milyun, Guru Dulacis, Heq, Blesek.
Membaca
naskah ini, menurut Jakob Sumardjo dalam pengantarnya,kita disuguhi penuturan
sebelas manusia gender wanita dan pria dengan berbagai latar belakang dan
profesi. Kesebelas manusia itu masing-masing menceritakan “riwayat” mereka
diatas pentas. Naskah-naskah ini telah ditulis dengan gaya penceritaan memikat,
penuh sindiran yang humoristik, dan menyinggung
masalah-masalah aktual. Untuk generasi masa kini, kesebelas naskah ini
berbicara langsung dengan segala kondisi zamannya (Jakob Sumardjo, 2003: VI).
Pendapat
lainnya, diungkapkan Rachman Sabur. Ia mengatakan drama monolog yang
ditulisArthur S. Nalan (PerempuanTiga Zaman, Kosmetika Balonan, Win, Wawancara
Ecin, Ipoh, Idola, Korinop, Tuan Milyun, Guru Dulacis, Heq, Blesek), akan
dapati suasana keterasingan seseorang dari lingkungannya. Baik protes individu
pada lingkungannya ataupun beban
psikologis. Yang mana didalamnya terdapat tawaran analisa nilai yang diangkat
ke permukaan secara dramatis dengan bentuk ungkapan yang komis (Rachman Sabur,
2003: XIV).
Dan
beberapa naskah merupakan hasil penggalian terhadap teater rakyat. Seperti
Wayang, dan seni-seni tradisional lainnya. Di manifestasikan Arthur ke dalam
cerita drama yang menarik. Ketika membaca atau mengapresiasi karya-karyanya,
kita seakan menjelajahi nilai-nilai tradisi leluhur yang adi luhung. Sebagaimana
pada Naskah Masmirah, dalam kumpulan drama monolog. Terbitan Kelir, 2003. Ia
membesut nilai-nilai wayang ke dalam lakon dramanya. Seperti berikut :
TERDENGAR GENDING JAWA LALER MENGENG SEBAGAI
ILUSTRASI. MUNCUL MASMIRAH YANG TENGAH HAMIL TUA. MEMBAWA WAYANG KULIT
GATOTKACA. TERDENGAR PUISI YANG DILANTUNKAN MASMIRAH SENDIRI DALAM BENTUK
TEMBANG JAWA.
Masmirah
Masmirah
Kamu hamil aneh
Kandungan tanpa bayi
Hanya ada bunyi detak jantung dan angin puyuh
Masmirah
Masmirah
Kata dokter kamu sakit
Kata Kiai kamu mendapat anugerah Gusti Allah
Masmirah
Masmirah
….
Berkat anak yang pernah kau kandung
Kamu jadi Mbok Pagedongan Paranormal yang terkenal
(Halaman 55).
Selain pada naskah Masmirah, Arthur
S. Nalan pun mengangkat bentuk-bentuk teater rakyat, seperti wayang, ke dalam skenario filmya yang berjudul “Jalan
Perkawinan”. Sebuah cerita perjalanan cinta antara Kirei Hanataba, seorang
pengarang Jepang, dengan Komara sang fotografer. Tentang wayang ia sampai
melaui dialog Kirei dan Komara (di halaman 51-52). Serta menampilkan suasana
sebuah pagelarannya :
KIREI
Wayang Kulit?
KOMARA
Pagelaran Wayang Kulit Cerbon, khusus dalam Upacara
Memayu.
Dalangnya Kasepuhan Mama Karniti. Biasanya lakonnya “Pohon
Hayat”!
………………………………………………………………………………
38. TEMPAT PERTUNJUKAN WAYANG KULIT CIREBON. MALAM HARI.
DILAYAR PUTIH TAMPAK PANAKAWAN WAYANG KULIT CERBON
SEBANYAK 9 SOSOK, TENGAH BERKUMPUL BERHADAP HADAPAN DENGAN RAKSASA TRIWIKARMA.
KOMARA SIBUK MEMOTRET. WAHDAT MENONTON DENGAN KIREI.
Disamping naskah-naskah drama dan
scenario film, ia juga menciptakan jenis
wayang baru, yang bersifat kontemporer, sebuah ramuan wayang tradisi dengan
idiom-idiom modern. Dintaranya, TEWAYSUN dan KAKUFI. Namun disayangkan, tidak
dilakukan secara kesinambungan. Mungkin ia hanya berposisi sebagai inspirator
bagi yang lainnya. Dan ada ada yang kurang disepakati, wayang itu sebagaimana
diketahui termasuk khazanah teater, kenapa harus diberi nama baru lagi. Yoyo C.
Durachman:
Misalnya dari segi penamaan saja. Teater Wayang Sunda. Kan
Wayang itu termasuk Khazanah Teater. Menurut saya, tidak usah di beri nama-nama
apa lagi. sudah aja itu pertunjukan
teater. Pertujukan teater yang sedang
Pak Arthur upayakan, teater modern yang berorientasi dari teater rakyat
Jawa Barat. Ceritanya dari cerita Wayang, dan sebagainya. Kritikan saya kedua,
misalnya, kalau kita ingin melahirkan sesuatu yang baru di sebuah lembaga
akademis, semacam kita ini, itu harus terus berproses secara berkesinambungan.
Dan itu dilakukan juga acara diskusi-diskusi. Jadi nanti dia bisa terbaca.
Masyarakat bisa enggak menerima, dengan karya yang seperti itu? Jadi tidak
hanya cukup dipentaskan, dan diklaim aja namanya ini. Yang penting
kesinambungannya seperti apa. Karena dengan kesinambungan itu, masyarakat
menerima atau menolaknya. Jadi tidak cukup sekali itu. Nah yang sinambung itu, yang saya lihat, wayang ajen.(Wawancara: Yoyo
C. Durachman , 25 Oktober 2010)
Penulis
kira, seperti apa yang dikatakan Yoyo C. Durachman, berkesinambungan itu
diperlukan oleh seniman. Sebagai upaya penawaran karya yang berakar tradisi
pada masyarakat yang sudah berubah. Karena sesuatu yang kontemporer bagi
masyarakat adalah sesuatu yang aneh. Disebut aneh karena baru. Jika sebuah
karya menjadi milik masyarakat, diakui, dan diterima, tentu harus berkelajutan
dilakukan, akhirnya menjadi teater tradisi.
Disamping itu, apa yang dilakukan Arthur S. Nalan dalam proses
kreatif merupakan sebuah tantangan yang berat. Butuh waktu yang lama, puluhan
tahun, supaya karya-karya seni pertunjukannya bisa diterima oleh masyarakat.
Sebuah pertanyaan, apakah karya-karya pertunjukan Arthur S. Nalan akan terus
berlangsung ? Atau bisa bertahan ? Toni Supartono (Toni Bruer) :
Ya. Itu semangat eksplorasi. Itu
tantangannya berat. Yang akan dijawabnya puluhan tahun. Enggak tiba-tiba bikin
karya itu jadi kaya. Berat itu. Orang Indonesia rata-rata bosenan. Nah, saya
pernah bilang The Song Of Dorna dalam proses kreatif itu bagus sebagai teater
modern. Seperti semangat Kabuki. Kabuki awalnya tradisi, yang dikemas oleh
pemerintah. Sebagai aset teater tradisi Jepang, itu kemasan pemerintah. Kecuali
Noh, kalau Noh asli tradisi Jepang. Karena sudah 400 tahun sampai sekarang.
Sampai salahsatu actor Noh itu :ada yang khusus menari ‘Tari Tuhan’ namanya.
Khus saja nari tuhan. Dan latihan narinya seratus tahun, baru dia menari. Kalau
umurnya enggak nyampai, ia enggak nari. Sekarang pertanyaannya, apakah karya-karya pertunjukan Pak Arthur itu
akan terus berlangsung begitu ? Sebagi pencetus ide boleh-boleh saja. Maksudnya
proses kreatif ini, bias bertahan gak ? Bisa jadi sebuah jawaban gak ? Kalau
proses kreatif itu ada dua alternative. 1) Hancur di jalan, 2) Kembali lagi ke
yang baru atau ditinggalkan begitu saja. Contoh yang saya pelajari sekarang ini
: Butoh. Itu bukan tradisi modern. Orang bilang teater tubuh dan sebagainya
lah. Nah itu bertahan sampai tiga puluh tahun, baru jadi sesuatu di dunia.
Sampai orang bilang Butoh itu punya Jepang. Yang terakhir masternya Butoh
meninggal, sampai umurnya 102 tahun lebih. Hampir masih terus (berproses). Itu
yang modernnya lho ! bukan yang tradisinya. Nah semangat tersebut, dari tahun
30-an, 40-an, 50-an, hingga membuat dunia tercengang. Ada nama Butoh. Itu bukan
tradisi, pelakunya modern. Pelakunya itu, jihad sampai mati. Mereka punya
semangat, kalau satu seni itu. Ya, itu satu seni terus dgeluti, dgak mau lihat
yang lain (Wawancara : Toni Supartono, 15 November 2010. Bandung).
Penulis
pikir yang dipertanyakan oleh Toni Supartono tersebut, sebuah pertanyaan yang
mendorong Arthur S. Nalan untuk mempertegas komitmen. Dan kembali
mempertanyakan posisi dirinya. Sebagai pencetus ide saja atau pelaku seni
teater rakyat yang konsisten ? Sebab, kosistensi itu perlu, untuk membangun
kembali sebuah tatanan teater rakyat di Jawa Barat ini. Seperti yang dicontohkan
Toni Supartono dalam teater-teater tradisi Jepang.
Semua
karya-karya pertunjukan yang dilakukan Arthur mencoba menerobos ruang dan
waktu. Mengikuti semangat jaman sekarang. Karena ia berdasar pada pemikiran
bahwa tradisi sifatnya dinamis. Namun, tidak semua seni tradisi atau khususnya
teater rakyat yang mengikuti jaman bisa bertahan. Itu perlu diuji coba beberapa
kali. Seperti halnya Noh di Jepang tidak
mengikuti jaman. Tapi tetap bertahan sampai sekarang. Toni Supartono :
Ya, itu harus diuji coba. Apakah tradisi yang mengikuti
jaman benar-benar akan hidup ? Enggak juga kan ? Makanya, kita harus ada contoh lagi. Noh itu
di Jepang enggak mengikuti jaman. Penontonnya ada, tua dan muda. Itu kalau
untuk wacana boleh-boleh saja. Dinamis saya setuju, cuma ada statement bahwa :
dimana teater tradisiyang mengikuti jaman enggak bakalan punah. Itu tidak
menjamin juga. Di Indonesia ya (Wawancara: Toni Supartono, 15 November 2010.
Bandung).
Lepas dari apa yang dikatakan Toni
Supartono, Arthur S. Nalan telah memiliki satu upaya yang perlu diikuti oleh
akademisi yang lain. Yang masih memiliki tanggung jawab selaku akademisi seni, seniman
dan budayawan. Arthur sosok yang perlu dijadikan suri tauladan. Ia adalah orang
yang telah mengenal siapa dirinya. Bertolak dari titik pangkal pemberangkatan
hidupnya. Sehingga tradisi khususnya teater rakyat menjadi perhatiannya secara
total, ia ungkapkan secara modern. Dimaknai kembali dengan cara baru. Jakob
Sumardjo mengatakan :
Ya, kita sudah tahu semua bahwa beliau (Arthur S. Nalan)
memiliki perhatian pada tradisi. Bagaimana tradisi itu, bisa diungkapkan secara
modern. Karena tradisi tidaknya, itu letaknya bukan pada wujudnya, tokohnya,
peristiwanya. Tapi pada esensinya. Pada cara berpikirnya, pada pemaknaannya.
Sampai pada pemaknaan tradisional. Pemaknaan tradisional itu ditemukan
filosofi. Kalu filosofi, karena filsafat itu tidak pernah tua. Bisa dipakai
pada jaman sekarang (Wawancara : Jakob Sumardjo, 26 Oktober 2010).
Arthur S.
Nalan sudah mencoba dengan penerjemaahan baru. Menafsirkan kembali teks-teks
teater rakyat dengan cara berpikirnya yang akademis. Tanpa menghilangkan
filosofi tradisional. Seperti halnya wayang ajen, dan beberapa karya
pertunjukannya yang lain. Ia memaknai ulang dari nilai-nilai lama. Oleh karena
itu, beberapa karyanya menjadi topik perbincangan di beberapa media. Ia telah
memberikan kontribusi terhadap teater rakyat, namun yang jadi persolan adalah
setuju atau tidak jika wayang golek masuk ke dalam teater rakyat ? Yoyo C.
Durachman mengatakan :
….Dia cukup memberikan
kontribusi-kontribusi pemikiran, di dalam rangka mengembangkan teater rakyat.
Nah ini, saya juga tidak tahu betul,
saya hanya mengamati saja. Nah, misalnya sepakat enggak kalau wayang golek itu
masuk kedalam teater rakyat ? Kalau kita
sepakat wayang golek itu masuk pada teater rakyat. Pa Arthur itu memberikan
kontribusi kepada apa yang namanya sekarang itu…. wayang ajen dengan dalang
Wawan, yang sekarang dibawa ke berbagai festival. Jadi yang saya tahu, wayang
ajen itu merupakan suatu wayang perkembangan, atau wayang golek eksperimental
dengan menggunakan bantuan tekhnologi atau apa. Sehingga membentuk sebagai teater
yang baru. Dan itu sudah dibawa ke forum-forum international, yang ke dua ini
juga termasuk ke dalam teater rakyat. Beberapa tahun yang lalu bereksperimen
dengan Pak Sistriadji. Membuat suatu pertunjukan yang namanya TEWAYSUN, tapi
setelah pementasannya itu tidak ada kabarnya lagi (Wawancara : Yoyo C.
Durachman, 25 Oktober 2010).
Karya-karya
Arthur S. Nalan harus terus dibicarakan. Sebagai penyebar semangat bagi yang
lain. Selain itu, untuk memperkaya wawasan kesenian tradisi, khususnya teater
rakyat di Jawa Barat dengan bahasa pengucapan yang baru. Arthur telah
mewujudkan gagasannya yang modern (istilahnya seperti itu) tapi memiliki
identitas ketradisian.Yoyo C. durachman :
Dalam teater rakyat kita harus terus menerus melakukan
penelitian, harus terus membicarakannya. Sehingga kita bisa menemukan sesuatu,
tradisi menjadi ketinggalan bahasa pengucapan yang baru. Juga sebaliknya, teater
modern tetapi meliki identitas ketradisiannya. Nah, ini yang harus dilakukan
itu seperti begitu. Dan terus terang saya hanya melihat dari sosok Pak Arthur yang
punya semangat untuk itu (Wawancara : Yoyo C. Durachman, 25 Oktober 2010).
Semangat yang telah ditumpahkan
Arthur ke dalam karya-karyanya, perlu diapresiasi tinggi oleh berbagai
kalangan. Arthur adalah sosok yang multi talenta. Selain ia mengambil jalan
penggalian teater rakyat, pada awalnya Arthur tercatat sebagi aktor ternama di
Bandung. Yoyo C. Durachman :
Jadi saya melihat. Pada awalnya, ketika bertemu dengan Pak
Arthur. Saya dalam tanda ‘bersahabat’.
Saya lebih melihat potensi keaktorannya. Pada awalnya. Tetapi, setelah saya
renung-renungkan sekarang. Itu alamiah, kalau saya melihat sosok Pak Arthur
seperti itu. Dulu kan kita sama-sama
sudah aktif di STB. Dan STB itu kan, dikomandani oleh Suyatna Anirun.
Suyatna Anirun itu kan terkenal seorang sutradara teater di Indonesia. Yang konsen
keaktoran sesuatu yang penting di dalam pertunjukan teater. Jadi Pak Yatna itu,
kalau ingin berteater keaaktoran dulu yang harus dipegang. Menurut saya,
diantara generasi kami itu Pak Arthur salah seorang yang punya potensi di
bidang keaktoran. Kemudian dia berkembang menulis lakon. Dia suka ngobrol sama
saya, dia banyak di motivasi dan terpengaruh sama pak Saini kalau menulis
lakon. Jadi dia dijajaran teater bandung itu termasuk aktor yang dicatat
(Wawancara : Yoyo C. Durachman, 25 Oktober 2010).
Arthur S. Nalan telah mengambil suatu jalan yang lain,
ketika seniman yang lainnya bercengkerama dengan karya-karya Barat. Ia
melakukan suatu pilihan. Menjumpai kekayaan tradisi, hingga tanpa batas. Terus
menerus dilakukan. Dan tidak akan pernah selesai
BAB IV
PEMIKIRAN ARTHUR S. NALAN
TENTANG KHAZANAH TEATER RAKYAT JAWA
BARAT
4.I Punahnya Teater Rakyat Jawa Barat
Jika dilihat dari suatu kondisi keadaan saat ini, kesenian
Jawa Barat khususnya teater rakyat, ada dalam sebuah ambang keterpurukan. Seperti
halnya apa yang dikatakan oleh Ganjar Kurnia & Arthur S. Nalan dalam
pengantar bukunya “Deskripsi Kesenian Jawa Barat”, dikatakan bahwa ada “300
jenis kesenian tradisi di Jawa Barat yang sedang mengalami sekarat dan sebagian
sudah punah“ (2003). Lebih lanjut Arthur S. Nalan dalam buku “Teater Egaliter”
memiliki perpekstif mengenai punahnya teater rakyat Jawa Barat, diantaranya :
(1) manusia pelaku, (2) perubahan lingkungan, (3) persepsi masyarakat
penyangga, dan (4) perlakuan pemerintah. Ia sangat prihatin terhadap pemerintah
yang kurang memperhatikan teater rakyat, sedangkan para senimannya berharap
banyak.
“Sebenarnya masyarakat tidak pernah
sebagai suatu produk akhir tetapi tetap sebagai proses yang sedang terbentuk”.
Hal inilah yang menjadi suatu pandangan Arthur S.Nalan dalam hal menyikapi
beberapa problematika atau permasalahan yang mengakibatkan adanya suatu
kepunahan teater Rakyat Jawa Barat. Terlebih lagi Arthur S. Nalan memiliki
suatu pandangan tentang masyarakat Jawa Barat, yang menurutnya bahwa masyarakat
itu harus dipahami sebagai realitas objektif. Artinya masyarakat bukan hanya
sekumpulan kelompok manusia yang bertindak untuk menjalankan segala bentuk
aturan atau norma-norma yang berlaku saja. Akan tetapi di balik semua itu,
terdapat sebuah bentuk pemikiran-pemikiran atau konsepsi-konsepsi masyarakat.
Hal ini yang menjadi suatu dasar pandanganya bahwa masyarakat tersebut bukan
merupakan suatu produk akhir --melainkan masyarakat merupakan sebuah proses yang
sedang berlangsung. Selalu berkembang dan berubah, seiring dengan arus
perkembangan jamannya, disebabkan karena budaya itu bersifat dinamis.
Pergerakan, perubahan, perkembangan,
menunjukan bahwa budaya itu bersifat dinamis. Suatu gerak dinamika ini tentunya
tidak hanya menyentuh pada wujud kebudayaan sebagai komplek aktivitas atau
tindakan berpola manusia dalam masyarakat (social system). Serta wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks ide, gagasan, nilai, norma yang dipahami
sebagai sistem kebudayaan (culture sistem). Akan tetapi perubahan itu
pun terjadi pada wujud kebudayaan sebagai benda hasil karya manusia itu sendiri[3]
(material culture). Seni khususnya teater rakyat dipahami sebagai wujud
kebudayaan. Maka memiliki kecenderungan untuk bisa berubah, berkembang,
bergerak, bahkan punah, dan tidak lain seni (teater) itu sendiri --memiliki
kecenderungan sifat yang sama, seperti halnya budaya yang bersifat dinamis.
Untuk
merumuskan atau mengkaji suatu permasalahan dalam dunia teater khususnya teater
rakyat sangatlah begitu komplek. Tentunya untuk memahaimi alur dinamika
tersebut, diperlukan adanya suatu pendekatan multi disiplin ilmu yang ketat.
Tetapi walaupun keadaannya seperti itu,
Arthur S. Nalan tetap berupaya untuk mencari terus jejak-jejak (referen)
yang menyangkut pasang surut atau kepunahan dalam teater rakyat. Upaya dalam
mencari jejak-jejak tersebut Arthur menemukan beberapa penyebab atau titik yang
harus diperhatikan yakni manusia pelaku (seniman teater), perubahan lingkungan,
persepsi masyarakat, dan perlakuan pemerintah.
Untuk mengetahui lebih jelas mengenai
pandangan atau pemikiran Arthur S. Nalan terhadap kepunahan teater di Jawa
Barat, disini penulis akan menjelasakan secara rinci sebagai berikut :
4.1.1Manusia pelaku
Manusia pelaku yang istilah Arthur S.
Nalan disebut dengan primus inter pares tidak lain adalah seorang pelaku
teater rakyat itu sendiri, yang berposisi sebagai seorang pemimpin dalam
kelompok teater rakyat tertentu. Seorang primus inter pares keberadaannya
atau eksitensi dalam hal kepemimpinannya sangatlah diperlukan baik oleh para
anggota kelompoknya maupun masyarakat pendukungnya. Eksistensi Seorang primus
inter pares menentukan pula sebagai langkah penyebab terjadinya kepunahan
dalam teater rakyat. Karena primus inter pares dipandang publik atau anggotanya sebagai sosok yang dapat
dijadikan panutan. Perspektif Arthur S. Nalan dalam menyikapi masalah ini,
berdasarkan hasil penelitian atau
observasi yang telah dilakukannya. Dimana Arthur S. Nalan menempatkan posisinya
sebagai pemilik budaya, memiliki suatu pandangan : jika seorang primus inter
pares meninggal dunia ataupun tidak aktif dalam dunia keaktorannya, akan
berdampak negatif pada keberlangsungan suatu komunitas atau kelompok teaternya
sendiri. Persoalan ini menjadi salahsatu
penyebab lenyapnya teater rakyat di Jawa Barat.
4.1.2
Perubahan lingkungan
Pembangunan di pusat-pusat kota yang
tidak memperhatikan pada wilayah-wilayah perkembangnan seni, menurut Arthur,
akan berdampak pada peminggiran teater rakyat. Perubahan pembangunan
pusat-pusat pembelanjaan tanpa memperhitungkan ke segala aspek. Menyebabkan
teater rakyat tidak siap untuk menyesuaikan diri secara cepat terhadap
perubahan-perubahan lingkungan, akhirnya kehancuran terjadi. Arthur mencatat,
dengan mengetengahkan dua contoh : (1) ketika pasar Kosambi Bandung di Renovasi
dan diubah bentuknya, ketika bioskop Rivoly diubah menjadi Gedung Kesenian
Rumentang Siang, ketika itu pula terjadi perubahan perpindahan kelompok
sandiwara dan wayang wong yang berlokasi di sekitarnya. Mereka tak mungkin
bertahan lama, kondisi dan situasinya berubah total. Akibatnya mereka hijrah ke
pinggiran kota (ada yang ke Cileunyi dan Cicalengka); (2) ketika sebuah pusat
perbelanjaan didirikan di kota Sukabumi, yang terpaksa mengais beberapa bioskop
di kota itu, ketika itu pula perlahan namun pasti sandiwara Sri Asih mulai
surut.
4.1.3 Persepsi Masyarakat Penyangga
Ada beberapa hal yang ditekankan oleh
Arthur S. Nalan dalam menyentuh mengenai punahnya teater rakyat, salahsatunya diakibatkan
karena faktor persepsi masyarakat penyangga yang berubah. Diantaranya masalah
endapan masyarakat-masyarakat konsumen, dan persoalan artistik. Menurutnya,
dua hal tersebut menjadi kunci perubahan
suatu genre teater rakyat. Ketika masyarakat mulai memasuki tipe persepsi atau
cara pandang ketika berada dalam tahapan agraris. Dalam tipologi masyarakat
agraris memiliki kecenderungan memandang antara yang sakral dan yang
profan. Sedangkan dalam masyarakat
konsumen tidak ada perbedaan tersebut. Segala sesuatunya adalah profan atau
sama (homogen). Maka dalam hal ini ada kecenderungan persepsi masyarakat
konsumen memandang pertunjukan teater rakyat telah diangggap sesuatu “out of
date” atau ketinggalan jaman. Sehingga apa yang telah dipersepsinya mengenai
pertunjukan teater rakyat menjadi sempit. Dan tidak lain hanyalah produk saja.
4.1.4 Perlakuan Pemerintah
Poin
akhir yang disentuh Arthur S. Nalan, faktor penyebabnya punahnya teater rakyat
Jawa Barat ini adalah perlakuan pemerintah terhadap teater rakyat, makronya seni
pertunjukan cenderung dianggap alat politik ketimbang aset budaya. Lebih
tegasnya dinyatakan bahwa teater Jawa Barat berada dalam ketidakberdayaan
karena sistem keberlakuan penguasa hanya sebatas penyampai program pemerintahan
(Arthur S. Nalan studi kasus kesenian masa orde lama dan orde baru).
Selain
dari pada itu, ada pula sebuah perlakuan pola pendidikan apresiasi terhadap
seni yang tidak begitu jelas terhadap teater rakyat. Akibat keseragaman visi
menjadikan teater rakyat semakin tidak berdaya yang akhirnya terpuruk oleh arus
dinamika perjalanan budaya yang begitu cepat.
Kemudian sistem pendidikan seni di jurusan teater STSI Bandung pun tak luput disinggungnya, sistem
pendidikan di STSI Bandung lebih berorientasi pada Barat. Jika ada alumninya
yang belum berupaya, sebaiknya ada keseimbangan:
Sistem pendidikan seni (teater) di kita termasuk di STSI
Bandung lebih berorientasi ke teater Barat (modern), yang terbaik adalah
keseimbangan, artinya orientasi ke teater Timur (tradisional) juga
dikembangkan. Tetapi bibit-bibit kesadarannya sudah ada, hanya belum terjaga
baik (wawancara : Arthur S. Nalan, 24 Oktober 2010).
Ia juga merasa prihatin, karena
selama 30 tahun jurusan teater STSI Bandung mengelola drama. Tapi ia bersyukur --sekarang ini sudah ada kesadaran
baru, meskipun ada dalam beberapa mata kuliah. Arthur S. Nalan:
Selaku pribadi saya juga merasa ada keprihatinan, karena
khususnya jurusan teater di STSI Bandung mewarisi tradisi yang disebut drama,
yang mengacu pada teater tradisi Barat.
Hampir 30 tahun jurusan teater mengelola drama. Nah, dalam kesadaran
baru kelihatannya sudah mulai --meskipun ada dalam beberapa matakuliah…(Sunda
Urang : Arthur S. Nalan, 26 Juni 2008)
Kembali Arthur menyoroti pemerintah,
akibat dari pemerintah yang tidak berpihak. Ia memandang pemerintah yang kurang
peduli terhadap nilai-nilai, ide, gagasan yang tertuang dalam teater rakyat.
Di samping sikap itu, sikap
pemerintah yang lainnya terlalu banyak melakukan pendekatan formal dan rutin
tanpa target pemuliaan, melakukan riset, pengemasan, dan lain sebagainya dengan
benar. Arthur S. Nalan:
Sikap pemerintah umumnya terlalu banyak melakukan
pendekatan formal dan rutin berdasarkan juklak-juknis dinas mereka. Tetapi
membangun jaringan untuk target seperti pemuliaan (dokumentasi yang benar,
deskripsi yang benar berdasarkan riset, penataan dan pengemasan yang benar,
promosi yang benar dll.) tidak banyak dilakukan, karena pendekatan formal
biasanya melahirkan pendekatan fragmatis. Di samping itu juga anggaran yang tak
memadai menjadikan perhatian pemerintah tampak ragu dan semu dalam
memperlakukan teater rakyat, padahal di negara tetangga (Malaysia, Vietnam) teater
rakyat dijadikan ikon negara. Seperti wayang Klantan (Malaysia) dan Wayang Air (Vietnam). (Wawancara : Arthur S. Nalan, 24 Oktober 2010)
Lanjutnya, pemerintah melalui
Disbudpar, sebuah dinas yang bertujuan mengelola masalah kebudayaan, kurang
berjalan denagn baik, hanya melakukan pendekatan formal dan rutin saja. Tanpa
disertai dengan LITBANG untuk evaluasi internal dan eksternal. Jika ada satu
harapan ingin ada sebuah revolusi atu perubahan di internal Disbudpar, tentunya
akan pesimis karena pegawai-pegawai yang memegang jabatan-jabatannya bukan yang
memahami masalah kebudayaaan. Arthur S. Nalan menuturkan :
Dinas ini
dikelola dengan pendekatan formal dan rutin, tidak ditambah dengan LITBANG
untuk evaluasi internal dan eksternal, stake holder kurang diserap sebagai
pemberi kontribusi. Temu, saresehan, kongres, dilakukan tapi hasilnya kurang
dilakukan dengan nyata. Soal tanggung jawab ada sebagian pada dinas ini, tetapi
jangan lupa akademisi juga, seniman pelaku juga, masyarakat juga adalah
penanggung jawab juga. Tak akan ada reformasi apalagi revolusi, kalau pejabat
yang ditunjuk bukan ahlinya. Selama sistem kerjanya formal dan rutin tanpa
kebijakan yang baik...(Wawancara : Arthur S. Nalan, 24 Oktober 2010)
Selanjutnya
Disbudpar sebagai kepanjangan tangan pemerintah kurang sekali melakukan
pencatatan-pencatatan tentang teater rakyat ini, yang sangat dibutuhkan untuk
data penunjang sebagai informasi. Tidak
melakukan upaya pendeskripsian dengan baik. Kalaupun ada sejumlah skripsi
mahasiswa S1 teater dan karawitan STSI Bandung, dalam pemilihan topik ini
sangat terbatas sekali. Arthur S. Nalan:
Masalah yang ditemukan, terbatasnya data penunjang sebagai
informasi tentang teater rakyat itu sendiri, deskripsi seadanya yang ditulis
oleh kalangan pegawai di instansi pemerintah (dulu kebudayaan ada di Depdikbud,
sekarang ada di Budpar) sama saja, tak melakukan banyak pencatatan dan
pendeskripsian yang baik. Hal ini dapat dipahami sebagai penyusunan dalam
semangat pelaksanaan proyek formal semata. Kalaupun ada sejumlah skripsi
mahasiswa S1 Teater dan Karawitan STSI Bandung yang sangat terbatas sekali,
memilih topik ini (Wawancara : Arthur S. Nalan, 30 Oktober 2010).
Seperti apa yang
ia katakan, tanggung jawab pelestarian teater rakyat tidak hanya menekankan
satu pihak saja, semua unsur harus ikut bertanggung jawab dalam penegakan
kembali (itilah Saini KM) teater rakyat di Jawa Barat. Termasuk peraturan
daerah sebagai payung hukum, yang sekarang ini ia pandang kurang sosialisasi.
Dalam hal ini gubernur, bupati / walikota yang bertanggung jawab
mensosialisasikan, yang ia lihat masih kurang. Arthur S. Nalan:
Jawa Barat
sendiri punya payung hukum sejak mulai tahun 2003, yaitu mengenai peraturan
daerah perihal kebudayaan. Di dalamnya masalah sastra, basa daerah dan aksara Sunda, masalah
kesenian, juga kepurbakalaan. Namun perda selaku payung hukum itu, kelihatannya
kurang sosialisasi. Dalam hal ini gubernur juga bupati/walikota yang
bertanggungjawab untuk mensosialisasikan dan melaksanakan perda itu. Di samping
itu, harus punya apresiasi dalam jalur pendidikan yang harus dilakukan oleh
dinas pendidikan, perguruan tinggi seni atau yang lainnya (Sunda Urang : Arthur
S. Nalan, 26 Juni 2008)
Dari ketiga faktor yang mempengaruhi
kepunahan teater rakyat Jawa Barat itu, disela nasib teater rakyat dilematis
ini --Arthur memiliki keyakinan suatu saat teater rakyat di Jawa Barat ini akan
berjaya lagi seperti dulu, asal keyakinan itu harus dibangun secara sistematis.
Dan dilakukan secara bersama-sama. Dengan cara kesadaranya terlebih dahulu yang
harus dibangun. Mungkin akan lahir teater rakyat baru yang kontekstual dan
diterima masyarakat luas, regional , nasional, maupun internasional ( Wawancara
: Arthur S. Nalan, 24 oktober 2010)
Selain dari ke tiga hal diatas dampak
dari punahnya teater rakyat di Jawa Barat, Arthur berpendapat, akibat dari
modernisasi melanda para pelaku teater rakyat sendiri, misalnya komersialisasi
dan mencari keuntungan dengan harga tinggi dengan alasan pelestarian. Sebab,
menurutnya masalah ini adalah tanggung jawab
bersama dalam upaya penanganan kepunahan teater rakyat di Jawa Barat.
Tanpa membeda-bedakan, akademisi seni dan termasuk masyarakat juga. Sebab
adanya interaksi timbal balik, antara masyarakat yang baik dengan teater
rakyat. Membuat teater rakyat lestari. Tetapi kalau masyarakat sudah tidak
membutuhkan dengan meninggalkannya, katanya, itu tandanya teater rakyat itu
akan punah. Di samping seniman-seniman yang hebat meninggal, seperti Ateng
Jafar, dan lain sebagainya. Membuat teater rakyat gulung tikar.
Dan sekarang ini teater rakyat butuh
juru bicara, di era reformasi ini sangat
dibutuhkan. Supaya teater rakyat bisa dikenali. Karena banyak kekayaan-kekayaan
ketradisian yang kurang diartikulasikan. Arthur S. Nalan:
Sekarang ini di teater rakyat kurang ada juru bicara.
Padahal sebetulnya juru bicara di era reformasi ini cukup penting. Karena saya
mencoba belajar, bisa dikatakan belajarlah, karena mungkin belum ke tahapan
yang sebenarnya untuk menjadi juru bicara
dari seni tradisi ini. Supaya mereka dikenali yang membaca. Sebetulnya banyak
kekayaan-kekayaan ketradisian itu yang kurang bisa di artikulasikan dengan
bahasa yang lebih baru (Wawancara: Arthur S. Nalan, 2010)
Sikap yang dilontarkan Arthur
tersebut merupakan sebuah bentuk kanyaah. Karena sepanjang pembelajaran
dirinya tentang teater, tak banyak orang
yang memiliki perhatian terhadap teater rakyat. Arthur S. Nalan menuturkan:
Perhatian saya lebih banyak kepada teater rakyat karena
sepanjang pembelajaran saya tentang teater, ternyata tak banyak orang (terutama
akademisi) yang memiliki “kanyaah” terhadap teater rakyat, apalagi di Jawa
Barat. Sangat terbatas sekali para pengamat dan peneliti tentang teater rakyat.
Kalau ada lebih banyak berupa laporan-laporan formal dari para pegawai di
lingkungan Depdikbud (dulu).
Sepanjang masyarakat membutuhkannya pasti banyak problematika muncul.
Problematika merupakan hal yang menantang bagi peneliti untuk terus
menelitinya, mengamatinya, termasuk dalam teater rakyat (Wawancara : Arthur S.
Nalan, 24 Oktober 2010).
Arthur S. Nalan berharap unsur-unsur yang
terkait dalam permasalah ini ikut bergerak. Baik itu pengamat dan peneliti
kesenian. Sebagai jalan pemecahan persoalan dari teater rakyat di Jawa Barat sekarang ini.
4.2
Menjelajah Paradigma Estetik Dalam Teater Rakyat Jawa Barat
Apa yang penulis pahami penjelahan paradigma
estetik dalam teater rakyat Jawa Barat
yang telah dilakukan Arthur. S. Nalan masih bersifat pencarian. Dan ia bukan
semata-mata mencari untuk menemukan yang
tampak. Tapi unsur - unsur yang
membangun atau yang melatar belakangi estetika itu yang terus ia gali. Ia
berpendapat estetika teater rakyat dapat
dilihat dari hasil penjelajahan unsur-unsur tersebut. Unsur-unsur itu antara lain: unsur manusia,
kepercayaan, tingkat ketrampilan tekhnis, norma-norma, tingkat intelektual,
kondisi sosial ekonomi, pandangan hidup, dan dinamika kebudayan.
4.2.1
Unsur Manusia
Manusia Sunda sebagai etnik mayoritas
yang hidup di Jawa Barat memiliki kebudayaan yang khas yaitu kebudayaan rakyat.
Di mana semangat egaliter mewarnai proses guliran teater rakyatnya. Manusia
Sunda pula yang memiliki budaya huma, dimana posisi padi menjadi sangat
penting. Maka irama kesuburan tampak di mana-mana dalam folkways mereka.
Hubungan kekerabatannya (babarayaan=bhs Sunda) menjadi terasa dekat dengan
adanya tradisi pancakaki. (Arthur S. Nalan, 1999: 11).
Sikap hidup masyarakat Sunda itu,
Arthur S. Nalan berpendapat, ada pengaruh terhadap estetika yang dikembangkan.
Yaitu estetika tradisional : dapat berupa pertunjukan, motif-motif, lawakan,
bodoran, pakem-pakem cerita, pengaturan bedrip, pengaturan tekhnik muncul,
gimmick, dan lain-lain.
Estetika tradisional, menurut Arthur
karena dibentuk oleh sistem duduluran mereka. Membuat seniman tradisi
banyak peluang untuk berkumpul, berdiskusi mengadakan satu penciptaan kesenian:
membicarakan kreasi-kreasi,
kecenderungan-kecenderungan, bahkan kiat-kiat di dalam bodoran, lawakan,
trik-trik panggung, dan lain sebagainya.
Karena mereka merasa memilik (sen of belonging)
atas komunitas yang telah terbentuk. Dan semua gagasan mereka dikemas dalam
sebuah perwujudan kesenian teater rakyat mereka. Itu adalah hasil manifestasi
estetika mereka.
4.2.2
Kepercayaan
Kepercayaan
adalah sistem religi yang dibangun setiap manusia dalam etnik tertentu,
terjalin dalam rangkaian folkways (kebiasaan-kebiasaan rakyat) dimana selalu
terkait dengan pandangan mitis, kosmis dan mitologis. Sebagaimana umumnya di
Jawa Barat, dibangun dalam suatu sistem religi asli dan religi pendatang. Suatu
kenyataan pula bahwa di mana-mana ditemukan aura sinkretisme, terutama di
kalangan para seniman rakyat. Mereaka tetap percaya pada tatali paranti karuhun, tetapi mereka juga pemeluk teguh agamanya
(umumnya Islam) (Arthur S. Nalan, 1999: 46).
Arthur S.
Nalan mengatakan, penyajian sesajen seringkali mereka lakukan sebelum mengadakan
pertunjukan. Mereka percaya. Bahwa mantra –mantra yang dikeluarkan ada daya
ampuh sesuai denga apa yang mereka inginkan. Ia meyakini sikap mistik ini
sangat kental dengan kesenian tradisi, khususnya teater rakyat.
Kepercayaan-kepercayaan tentang
memegang teguh adat kebiasaannya itu, Arthur S. Nalan berkeyakinan. Salahsatu
faktor bahwa seniman-seniman tradisi khususnya di teater rakyat yang tidak mau
berubah. Karena teater rakyat diyakini sebagai warisan yang harus dipertahankan
nilai-nilai lamanya. Kepercayaan itu pula yang meneguhkan mereka, dalam
menjalankan roda pertunjukan teater mereka. Meskipun ada satu dua yang teguh
dan menyerah, namun masih banyak yang menjalankannya sebagi suatu proses
dinamikanya tinggi. Harapan Artur S. Nalan seyogyanya mengadakan
penyesuaian-penyesuain. Sesuai dengan selera masyarakatnya. Bila hal ini tidak
dilakukan membuat teater rakyat di Jawa Barat menjadi punah. Namun dibalik itu,
Arthur berpandangan bahwa unsur kepercayaan inilah yang membentuk estetika
teater rakyat Jawa Barat. Memiliki identitas yang khas.
4.2.3 Tingkat Ketrampilan Tekhnis
Menurut Arthur S. Nalan teater
rakyat dibangun oleh suatu sistem pewarisan ketrampilan tekhnis yang sangat
tradisional yang diwariskan secara turun-temurun, karena itu lacak tapaknya
dapat dilihat dalam berbagai istilah, siga, gaya, ala, sejak, model, persis,
dan sebagainya. Peristilahan itu dibuat oleh mereka, para seniman rakyat dari
pelbagai genre seni pertunjukan rakyat termasuk manusia teater rakyat (Arthur
S. Nalan, 2006 : 33).
Keterampialan tekhnis yang telah
dimiliki ini Arthur S. Nalan berpendapat, akan terjadi turun-temurun. Ada
proses peniruan. Karena pengaruh faktor interaksi dalam komunitas mereka. Sebagaimana
halnya Ateng Japar menyisipkan adegan tukang potret pada setiap pertunjukannya.
Hal ini banyak ditiru oleh pewaris-pewaris yang lain. Ateng Japar melakukn pengulangan-pengulangan
tapi tetap saja disukai oleh penontonnnya pada masa itu. Kemampuan ini ia
pandang sebagai keterampialn tekhnis dalam setiap pemanggungan genre taeter
rakyat.
4.2.4
Norma-Norma
Norma-norma yang dimaksudkan oleh
Arthur S. Nalan terkait yang hadir dalam pertunjukan teater rakyat. Norma-norma
ini bersifat mengikat, sebuah larangan yang harus dipatuhi oleh semua pemain
teater rakyat. Aturan itu bisa jadi sebuah ajaran yang ada secara turun
temurun. Seperti misalnya, ulah takabur lamun keur masyur, artinya kita
harus bisa menjaga diri sebagi proses pengendalian diri.
Norma-norma yang dimaksudkan adalah
norma-norma yang mengikat mereka di dalam pertunjukan teater rakyat selama ini.
Ajaran tersebut, salahsatunya sikap menghormati pada kebiasan-kebiasaan leluhur
sebagai cara penghormatan orang muda pada yang lebih tua yang pada umunya
sebagai primus inter pares (orang yang terbaik dari yang terbaik)
Norma-norma tersebut, tentunya terkait dengan
permainan (games) didalam pertunjukan mereka, seperti spontanitas, improvisasi,
taktis, strategis, komunikatif, intimitas, dan totalitas. Kesemuanya mengalir
sepanjang pertunjukan mereka (Arthur S. Nalan, 2006: 35).
4.2.5 Tingkat Intelektual
Manusia teater rakyat dalam tafsir
Arthur S. Nalan adalah manusia yang belajar pada pengalaman. Kehidupan yang
mereka jalani sebuah proses yang membuat kristal pengalaman. Sebagai guru yang
terbaik. Untuk masa depannya yang terbaik.
Seniman-seniman teater rakyat
merupakan lapisan sosial yang peka membaca kehidupan. Mereka mengasah dirinya,
membentuk dirinya dalam sebuah kerja keras yang pantang menyerah. Sehingga
kecerdasan yang mereka dapatkan dari sebuah usaha yang sangat tinggi.
Dari gambar di atas, berdasarkan
tafsir penulis dari pemikiran Arthur S. Nalan, seniman teater rakyat jangan
dianggap kalangan bodoh dalam wilayah intelektual. Meskipun secara keyakinan
mereka cenderung konservatif. Tapi kecerdasan mereka dalam bersikap hidup,
membaca alam lebih peka.
Dan Kejenialan
mereka tersajikan lewat pertunjukan, dimana secara ketrampilan tekhnis tak ada
yang meragukan, secara norma-norma permainan mereka begitu memikat. Kita sadar
bahwa jenial mereka, karena persoalan improvisasi, spontanitas, bukanlah
sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Berfikir sederahana, basajan (apa
adanya), membuat mereka tidak nampak sebagai intelektual akademis, tetapi intelektual
kerakyatan yang berbasis kesederhanaan (Arthur S. Nalan, 2006: 36).
4.2.6
Kondisi Sosial Ekonomi
Berdasarkan pengamatan Arthur S.
Nalan dalam buku Teater Egaliter (2006). Masalah ekonomi, kemiskinan
nmenghinggapi mereka. Mereka harus kerja keras mempertahankan hidupnya. Ini
bagi Arthur S. Nalan merupakan satu unsur yang membentuk estetika kerakyatan.
Jadi kesenian rakyat pada umumnya identik dengan kemiskinan. Kesederhaanaan dan
perjuangan hidup. Terkadang mereka beralih profesi, keluar dari teater rakyat
untuk menjalani kehidupan barunya sebagai buruh atau apa saja. Untuk keluar
dari kemiskianan. Seniman-seniman teater
rakyat beralih menjadi buruh-buruh pabrik.
4.3 Aspek Manusia Dalam Teater Rakyat Jawa Barat
Sebelum membahas pada permasalahan, disini
penulis perlu juga memberikan gambaran yang menjadi latar belakang sudut
pandang (perspektif) Arthur S. Nalan dalam melihat aspek manusia dalam teater
rakyat. Pendekatan yang digunakan Arthur tersebut dilatar belakangi oleh
pandangan Geert dan Blumer. Dalam suatu analisisnya Geert mencoba
mengistilahkan jelajahannnya dengan sebutan “pandangan jauh dan pandangan
dekat”. Pandangan jauh itu disebut pandangan ‘etik’, sedangkan emic itu
merupkan pandangan dari dalam. Arthur
tidak memilih salahsatu pandangan
tersebut diatas. Tapi memilih keduanya. Pandangan etik (etik view)
begitu signifikan pengaruh kajiannya, dapat menjadi kritis, dan emic (emic
view) berguna untuk menyerap berbagai hal yang bersumber dari pandangan manusia
seniman teater rakyat. Selain itu Arthur S. Nalan pun mengambil pandangan “root
images” dari Burner, yakni mengenai ide-ide dasar di dalam memahami masyarakat.
Hal itulah yang menjadi dasar pijakan Arthur S. Nalan dalam menjelajahi manusia
dalam teater rakyat.
4.3.1
Manusia Teater Rakyat Sebagai Homo
Cultural
Persepsi Arthur S.Nalan dalam sub bahasan ini, ia memandang
manusia teater rakyat dibentuk oleh nilai-nilai budaya mereka dimana hidup.
Nilai-nilai itu diserap berdasarkan proses interaksi satu sama lain yang telah
menjadi sebuah konvensi yang turun-temurun. Konvensi ini berdasarkan hasil
tafsiran-tafsiran terhadap keadaan alam, cara hidup mereka.
Pemikiran-pemikiran
mereka sebagi hasil komunikasi dengan alam, sebagai tempat mereka
menggantungkan hidupnya. Berpengaruh besar bagi pembentukan karakteristik
mereka sendiri. Sosial cultur sebagai hasil penerjamaahannya terhadap
lingkungannya. Bisa jadi sebuah perenungan-perenungan, yang ditafsirkan
berdasar tingkat kecerdasan dan rasa mereka. Hasil tafsiran atau penerjemaahan
itu menjadi sebuah konvensi tentang norma dalam bersikap dalam masyarakat.
Menjadi nilai-nilai yang diyakini sebuah kebenaran yang tidak mudah untuk
dirubah. Dan berpengaruh pada ruang lingkup berkesenian. Teater rakyat mereka.
Yang cenderung tabu jika ada sebuah perubahan.
Dan setiap individu dituntut untuk
patuh pada norma-norma itu. Individu harus menempatkan diri, sebagai bagian
dari masyarakat yang tidak boleh melakukan kontras tindakan. Karena ia
bisa diakui sebagai anggota masyarakat jika ia telah melakukan sebuah
pengulangan yang telah diwarisi, Arthur S. Nalan mengatakan:
setiap
manusia teater rakyat adalah homo cultural. Dimana sesungguhnnya bahwa manusia
itu telah memiliki talenta kerakyatan,
yang sangat dipengaruhi oleh budaya setempat dimana mereka tinggal. Individu
tidak lahir sebagai masyarakat begitu saja,
tetapi ia harus memiliki pretisposisi terhadap sosialitas dan ia akan menjadi
anggota masyarakat dengan berarti. Demikian individu tersebut menempatkan
dirinya sebagai manusia yang berbudaya,
dimana ia hidup dalam suatu nilai-nilai atau norma-norma yang dianut tersebut
(Arthur S. nalan, 2006: 87)
Penempatan
dan pengakuan budaya ini. Mengejawantah dalam ruang taeter rakyat Jawa Barat.
Yang konservatif mempertahankan nilai-nilai lama yang sebenarnya dalam
pandangan Arthur S. Nalan perlu mengadakan sebuah perubahan, penyesuaian
terhadap sebuah jaman yang mengarah pada hedonisme. Kesenangan dunia menjadi
dasar apresiasi seni masyarakat sekarang.
Oleh karena itu, Arthur berupaya untuk masyarakat tradisi. Teater rakyat kita
harus keluar dari pangung-pangung lama. Untuk masuk pada wilayah baru yang
lebih cenderung berkiblat pada Barat. Namun, Arthur memberikan pemikiran, hakikat
kita tetap bercokol pada tradisi.
4.3.2 Manusia Teater
Rakyat Sebagai Homo Religius
Berdasarkan pemikiran Arthur S. Nalan
dalam laporan penelitiannya, aspek dalam Teater Rakyat Jawa Barat (1996: 4). Pandangan Arthur S. Nalan tersebut penulis
menafsirkan, realitas kepercayaan masyarakat Sunda berdasarkan atas filsafat
Sunda atau kepercayaan masyarakat Sunda lama. Yang tidak lepas dari 3 Alam,
terdiri dari alam atas, alam tengah dan alam bawah. Karena hidup ini adalah
kesatuan total antara Dunia Atas, Dunia Bawah, dan Dunia Bawah, antara
mikrokosmos, makrokosmos, antara dunia sakala (berwaktu)…hidup ini adalah
kesatuan antara yang sakral dan yang profan. Hierofani (perwujudan suci)
dan aphotheosis (manusia dewa) (Jakob Sumardjo, 2003: 320).
Kepercayaan pada Sanghiang atau
dewa-dewa dan roh-roh halus yang sifatnya gaib masuk pada ralitas nilai-nilai
religius teater rakyat. Setiap
pertunjukan teater rakyat selalu kental dengan mistik. Ini adalah sebuah unsur
yang menjadi khas bagi teater rakyat Jawa Barat. Apakah perlu unsur-unsur ini
dihilangkan ? Berdasarkan pemikiran Arthur S. Nalan. Bahwa teater rakyat harus
ngigelan jaman. Mencari celah kehidupan masyarakat yang tengah berubah, ke
arah yang sifatnya profan. Bisa jadi unsur religius itu dihilangkan disaat
masyarakat pendukung sudah tidak membutuhkan adanya unsur tersebut.
Dari gambar diatas teater rakyat yang
berdasar atas pemikiran Arthur S. Nalan terkadang teater rakyat sekarang ini
akan mengarah pada kehidupan yang
profan, pengertian profan dalam pengertian penulis sebagai keseharian yang
sifatnya keduniawian atau hiburan saja. Nilai religiusitas akan ditinggalkan
sesuai dengan masyarakat yang cenderung rasional dan menuntut bahwa tontonan
teater rakyat hanya sekedar hiburan. Bukan sebagai bagian dari ritual.
4.3.3
Manusia Teater Rakyat Sebagai Homo
Simbolicum
Menurut Arhur S. Nalan bahwa manusia
pada dasarnya adalah sebagai makhluk pencipta, sekaligus pengguna simbol, yang
digunakan sebagai alat komunikasi. Simbol
bagi teater rakyat merupakan sebuah daya kekuatan atau power adi kodrati, yang
dimana simbol itu pun, menjadi salahsatu pandangan bagi manusia yang religius
(Homo Religius). Simbol-simbol yang terdapat dalam teater rakyat mengandung
beberapa konsep dasar filsafat. Orang Sunda yang berpandangan bahwa hidup
adalah sebuah bentuk penyatuan dualisme antagonistik. Filsafat dasar ini pun
terlihat dalam sebuah lambang dari “kain peundeung” dalam teater Uyeg (Arthur
S. Nalan, 2006: 92). Kain peundeung tersebut berwarna hitam putih, denotatifnya
yakni melambangkan dunia atas, sedangkan hitam melambangkan dunia bawah, dan
kain “Peundeung” tersebut merupakan suatu bentuk penyadaran penyatuan antara
dunia atas yang sakral dan dunia bawah yang profan. Penulis menggambarkan seperti di bawah ini.
Dari gambar di atas Arthur membaca
bahwa simbol adalah sebagai teks. Ada makna atau konteks yang di dalamnnya
berdasar atas pemikiran-pemikiran masyarakat dalam memahami realitas
kehidupannya. Bentuk teater rakyat adalah teks sebagai simbol-simbol mereka.
Arthur S. Nalan menelaah itu berdasar atas konteknya teater rakyat lama adalah
kepercayaan-kepercayaan masyarakat Sunda lama. Yang diwujudkan ke dalam
simbol-simbol, dianilisa berdasarkan filsafat Sunda.
4.3.4 Manusia
Teater Rakyat Sebagai Homo Kreator
Dalam pembahasan ini Arthur S. Nalan
mengacu pada Ladman. Bahwa Homo Creator
(Manusia Pencipta) adalah manusia yang berkarya. Berkarya berarti menciptakan
nilai-nilai. Dalam suatu karya terwujudlah suatu ide dari manusia. Dalam karyanya
manusia bukan sekedar mengunyah dan melumatkan bahan mentah, melainkan memberi
bentuk serta isi manusiawi secara pribadi.
Arthur mencontohkan kreatifitas yang
dilakukan Mang Usin (sebagaimana kesaksian H.R Adang Affandi sekitar tahun 1937
– 1938). Mang Usin adalah seorang
seniman teater rakyat (Sandiwara Istambul atau komedi Istambul) yang seringkali
tampil di pasar-pasar malam di wilayah Tasikmalaya dan Ciamis. Ia sangat piawai
memekarkan lagi satu cerita menjadi beberapa cerita. Misalnnya jika ia
menyaksikan Hamlet. Hamlet tersebut bisa jadi Hamlet ketika bayi, ketika
remaja, ketika tua, atau menjadi apa saja (Arthur S. Nalan, 2008: 96). Contoh homo
creator lain, Anis Djati Sunda, yang
berhasil memodifikasi Uyeg. Dengan sedikit merubah nilai-nilai Uyeg lama
pimpinan Abah Ita Citepus. Menjadi Uyeg versi Anis Djati Sunda. Yang lebih
disenangi masyarakat.
4.3.5 Manusia Teater Rakyat Sebagai Homo Ludens
Homo Ludens (manusia yang bermain-main)
adalah tepat juga menurut Arthur S. Nalan jika ditempatkan pada manusia teater
rakyat. Homo Ludens ini terlahir dari predisposisi masyarakat di dalam
memanfaatkan waktu luang,--yang erat kaitannya dengan masyarakat pahuma (peladang)
sebagaimana halnya masyarakat Jawa Barat pada awalnya, kemudian bertambah
dengan masyarakat sawah. Dari cara hidup ini erat kaitannya dengan bagaimana
mereka berlaku dalam teater rakyat, sebagai pemanfaatan waktu luang mereka.
Dari cara memanfaatkan waktu luang
mereka dan cara kerja masyarakat sebagai pahuma, Arthur S. Nalan memilki
satu pandangan ada pengaruh terhadap kemampuan atau kepintarannya para pemain
teater rakyat.
Dari pengaruh itu, mereka mampu bermain-main
secara lisan dan mampu pula bermain-main dengan bahasa gesture (gerak),
terdapat rengkak pari polah, sepak terjang, cuta-cute, ugal-egol,
mundur-maju, dan lain sebagainya. Semua itu terdapat dalam pintonan Ateng Japar
ketika bermain Longser (Arthur S. Nalan, 1996: 11).
4.3.6
Manusia Teater Rakyat Sebagai Homo
Faber
Dalam bukunya berjudul “Teater
Eagaliter” (2006), Arthur S. Nalan berpendapat bahwa seluruh awak panggung teater rakyat memiliki
kemampuan dalam penguasaan berbagai peralatan di atas pentas dari mulai
alat-alat musik sampai tekhnik-tekhnik pemanggungan.
Inilah menurutnya menjadi sebuah ciri
yang khusus, untuk membangun sebuah bahasa panggung. Bahasa panggung dalam
persepsi Arthur S. Nalan adalan realitas yang hadir di atas pentas. Ia
mencontohkan, waditra yang hadir di panggung adalah sebuah perangkat alat musik
yang harus dikuasai ketika dalam sebuah pementasan.
Penguasaan manusia teater rakyat terhadap waditra dapat
dipastikan menjadi penguasaan yang umum bahkan cenderung absolut karena
penguasaan tersebut adalah modal utama didalam berbagai genre teater rakyat
(Arthur S. Nalan, 2006: 99).
Seperti yang dikatakannya, aspek ini
menjadi keharusan bagi para seniman teater rakyat. Mereka mengasah kemampuannya
belajar sambil bekerja (learning by doing). Pada umumnya, mereka tidak cuma menguasai satu unsur saja
namun berbagai unsur dalam ruang lingkup teater rakyat seringkali mereka
kuasai. Selain bermain akting mereka juga cerdas dalam mempermainkan alat musik
Sama halnya dalam sandiwara, seluruh
awak panggung berupaya mempelajari dan memiliki kemampuan menggunakan
tekhnik-tekhnik visualisasi. Untuk mendapatkan efek-efek yang menggairahkan
bagi penonton. Mempergunakan lampu-lampu, layar dan unsur-unsur artistik
lainya.
Arthur S. Nalan memiliki kesimpulan
bahwa para seniman tradisi, memiliki daya kecerdasan yang luar biasa. Ia banyak
memiliki penguasaaan bukan hanya satu unsur saja. Tetapi berbagai perangkat
harus mereka kuasai. Satu individu dituntut untuk memiliki kemampuan berbagai
hal. Ini ada tuntutan di masyarakat seni tradisi, khususnya teater rakyat.
Selain berakting ia juga harus mampu menari, bernyanyi, memainkan musik, dan
lain sebagainya. Sebagai contoh dalam Longser.
Keterampilan pengasahan perangkat
pemanggungan dalam perspektif Arthur S.
Nalan adalah modal besar bagi keberlangsungan komunitas itu sendiri. Dengan
alasan jika anggota komunitas tidak bisa bermain, bagaimana pementasan
tersebut. Disinilah kekuatan teater rakyat kita. Mereka mampu berimprovisasi
dengan memainkan unsur lain. Sambil memainkan musik misalnya, keterampilan yang
mereka dapatkan bukan dari proses studi secara formal. Tapi ini adalah kebutuhan
alamiah mereka, dan satu kecenderungan yang khas. Yang tidak dimiliki oleh
teater-teater Barat. Itulah hasil telaahan Arthur S. Nalan.
4.4. Arthur S. Nalan Membagi Teater
Rakyat: Teater Oncor dan Layar
Dalam laporan penelitiannya tahun
2000 berjudul “Teater Rakyat Sebagai Sumber Daya Indeginisitas”, Arthur
S. Nalan mencoba untuk mengelompokkan jenis-jenis teater rakyat menjadi dua
bagian, yaitu: teater oncor dan teater layar.
Pembagian ini dilakukan ia untuk memudahkan mempelajarinya, hal ini
diberi istilah atas penanda-penanda yang digunakan dalam setiap pertunjukannya
masing-masing. Dan tentu saja menurutnya semua jenis keseniann tradisi tidak
bisa dikategorikan sebagai teater karena dilapangan banyak masalah yang
kompleks. Arthur S. Nalan:
Pembagian itu dibuat atas dasar
penandanya (oncor dan layar) untuk memudahkan yang mempelajarinya. Seni rakyat
tidak bisa dikategorikan sebagai teater secara keseluruhan, kalau seni
pertunjukan etnik mungkin bisa. Karena di lapangan banyak yang kompleks dan
total tetapi ada juga yang sangat sederhana dan hanya terdiri dari jenis dan
unsur-unsurnya saja (Wawancara : Arthur S Nalan, 24 Oktober 2010. Bandung).
Jika hal itu tidak dilakukan maka
kesulitan-kesulitan dalam menganalisa atau pengkajian teater rakyat akan terjadi. Dan tentu saja
Arthur memiliki keyakinan bahwa tugas seorang peneliti adalah membuat sebuah
pengelompokan dan melontarkan istilah baru. Untuk sebuah kegiatan akademik. Karena
tugas seorang akademisi itu bukan hanya mengkaji dan meneliti saja, karena
kekuatan para peneliti bagi dirinya bukan hanya mendapat data
sebanyak-banyaknya, namun bagaimana peneliti atau pengkaji tersebut mampu
memberikan peristilahan-peristilahan baru. Mampu memberikan
pembahasaan-pembahasaan bagi objeknya sendiri. Mampu menciptakan teori-teori
baru sebagai sumbangsih terhadap khazanah intektual. Bukan hanya sekedar
laporan penelitian saja.
Arthur telah melakukan sikap sebagai pemerhati, peniliti yang
sebenarnya. Inilah kecerdasan seorang peneliti yang benar-benar peneliti.
Pemberian istilah baginya sangat penting untuk memudahkan kajian, sehingga
kajian lebih menukik, dan mampu menelaah hingga ke akar-akarnya. Meski teater
rakyat itu tidak akan habis-habisnya untuk digali. Tetapi sejauh ini Arthur S.
Nalan telah melakukan penggalian-penggalian itu dan pembuatan bahasa-bahasa
baru untuk proses pembelajaran semuanya. Begitupun dengan ia memberikan istilah
terhadap teater rakyat. Ia bagi menjadi dua genre. Sesuai dengan penandaan dari
setiap pemanggungannya. Yang tidak bisa lepas dari dua tanda ini. Oncor dan
Layar.
4.4.1
Teater Oncor
Salahsatu genre teater rakyat ini mengapa
ia sebut teater oncor, karena dalam setiap pertunjukannya selalu menggunakan
oncor (lihat hasil penelitiannya tahun 2000: 10). Oncor digunakan untuk
penerang, selain itu digunakan umntuk penanda waktu. Siang atau malam. Oncor
digunakan sebagai lambang dari kesederhanaan masyarakat Pasundan, dan
menurutnya sudah lama dijadikan ciri khas kesenian rakyat sebagai refleksi dari
kehidupannya sendiri disajikan dalam satu lingkaran magis untuk menyelami
kehidupan kosmologinya. Arthur S. Nalan mengatakan:
Sejak lama oncor menjadi ciri kesenian rakyat dan hasil
refleksi dari kehidupannya sendiri disajikan dalam satu lingkaran magis sebagai
suatu axis mundi (pusat dunia) tempat komunitas tertentu menyelami kehidupan
kosmologinya (Arthur S. Nalan, 2000: 10)
Ia memberi istilah pada genre teater
rakyat ini dengan teater oncor,
dikarenakan dalam setiap pertunjukannya selalu menggunakan oncor. Oncor sendiri
seringkali disebut dammar nilu (bersumbu tiga). Secara fisik berupa
lampu minyak bercabang tiga bertiang satu setinggi 1,5 meter. Fungsinya adalah
sebagai alat penerang, terkadang dipakai sebagai pembantu imajinasi terutama
dalam perpindahan setting.
Kemudian
Arthur S. Nalan berpendapat, yang termasuk ke dalam teater oncor adalah Ubrug
di Banten, Topeng Tambun di Bekasi, Topeng Banjet di Karawang dan Subang, Uyeg
Sukabumi, Longser di Bandung. Semuanya memiliki ciri khasnya dalam pertunjukan.
Baik segi bahasa maupun gaya dalam permainannya.
4.4.2
Teater Layar
Selain genre teater oncor, Arthur S.
Nalan pun mencoba memberi istilah pada
salahsatu jenis teater rakyat, yang
sekarang ini masih hidup di wilayah Indramayu dan Cirebon. Setiap
pemanggungannya tidak lepas dari unsur layar. Oleh karenanya, Arthur memberikan istilah Teater Layar.
Karena sesungguhnya, layar merupakan sesuatu yang khas dari genre teater
rakyat ini. Dalam catatannya, teater rakyat tersebut telah mendapat
pengaruh dari teater Barat (tunil, sandiwara bangsawan, dan sejenisnya). Ciri-cirinya
telah menggunakan panggung proscenium (berbingkai).
Berdasarakan catatan Arthur S. Nalan, dulu
muncul dan berkembang dibeberapa kabupaten di Jawa Barat, dalam suatu periode
(sekitar tahun 1950-1970) hampir di seluruh kabupaten terdapat sandiwara. Namun
ditahun 1980-1990 yang masih hidup hanya di Cirebon dan Indramayu. Sementara di
Bandung dan beberapa wilayah lainnya telah punah (Arthur S. Nalan 2000: 13).
4.5 Solusi Praksis Arthur S. Nalan
Dalam Teater Rakyat Jawa Barat
Kebuntuan teater rakyat telah
Arthur temukan. Hal ini salahsatunya karena Ia melihat pola-pola pertunjukan
yang terdapat dalam teater rakyat Jawa Barat memiliki kebakuan dan cenderung
dipertahankan secara kaku, hingga kadang-kadang memberikan kesan bahwa
perubahan terhadapnya dianggap tabu. Kecenderungan konservatif ini dipahami, karena hilangnya
pola-pola yang terbukti ampuh itu akan dapat melenyapkan keberaadaan jenis
teater rakyat itu sendiri. Mengapa
cenderung konservatif ? Salahsatu akarnya, menurut ia, karena pemahamannya yang
menganggap tabu, sementara tabu lahir atas dasar sikap patuh pada tradisi yang
telah menjadi folkwaynya. Perubahan folkway dirasakan suatu pelanggaran bagi masyarakat
tradisi, terkadang menolak cara pandang yang diberikan. Ketika ada akademisi yang betul-betul peduli.
Mereka sangat ketakutan besar melanggar tali paranti karuhun yang telah
diwarisinya. Arthur S. Nalan mengungkapkan:
Ketika kita memberikan cara pandang itu masih menolak, ketika memberikan
masukan-masukan kepada teater tradisi. Mereka khawatir. Mereka menganggap kalau
melanggar tali paranti karuhun bisa menjadi problem. Mereka banyak mengiyakan
masukan tapi tidak dilakukan, Karena kalau diilakukan bisa merusak tradisi.
Karena cara pandang nalarnya itu berbeda
dengan para akademisi. Banyak kekhawatiran - khawatiran, kamelang. Sehingga
kalau melanggar talari paranti karuhun itu seperti sebuah dosa, tapi jika ada
pewaris aktif yang melakukan upaya-upaya untuk menafsirkan tradisi dengan cara
mereka. Itu memang butuh keberanian (Wawancara: Arthur S. Nalan, 10 Juni 2010)
Masyarakat seperti ini, menurut
Arthur S. Nalan memiliki pandangan yang mengacu pada kejayaan masa lalu menyebabkan
dari apa yang mereka tafsirkan selama ini sebagai keburukan, tak bernilai,
berdosa yang harus dihindarkan.
Pandangan konservatif atau kuno ini yang hadir di masyarakat tradisi tersebut bukanlah sesuatu yang tidak baik, tetapi
menurutnya --harus dipandang sebagai kenyataan yang harus dijadikan bahan
diskusi dalam ruang lingkup akademik, guna menemukan sebuah solusi yang lebih
tepat bagi kejayaan teater rakyat di Jawa Barat.
Arthur S. Nalan memiliki pandangan
bahwa ketika masyarakat seniman tradisi bersikap demikian, jangan dihakimi
bahwa itu adalah sebuah kesalahan besar mereka, yang tidak bisa dirubah. Semua
itu karena latar belakang mereka yang rata-rata tidak memiliki pendidikan yang
tinggi (rata-rata SD atau SR [Sekolah Rakyat]). Ini adalah tugas akademisi
menurutnya, membawa mereka pada sebuah
ruang yang penuh pencerahan, memboyong pada semangat jaman renaissance.
Seorang akademisi dituntut mampu memberikan penerangan, memberikan
kontribusi yang besar terhadap lingkungannya dimana ia hidup.
Disamping itu, kesenian tradisi
khususnya teater rakyat, tidak cukup tertulis dalam buku-buku. Sebagai seni
yang punah dan dijadikan objek peneltian saja. Tapi seorang akademisi seni
harus memiliki kemampuan untuk melakukan sebuah perjuangan besar secara
praktis. Karena ia berpikir, untuk mengadakan perubahan bagi masyarakat
tradisi, yang tengah berada di zona kehancuran, bukan hanya bersifat teoritis
saja. Tapi wujud nyata. Realitas panca indra yang bisa ditangkap oleh
masyarakat tradisi lebih penting.
Arthur S. Nalan telah membuktikan
semua ini, membuat sebuah keseimbangan, karena ia berkeyakinan -- kajian-kajian
ilmiah yang berjubel diperpustakaan. Tidak akan memberikan pengaruh besar
bagi keberlangsungan teater rakyat Jawa
Barat sekarang. Tanpa aplikasi di lapangan.
Ini adalah kenyataan bagi Arthur. Karena kepunahan teater rakyat Jawa Barat,
salahsatunya yang harus bertanggungjawab adalah pihak akademisi. Akademisi
dituntut melakukan sebuah upaya, dengan berbagai cara. Sebagai pertanggung
jawaban akademik. Bila seorang sarjana seni, bagaimana ia memberikan kontribusi
bagi kesenian daerahnya. Dan Bagaimana melakukan pendekatan terhadap masyarakat
tradisi untuk memecah kebekuan itu ?
Arthur S. Nalan telah memberikan beberapa
tawaran praktis, didasari pemikiran bahwa teater rakyat harus ngigelan jaman.
Itulah tekanan yang ia lakukan. Dan tradisi itu sifatnya dinamis. Kenapa
dinamis ? Karena dipengaruhi oleh berbagai kebudayaan lain yang menyergap,
sehingga pola pikir dan selera masyarakat pendukung berubah. Teater bisa hidup
disebabkan adanya masyarakat pendukung tersebut.
Dari
gambaran itu, berdasarkan pemikirannya, Arthur S. Nalan telah memberikan satu
tawaran konsep yang telah dilakukannya, di tengah masyarakat yang telah
terkontaminasi oleh modernisasi. Penyesuaian bentuk pertunjukan baginya mutlak
diperlukan, supaya kembali ada inter aksi yang harmonis dengan masyarakat
penyangganya (lebih jelas lihat lampiran). Tanpa menghilangkan esensi dari
teater rakyat yang lama.
Beberapa tawaran yang telah dilontarkan Arthur, sebagai hasil ramuan antara teater rakyat
dengan unsur-unsur yang kekinian.
Istilahnya modern. Beberapa karya yang telah ia buat antara lain:
Tewaysun, Sandiwara Munaran,
Kakufi (telah mendapat
kejuaraan), dan lain sebagainya.
4.5.1 Tewaysun
Teater wayang sunda adalah bentuk
tafsir kreatif Arthur S. Nalan terhadap wayang wong Sunda. Ia merubah dari
bentuk konvensional lakon yang selama ini terdapat dalam wayang wong. Dengan
pengadegan yang sesuai dengan galur saja, tidak dramatis. Tewaysun memposisikan
lakon menjadi esensial dan irit pemain, tiga sampai sepuluh (wawancara: Arthur
S. Nalan, 01 Oktober 2010. Bandung).
Lakon-lakon yang telah dibuat Arthur.
S Nalan diantaranya: The Song Of Dorna yang telah dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta
(GKJ). Lakon ini menceritakan tentang
terbunuhnya Dorna oleh Destajumena yang dirasuki roh Ekalaya yang dendam, dalam
perang Bratayuda. Saat Dorna panik karena mendengar kabar kematian Aswatama,
padahal Aswatana dimaksud adalah seekor gajah yang namanya sama.
Lakon tersebut diawali suara gemuruh
ombak. Dorna turun dari kahyangan untuk mengembara. Kemudian ditemani seorang
Bidadari, berpenampilan kuda bersayap dan berwajah cantik bernama Wilotama, dengan sarat tidak
boleh ‘amalkan sutra’ pada waktunya.
Tapi larangan itu dilanggar --- dalam pementasan: Tampak di
layar belakang, gambar alam berganti-berganti. Pantai, lautan, ombak, awan,
siang dan malam serta akhirnya tiba di kaki langit -- lahirlah seorang bayi
laki-laki yang diberi nama Aswatama. Dan perpisahan terjadilah antara Dorna dan
Wilotama dengan suasana haru.
Dorna berduka atas kepergian
Wilotama. Wilotama hadir dalam mimpinya. Karena cinta dan kasih sayangnya yang
tak bisa dibendung. Mimpi itu seperti kenyataan bagi dirinya. Sambil membawa rindu yang tak tertahan Dorna
pergi ke selatan hingga masuk ke dalam kancah perang antara Kurawa dan Pandawa. Hingga terbunuh, ruhnya pergi dengan
cinta bersama Wilotama.
Begitulah sinopsis cerita itu. Dalam
pertunjukanya, Arthur mencoba memasukan tekhnologi multi media sebagai
Background. Yang terasa lebih hidup. Lebih elegan tanpa menghindari hakekat
tradisi, yang sedang ia upayakan sampai saat ini.
4.5.2
Sandiwara Munaran (Konsep dan Bentuk)
Tradisi
dalam keyakinannya adalah sesuatu yang hidup. Bisa menerobos dari jaman ke
jaman. Oleh karena itu, tradisi sifatnya dinamis bisa menerobos waktu, bisa
menerobos ruang. Dasar tradisi tidak hilang, esensinya tidak hilang, tapi
mungkin bentuknya berubah. Arthur S.
Nalan menuturkan:
Jadi tradisi itu sesuatu yang hidup, yang bisa menerobos
dari jaman ke jaman. Oleh karena tradisi itu dinamis, bisa menerobos waktu.
Bisa menerobos ruang, dasar tradisi tidak hilang, esensinya tidak hilang tapi
mungkin bentuknya berubah. Misalnya Avatar pada dasarnya itu adalah cerita
tradisi dongeng , atau Maha Barata ketika di tafsir oleh genius katakanlah
seperti itu. Peter Brook menafsikan Maha Barata. Maha Barata kan pertentangan
keluarga, atau pertentangan napsu manusia. Kebaikan dan keburukan tetapi ditafsir oleh Peter Brook itu berbeda.
Ya, menceritakannya. Seperti Pak Asep (Asep Sunandar Sunarya) lakon-lakon yang
ia warisi dari ayahnya ia tafsirkan dengan cara dia. Ia tidak mulai lagi adegan
pasewakan (Wawancara: Arthur S. Nalan, 2010)
Dari keyakinan tersebut, Arthur
selain suport aktivis-aktivis teater rakyat. Ia mencoba membuat keberpihakan
dengan membuat sebuah repertoar sandiwara Munaran.
Rumusan
pertunjukan itu dibantu Agus Inyuk dan Dede Komek. Dan disampaikan di Paguyuban
Pasundan. Sandiwara baru itu,
memanfaatkan tekhnologi multimedia sebagai unsur visualisasi, pergantian
setting yang lebih kekinian. Jika di sandiwara tradisi layarnya yang
digunakan sebagai background hanya
digambar saja.
Sebagai
contoh untuk mengambil gambarnya, Dede Komek mengambil sebuah jalan sambil naik
motor. Hasilnya seperti sebuah perjalanan. Ketika dalam pertunjukan, Agus Inyuk
menaiki sepeda dalam keadaan statis. Ia pura-pura mengayuh. Efeknya Agus
seperti berada dalam sebuah perjalanan saja.
Sandiwara
Munaran itu sebuah upaya Arthur S. Nalan secara kongkret. Mengikuti kebutuhan
masyarakat sekarang, yang telah berubah. Akibat sergapan budaya luar, yang
datang bertubi-tubi tak terkendali. Namun, mahalnya biaya produksi dalam satu
pementasan, membuat persoalan. Dalam satu produksi membutuhkan lima juta sampai
sepuluh juta. Arthur S Nalan :
Hanya persolaannya, dalam satu produksi itu lebih dari
lima juta sampai sepuluh jutaanlah. Karena multi media membutuhkan proses
tersendiri. Tapi sesungguhnya kalau dijadikan pembelajaran untuk pembaharuan
teater rakyat, itu bisa saja. Tapi memang hakekat sandiwara itu harus ke teater
rakyat (Wawancara: Arthur S.Nalan, 2010).
Pembaharuan teater rakyat telah ia
lakukan dengan cara kemasan yang lebih baru sesuai dengan perkembangan jaman,
supaya teater rakyat bisa menarik. Tanpa menghilangkan esensi dari teater
rakyat sendiri. Ia mendobrak konvensi-konvensi lama. Dengan harapan bisa
diterima, dan sandiwara kontemporer ini nantinya berubah menjadi tradisi.
4.5.3
Wayang Ajen (Wayang Kakufi)
Sebagai upaya revitalisasi teater
rakyat tradisi, Arthur mencoba menawarkan sebuah bentuk wayang dengan citra dan
bentuk pertunjukan yang berbeda. Konsep wayang ajen atau Wayang Kakufi (Kayu
Kulit Fiber) merupakan hasil pembacaan kembali atau tafsir ulang dari wayang
golek konvensional. Karena ia berprinsip tradisi harus ngigelan jaman. Ketika
tradisi statis, maka bisa jadi akan ditinggalkan masyarakat.
Wayang Ajen Kakufi telah mendapat
tiga penghargaan dalam Festival Wayang Internasional I (The First International
Marionette Festival) di Hanoi, Vietnam, 16-24 Februari 2008. Pada festival yang
diikuti 11 negara itu, Wayang Ajen Kakufi mendapat medali emas untuk kategori
Dalang Terbaik, Lakon Terbaik, dan Komposer Terbaik. Dengan membawakan lakon
Dewa Ruci, Nyanyian Air Kehidupan berdurasi 45 menit. Rombongan Wayang Ajen
Kakufi terdiri dari 11 orang, antara lain Arthur S Nalan sebagai sutradara atau
lakon, Wawan Gunawan (dalang/lakon), Suhendi Afriyanto (penata musik), Dodong
Kodir (pemusik), Tavip (penata artistik), Lina Marliana (penata tari), Dini
Irma Damayanti (penari), Dedi Wahyudi (penata wayang), dan Kusnandi (penata
cahaya).
Dalam wayang Kakufi, Arthur telah
melakukan pengembangan-pengembangan kreatif pada sajian pertunjukannya, sebagai
upaya agar wayang golek bisa diapresiasi oleh semua kalangan masyarakat. Oleh
karena itu, wayang golek diramu kembali dengan konsep wayang inovasi baru yang
terdiri dari bahan kayu, kulit dan fiber (KAKUFI). Dengan memasukan unsur
pembaharuan multi media. Dan membangun tata pentas atau pakeliran yang mengarah
pada artistik teaterikal.
Ia yang dibantu Ki Dalang Wawan Gunawan
melepaskan diri dari kebekuan pakem, yang selama ini menjadi sebuah hambatan
mengapa wayang golek sekarang ini mengalami kesulitan dalam berkembang
mengikuti apresiasi dinamika masyarakat penyangganya. Sebagai ekologi hidupnya.
Upaya Arthur, penulis pandang,
merupakan sebuah keberanian -- dengan merombak pakem yang selama ini masih
banyak dalang yang konservatif. Tetap bertahan dalam aturan-aturan lama, yang
kurang di minati masyarakat. Keberaniannya melakukan eksperimen untuk melakukan
kolaborasi berbagai bentuk seni tradisional ke pentas wayang golek -- dari
ekologinya yang masih digunakan dalang-dalang lain yang begitu sarat dan ketat
oleh pakem. Diejawantahkan Arthur ke dalam pertunjukan yang sesuai dengan
keadaan jaman.
Selain peran multimedia sebagai pendukung
visualisasi, artistik, serta musikalisasi, yang juga tidak kalah menarik dari
wayang ajen adalah bahasa nyandra, kakawen maupun paguneman yang pada mulanya
sepenuhnya menggunakan bahasa Jawa atau bahasa Kawi, diubah dengan sepenuhnya
menggunakan bahasa Sunda yang sarat dengan nilai sastra. Hal ini diserap dari
Abah Sunarya, Elan Surawisastra (Mama Elan), dan Jamar Media. Arthur Menuturkan
:
Hal ini diserapnya dari Abah Sunarya,
Elan Surawisastra (Mama Elan), dan Jamar Media, yang dalam paguneman sepenuhnya
menggunakan bahasa Sunda yang murwakanti, serta sepenuhnya mentransfer filsafat
Ki Sunda. Sedangkan dalam kakawen (pendahulu), Wawan masih mengunakan bahasa
Kawi (Jawa Kuno). “Karena pada umumnya dalang sepuh pada masa lalu memang
menggunakan bahasa Sunda lulugu dan diyakini sebagai bahasa indung orang Sunda
(Pikiran Rakyat: Arthur S. Nalan, 25 Agustus 2008)
Phenomena Gaya pertunjukan wayang ajen menjadi tren baru dan
mulai merambah kepada gaya pertunjukan wayang golek tradisi yang
dipergelarkan oleh dalang-dalang lain, seperti bentuk bedripan (kilas balik)
pada adegan awal, penambahan media bantu seperti kain layar sebagai background
dan lainya.
Dengan kreatifitas yang ditawarkan Arthur itu, penulis
berharap teater rakyat di Jawa Barat ini bisa berkembang dan maju. Tidak
terjebak pada sebuah pemahaman bahwa pakem adalah sebuah hal yang tabu. Yang
tidak boleh dirubah. Selain itu, warna dan gaya pedalangan tidak hanya
mengkultuskan pada satu titik genre saja, tetapi banyak hal-hal lainnya yang lebih memungkinkan untuk digali dan
ditemukan, sebagai sesuatu yang baru dalam sebuah kreativitas berkesenian
dengan pemberangkatan dari akar tradisi. Karena tradisi tidak akan ada
habis-habisnya untuk digali. Ini tawaran cerdas yang dilakukan Arthur S. Nalan.
Dari ketiga contoh tawaran tadi, diharapkan bisa menjadi
sebuah jalan keluar dari berbagai permasalahan yang ada di teater rakyat masa
kini. Dan ini sebuah bukti bahwa Arthur telah membuat upaya untuk mengembalikan
lagi kejayaan teater rakyat di Jawa Barat dengan konsep dan pertunjukan teater
rakyat yang baru. Lebih segar namun tetap berakar pada teater rakyat kita. Supaya teater rakyat kembali subur seperi
dahulu dengan wajah yang berbeda. Tidak sekarat dan punah.
BAB
V
KESIMPULAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian penulis tentang pemikiran
Arthur S. Nalan. 1) ia adalah sosok akademisi yang telah menempatkan dirinya dalam
wilayah keseimbangan. Teoritis dan fraksis. Meskipun ia dibentuk dan
didewasakan oleh kurikulum yang berorientasi terhadap teater Barat, Ia sekan
mendobrak sistem itu, kemudian mengambil jalan. Jalan yang penuh kemuliaan bagi
dirinya. Meraup nilai-nilai luhur yang tersembunyi dalam teater rakyat Jawa
Barat. Ia telah mengabdikan dirinya, menggali identitas budayanya sendiri. 2)
Ia adalah seniman yang tahu bahwa akar budaya lokal menyimpan mutiara yang
berharga, yang tak akan habis-habisnya jika digali. Kekayaan yang luar biasa,
ia telah dapatkan. Dan terus berupaya melakukan penggalian.
Dikala
pengamat, peneliti, dan seniman lain asyik bernostalgia, bercengkarama mesra
dengan teater Barat. Ia masuk, menyelinap lewat pintu yang jarang orang masuki.
Menuju kemuliaan hidup. Perjuangan bersama keterpurukan teater rakyat Jawa
Barat.
Pemikiran-pemikiranya
yang tajam, memberondong segala unsur yang bertanggung jawab dalam persoalan
ini. Pemerintah, akademisi, seniman, masyarakat, dan lain sebagainya. Untuk
melakukan sebuah penyadaran bersama. Menuju hidup yang berbasis kelokalan.
Disamping
itu, ada hal yang menarik selama melakukan penelitian ini. Ikatan emosional
antara Arthur S. Nalan dan Saini KM begitu dekat. Sosok Saini KM telah memberi
warna hidupnya. Memberi banyak inspirasi. Memberi banyak dorongan yang luar
biasa bagi dirinya. Baik itu menentukan arah hidup, bersikap, dan jalan
berkesenian.
Saini KM
memacu Arthur S. Nalan untuk terus berkarya, mencapai impian masa depan.
Sehingga Arthur kini menorehkan banyak frestasi. Beberapa lakonnya menjadi
unggulan. Diantaranya : Wanita dari Negeri Wewangian (scenario Film) Lima
terbaik (Direktorat Film Budpar) (2007),
Ibunda Seni Sunda (Dokudrama Tien Rostini Asikin) (2006), Jalan perkawinan
(scenario Film) Pemenang 1 (Direktorat Film Budpar) (2006, dan lain sebagainya.
Selain itu, pertunjukan teater rakyat kontemporernya, Kakufi, mendapat tiga penghargaan dalam Festival Wayang
Internasional I (The First International Marionette Festival) di Hanoi,
Vietnam, 16-24 Februari 2008.
Dalam menulis lakonnnya, ia adalah
sosok yang cerdas. Cepat menangkap inspirasi yang melintas, tanpa melupakan
nilai-nilai kelokalan (cerita-cerita rakyat). Ini adalah kemuliaan pribadinya
yang tahu purwadaksi. Darimana ia berasal.
Disamping itu, Arthur juga
mengkritisi persolan-persolan sosial. Seperti dalam kumpulan 9 drama, “Bulu Tanah”. Ini adalah kebenaran bagi
dirinya dan juga bagi penulis. Kelokalan harus terus digali, pembelaan terhadap
teater rakyat terus ia lakukan dengan
memegang prinsip Budha: Yang mengenal akan di kalahkan oleh yang mengetahui,
yang mengetahui akan dikalahkan oleh yang memahami, yang memahami dikalahkan
yang menghayati.
Keberpihakannya terhadap teater rakyat Jawa Barat, karena ia
merasa prihatin jarang sekali, para pemerhati, peneliti, dan akademisi yang
mengkaji teater rakyat. Juga pemerintah yang apatis terhadap persolan ini.
Sedangkan para seniman di daerah banyak yang berharap.
Oleh karenanya, ia datang menjadi
juru bicara, tentang kondisi dan nilai-nilai yang ada dalam teater rakyat di
Jawa Barat. Ia terus berjuang, supaya teater rakyat terus berkembang dengan
berbagai upaya. Salah satunya menawarkan sebuah jalan, teater rakyat harus ngigelan
jaman. Karena masyarakat pendukungnya telah berubah.
Maka atas keberpihakan yang telah ia
lakukan. Jika Saini KM disebut menteri penerangan teater Indonesia, maka Arthur
S. Nalan tepat disebut advokat teater rakyat Jawa Barat.
DAFTAR
PUSTAKA
Admiharja,
Kusnaka
2004 Arsitektur Dalam Bingkai Kebudayaan.
Architechture dan Komunication. Bandung
Djuhaire,
O. Setiawan
2001 Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis,
Disertasi, Bandung ; Yrama Widya.
Hermana
2008 Seni
Sunda Merelukeun Sokongan Ti Gegeden
Pamarentah, Koran Sunda Urang.
Kurnia,
Ganjar & Arthur S. Nalan
2003
Deskripsi Kesenian Jawa Barat,
Bandung.
Nalan, Arthur S,
2006. Teater Egaliter,
2006.
Seni
Pertunjukan Rakyat di Pesisir Utara Jawa, Jurnal Panggung STSI, NO. XXXIX,
Bandung.
2002.
Penjelajahan
Tradisi Dan Seni, Jurnal Panggung STSI, No XXV, Bandung.
2009.
Tradisi
Spiritual dalam Jagat Kesenian Kita, Jurnal Panggung STSI, NO. XVII,
Bandung.
2005.
Budaya Folklor
Sunda, Jurnal Panggung STSI, NO. XXXVII, Bandung.
2005. Penelusuran Jejak
Ki Sunda Dari Masa Ke Masa, Makalah Seminar.
2007.
Revitalisasi
Kebudayaan Pada Masyarakat Adat Di Indonesia, Makalah Seminar.
2007.
Strategi
Kebudayaan Bagi Kota Bandung, Makalah Seminar.
2004.
Kultur Warisan
Seni Dalam Tari Sunda, Makalah Seminar.
2007.
Mari Menggali,
Memahami, Menghayati : Tiga Langkah Proses Pentingnya Penyelamatan Tinggalan
Budaya Di Jawa Barat, Makalah Seminar.
….. Gerakan
Melangsungkan Kebudayaan, Melangsungkan Kesenian, Makalah Seminar.
1999 Mencari Estetika Dalam Teater Rakyat Jawa Barat,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, STSI Bandung.
2000
Teater Rakyat Sebagai Sumber Daya
Indeginisitas, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Bandung, STSI, Bandung.
1996 Aspek Manusai Dalam Teater Rakyat Jawa Barat. Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata, STSI Bandung.
1994 Punahnya Teatetr Rakyat Di Jawa Barat. Departemen
Kebudyaan dan Pariwisata, STSI Bandung.
Sumardjo,
Jakob
2003
Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda, tafsir-tafsir pantun Sunda, Bandung,
Kelir.
1997. Perkembangan Teater Modern Dan
Perkembangan Sastra Indonesia,
Bandung, STSI Press
2000
Rakyat
Teater Sebagai Indeginisitas, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Bandung,
STSI, Bandung.
NN
2003 Khasanah
Seni Pertunjukan Daerah Tatar Suda, Yayasan
Kebudayaan jaya Lokal Bandung.
Retno
2008 Wayang
Ajen Lebih Dari Sekedar Wayang, Koran Pikiran Rakyat.
www.NewWpThemes.com
DAFTAR NARASUMBER
Nama :
Arthur S. Nalan
Peran : Narasumber utama
Pekerjaan : Dosen jurusan teater STSI Bandung, seniman
dan budayawan.
Nama :
Nandi Riffandi, S.sen, M.Hum
Peran :
Significant ather
Pekerjaan : Dosen jurusan teater STSI Bandung
Nama
: Retno Dwimarwati, S.sen,
M.Hum
Peran : Significant ather
Pekerjaan : Dosen jurusan teater STSI Bandung
Nama :
Prof. Drs. Saini KM
Peran : Significant ather (Guru dan motivator narasumber
utama)
Pekerjaan : Guru
besar STSI Bandung
Nama :
Prof. Drs. Jakob Sumardjo
Peran : Significant ather
Pekerjaan : Guru besar STSI Bandung
Nama :
Rusman Nurdin
Peran : Significant ather
Pekerjaan : Dosen jurusan teater STSI Bandung
Nama :
Hernawan SA
Peran : Significant Ather
Pekerjaan : Dosen jurusan teater STSI Bandung
Nama :
Prof. DR. Endang Catur Wati
Peran :
Orang yang dikenali narasumber utama
Pekerjaan : Ketua Puslitmas STSI Bandung
Nama :
Toni Supartono
Peran : Significant ather
Pekerjaan : Dosen Jurusan Teater STSI Bandung
BIOGRAFI
(Secuil Endapan Kehidupan)
Gun
Gun Nugraha lahir di Garut, 5 Desember 1981.
Disebuah desa yang dulu menawarkan surga kesenian dan alam yang hijau serta
damai. Tapi sekarang semua itu lenyap. Orang-orang tak lagi ramah. Manusia
berubah menjadi individualistis. Alam
menjelma bom waktu, akibat penambangan liar. Dan kesenian tradisi pun hilang
tak meninggalkan jejak. Ia sekolah di SMAN 12 Garut (dulu SMAN 1 Cisewu). Selama
dua tahun ia mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat, sebagai eksperimenh
terhadap arti dan pentingnya hubungan social. Ketika ia keluar dunia menjadi
asing bagi dirinya. Orang-orang mengumandangkan kata-kata ketidaklayakan. Ia
menjelmakan teks menjadi cambuk, membuat ia memacu diri untuk terus berlari
melewati berbagai tantangan. Tak ada kata tidak mungkin dalam jiwanya, untuk
bisa merubah dunia. Sekalipun menjadi raja di kerajaan langit.
Tahun 2001 pernah aktif di beberapa radio komunitas,
antara lain Remon FM, Pandawa FM dan Rasi FM. Tahun 2003 masuk ke STSI Bandung,
Jurusan Teater, dengan pemikiran yang idealis ingin menjadi sesuatu yang sesuai
dalam benaknya. Bertahun-tahun ia jalani. Seperti perjalanan sebuah kapal.
Karena ia memandang bahwa: Hidup adalah sebuah perjalanan dari fase ke fase.
Dikampus ini, terkadang kejenuhan hinggap, kehilangan tema, sepi dan sunyi. Dan
berkecamuk berbagai pertanyaan, tentang dirinya, tentang tuhan, tentang apa
saja. Malam dan siang adalah peristiwa yang terkadang menjadi sebuah virus.
Menggerogoti jiwanya yang haus akan sebuah kesempurnaan hidup. Dan dikampus
ini, mengendap berbagai kenangan, pemberontakan dan pernah terjadi benturan
tidak disengaja. Bahkan ia bertanya sendiri: Kenapa bisa terjadi?
Kesenian telah membuat ia liar,
memandang dunia bebas dan tanpa batas. Terkadang memaksakan kehendak dan prinsipnya pada orang lain. Pembelajaran
kehidupan pernah menjadi jiwanya kosong. Dan aku harus bagaimana?
Dalam pertunjukan teater tidak
banyak yang ia pentaskan. Karena ia semasa kuliah memandang bahwa hidup itu
adalah berteater. Membaca adalah sebuah kegiatan teater, berpikir adalah
teater.
Tahun 2007 sampai sekarang aktif menjadi wartawan di SKU (Surat Kabar
Umum) Garut Pos, redaktur pelaksana Resonans (2010), dan pennggungjawab redaksi
buletin Spektrum (2010). Tahun 2009 membentuk organisasi kesenian Global Art
dengan misi perubahan kebudayaan yang berbasis revitalisasi kebudayaan lokal,
dengan anggota sekarang berjumlah 200 orang. Masih ditahun yang sama, ia
membentuk komunitas Teater, Laboratorium Teater Cisewu, dengan mementaskan Lakon ‘Bedil’ dan ‘Airmata Mataair’, karya/sutradara ia
sendiri. Selamat tinggal kawan-kawan!
Aku akan melangkah ke tahap kehidupan yang berikutnya! Sallam Perubahan !
LAMPIRAN
DAFTAR FOTO PERTUNJUKAN
(KARYA ARTHUR S. NALAN)
“Perang Troya Tidak Akan Meletus”, sutradara: Arthur S. Nalan. Aktor: Nandi
Riffandi.
“Rajah Air”,
sutradara: Arthur S. Nalan
“Jalu
Wuyung dalam Randu Mulus”, aktor: Artur S. Nalan
Arthur
S. Nalan bermain dalam
“Sumur
Tanpa Dasar”, sutradara: Adang Ismet
Pertunjukan
ujian akhir sarjana muda ASTI Bandung
“Lautan
Bernyanyi”, sutradara: Arthur S. Nalan
Arthur S. Nalan berfotret dengan
memakai pakaian adat Sunda
CURRICULUM
VITAE ARTHUR S. NALAN
Nama Arthur Supardan Nalan
S.Sen. M.Hum
Nama
populer Arthur S Nalan/Art Nalan
Tempat/Tgl
lahir Majalengka, 21 Februari 1959,
Jawa Barat
Jenis
Kelamin Laki-laki
Agama Islam
Suku Sunda
Pekerjaan Dosen STSI Bandung
Jrs.Teater/Pembina Utama Muda/IVc
Status Menikah
Alamat
Rumah Jl. Parakan Asih No 7
Bandung 40266 Tlp. (022) 7566714
Hp.
08122378061. Email: sarangwayang@yahoo.co.id
Alamat
Kantor Jl. Buah Batu No 212
Bandung 40265
Tlp. (022)
7314982 Fax. (022) 7303021
Email: arthur@stsi-bdg.ac.id
Pendidikan
2010 Kandidat doctor
Komunikasi UNPAD
2008 Mahasiswa S3
Komunikasi UNPAD
1993 Magister Humaniora
Universitas Gajah Mada
1989 Sarjana Seni Jurusan
Tari STSI Surakarta
1982 Sarjana Muda Jurusan
Teater ASTI Bandung
Riwayat
Pekerjaan Formal
2004-2008 Ketua
Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung
2000 Sekretaris Senat
STSI Bandung
1996 Kepala
Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat STSI Bandung
1994 Ketua
Jurusan Teater STSI Bandung
1991 Asisten
Pembantu Ketua Bidang Kemahasiswaan ASTI Bandung
1981- Dosen
ASTI/STSI Bandung, dalam mata kuliah: Teater Rakyat, Kebudayaan Sunda, Kajian
Seni Pertunjukan, Penulisan Lakon, Akting dan Direkting, Metode Riset.
Riwayat Pekerjaan Non Formal
2008- Ketua
KOMLAKON (Komunitas Penulis Lakon)
2006-2008 Ketua
Bandung Art Culture Council (BACC) Kota Bandung
1999- Ketua
Kelompok Studi Etnoteater dan Teater WOT
1978-1983 Anggota
Studi Klub Teater (STB) Bandung
Publikasi
2006 Teater
Egaliter, Bandung: Sunan Ambu Press STSI Bandung
2000 Sanghyang
Raja Uyeg: dari sacral ke propan, Bandung: Humaniora Hutama Press
2006 Budaya
Folklor Sunda (Jurnal Panggung STSI Bandung)
2006 Seni
Pertunjukan Pantai Utara Jawa (Jurnal Panggung STSI Bandung)
2000 Teater
Jawa Barat sebagai Indigenisitas (Jurnal Panggung STSI Bandung)
2000 Tokoh-tokoh
Wanita dalam Tradisi Lisan dan Lakon di Jawa Barat (Puslitmas STSI Bandung)
1999 Pemetaan
teater Jawa Barat (MSPI)
1999 Mencipta
Teater (bersama Suyatna Anirun dan Benny Yohanes)
1998 Peta
Teater Jawa Barat: Teater Oncor dan Teater Layar (Puslitmas STSI Bandung)
1997 Gending
Karesmen sebagai Local Genius (Puslitmas STSI Bandung)
1996 Catatan
Seni (STSI Press: Editor)
1996 Aspek
Manusia dalam Teater Rakyat (Puslitmas STSI Bandung)
1995 Teater
Pemulung (Pikiran Rakyat)
1995 Kosmetika
Budaya (Pikiran Rakyat)
1995 Seni
Helaran sebagai Teater Jalanan (Puslitmas STSI Bandung)
1994 Tradisi
Buka Panggung pada Sandiwara Indramayu (Puslitmas STSI Bandung)
1994 Kosmologi
Ngaruwat : Antara Eficasy dan Persepsi (Jurnal Panggung STSI Bandung)
1993 Karina
Adinda: Kolaborasi Artistik (Pikiran Rakyat)
Karya Sastra
2007 Wanita
dari Negeri Wewangian (Skenario Film) Lima Terbaik (Direktorat Film Budpar)
2006 Ibunda
Seni Sunda (Dokudrama Tien Rostini Asikin), Bandung: Yayasan Pakujajar dan
Etnoteater
2006 Jalan
Perkawinan (Skenario Film) Pemenang I (Direktorat Film Budpar)
2004 Sobrat
(Lakon) Pemenang I Dewan Kesenian Jakarta: Grasindo
2003 Lima
Puan dan Enam Tuan (kumpulan Monolog), Bandung: Etnoteater
2002 Syair
Ikan Tongkol (Dalam 4 Kitab Drama-Horison dan Ford Foundation)
1987 Si
Badul dan Anak Ondel-ondel (lakon anak-anak)
1986 Serat
Santri Kembang, DKJ
1986 Anak
Bajang dan Anak Gembala, Direktorat Kesenian
1984 Hujan
Keris (Lakon), DKJ
1984 Si
Samudra (lakon anak-anak) , Direktorat Kesenian
1984 Dunianya
Didong (lakon anak-anak), Direktorat Kesenian
Grants
2006 Sejarah
Kebudayaan Sunda (Tim Kerja Dinas Kebudayaan dan pariwisata Jawa Barat)
2006 Pemetaan
Potensi Kesenian Kota Bandung (Dinas Pariwisata Kota Bandung)
2002 Topeng
Kaleng Bekasi (Penelitian Mitra UGM dan STSI Bandung) DIKTI.
1995 Difusi
Topeng Cirebon dan Topeng Betawi (Dinas Kebudayaan DKI)
Riset
2006 Sejarah
Kesenian di Jawa Barat (Etnoteater)
2000 Teater
Rakyat Jawa Barat sebagai Indigenisitas (STSI Bandung)
2000 Tokoh-tokoh
Wanita dalam Tradisi Lisan dan Lakon di Jawa Barat (STSI Bandung)
1999 Punahnya
Teater Rakyat Jawa Barat (STSI Bandung)
1998 Peta
Teater Rakyat Jawa Barat (STSI Bandung)
1997 Gending
Karesmen sebagai Local Genius (STSI Bandung)
1996 Aspek
Manusia dalam Teater Rakyat (STSI Bandung)
1995 Seni
Helaran sebagai Teater Jalanan (STSI Bandung)
1994 Tradisi
Buka Panggung pada Sandiwara Indramayu (STSI Bandung)
Pertunjukan Seni
2008 The
First International Marrionette Festival Hanoi 2008: membawa wayang KAKUFI:
Sutradara, Penulis Lakon (Bronze medal)
2006 Four
Day Literature and Arts Festival, di Pulau Kreta Yunani, membawa wayang KAKUFI:
Penulis Lakon dan Sutradara
2006 Festival
Four de Niort, di Prancis, membawa STSI Bandung: Sutradara
2006 Teater
Wayang Sunda (TEWAYSUN), lakon Candrabirawa Layu, The Song Of Dorna, Kunti, di
Gedung Kesenian Jakarta (KGJ): Penulis lakon dan Sutradara
2006 Teater
Wayang Sunda (TEWAYSUN), Lakon The Son Of Magma, di Gedung Teater Terbuka Taman
Budaya Jawa Barat: Penulis Lakon dan Sutradara
2006 Dramatari
Nyai Sumur Bandung, Studio Tari Indra: Penulis Lakon dan Literatur Manager
2005 Dramatari
Putri Samboja Gugat, Studio Tari Indra: penulis Lakon dan Literatur Manager
2002 Sup
Kura-Kura Made Krecek, Teater WOT: Penulis Lakon dan Sutradara
1999 Rajah
Air, Teater WOT: Penulis Lakon dan Sutradara
1998 Setan
Bla-Bla, Pemanis STSI Bandung: Penulis Lakon dan Sutradara
1995 Si
Gila dari Chailot, kerjasama CCF dan STSI Bandung: Sutradara
1994 Dag
Dig Dug, Jurusan Teater STSI Bandung: Sutradara
1990 Lagean
Mandalaras, Studio Tari Indra: Penata Artistik
1989 HAYW,
Komposisi Tari: Penata Artistik dan Sutradara
1987 Serat
Santri Kembang, Sanggar Kita: Penulis lakon dan Sutradara
1986 Sumur
Tanpa Dasar (Arifin C Noor), Sanggar Kita: Aktor
1983 Kuda
Perang (Goethe), STB: Aktor
1982 Prabu
Randumulus (Durenmat), STB: Aktor
1981 Exit
The King (Ionesco), Sanggar Kita: Aktor
1980 Teroris
(Camus), Sanggar Kita: Aktor
Seminar
2008 Seminar
Internasional dalam The First International Marionette Festival Hanoi 2008:
Paper: Creatif Idea and Artwork Creativity
2006 Seminar
Budaya “Insentif”, Kopertis IV dan Budpar Jabar: Pengamat/Pengkaji
2006 Dialog
Budaya Fokalisma Jawa Barat, di Cirebon: Pemakalah
2006 Proses
Pengemasan Seni Tradisi, Taman Budaya Jawa Barat: Pemakalah
2005 Pendidikan
Berbasis Kebudayaan, Dialog Budaya di Pakuan Jawa Barat: Pemakalah
2005 Problematika
Kesenian di Jawa Barat, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat: Pemakalah
2005 Budaya
Bersih menurut cara pandang Budayawan, Pemda Garut: Pemakalah
2005 Napak
Lacak Ki Sunda, Budpar Jawa Barat: Pemakalah
2004 Penulisan
Lakon, Unisba: Pemakalah
2000 Ngaguar
Iket Sunda, PATAKA dan Pemda Kota Bandung: Pemakalah
2000 Kelokalan
Sebagai Sumber Cipta, Budpar Jabar: Pemakalah
1999 Seni
Pertunjukan dalam Budaya Padi, Rumah Nusantara: Pemakalah
1999 Primadona
dan Seni Pertunjukan Rakyat, Seminar Seni Populer, UI: Pemakalah
Juri
2006 Pasanggiri
Mojang dan Jajaka (MOKA) Jawa Barat
2006 Pasanggiri
Mojang dan Jajaka (MOKA) Kota Bandung
2005 Pasanggiri
Mojang dan Jajaka (MOKA) Kota Bandung
2004 Festival
Helaran Jawa Barat, Budpar
2003 Festival
Monolog, IAIN Sunan Gunung Jati Bandung
[2] Menurutnya bahwa setiap suku di indonesia
mempunyai pola berpikir tetapnya, yakni bagaimana manusia dan alam ─semesta
serta ketuhanan itu terstruktur hubungan-hubungannya. Pola tetap itu menjadi
ciri yang khas untuk setiap suku. Untuk itu Jakob mengklasifikasikannya kedalam
beberapa bagian pola, diantaranya yaitu pola dua, pola tiga, pola empat, dan
pola lima. Prinsip dasar dari berpikir pola dua ini adalah bahwa hidup itu
sebuah pemisahan dari yang dualistik, pola tiga prinsip dasar dari
berpikir pola ini adalah sebuah penyatuan dari dua elemen yang dikotomis
(paradok harmonis). Pola empat yaitu bahwa segala sesuatu merupakan kesatuan
kesempurnaan yang terdiri dari empat pasangan seperti langit─bumi─darat─laut,
hulu─hilir─barat─timur. Pasangan pertama (langit dan bumi, hulu dan hilir)
mengandung makna lebih terhormat dan kurang terhormat, pasangan yang kedua
(darat dan laun, barat dan timur) bermakna pada urusan dalam dan urusan luar),
pola empat ini dalam beberapa segi merupakan gabungan dari alam pikiran pola
dua dan pola tiga. Pola lima dasar dari berpikir pola ini adalah
mempunyai karakter utamanya adalah kesatuan, peleburan atau sintesa (Jakob
Sumardjo 2006).
[3]
Koentjaraningrat membagi bahwa wujud kebudayaan itu di bagi menjadi tiga
golongan, pertama wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai norma,
peraturan, yang disebut sebagai sistem budaya (cultural system), kedua wujud
kebudayaan sebagai kompleks aktivitas serta tindakan berpola manusia, yang
disebut sebagai sistem sosial (social system), dan ketiga, wujud kebudayaan
sebagai benda hasil karya manusia, yang disebut dengan kebudayaan materi (material
culture) (Khusnaka Adimihardja, 2004:8).
0 Comments