Menelusuri
Perjalanan dan Keturunan Eyang Tabri, Eyang Jaiman (Ayah), serta Kisah Aom
Muharam “Dalem Bintang” Bandung)
(Edisi:
Maluruh Karuhun jeung Nyukcruk Turunan)
Oleh: Gun Gun Nugraha, S.Sn*)
I. Semacam Kata Pengantar
Hana nguni hana mangke,
tan hana nguni tan hana mangke, aya ma bohola aya to ayona, hanto ma bohola
hanto to ayona, hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang,
hana ma tunggulna aya to catangnya (hana guna).
Terjamaahan:
’’Ada
dahulu ada sekarang, tidak ada dahulu tidak ada sekarang, ada masa lalu ada masa kini, bila tidak ada masa lalu tidak ada
masa kini: ada pokok kayu ada batang, tidak ada pokok kayu tidak akan ada
batang: bila ada tunggulnya tentu ada catangnya (batang kayu yang sudah roboh).
(Amanat Galunggung koropak no 632, wacana 6).
Berangkat dari pemikiran itulah, penelusuran tentang
perjalanan leluhur dan keturunan Mochamad Tabri, penulis lakukan. Hakikatnya
supaya semua manusia menyadari bahwa
kita ada di dunia ini karena peristiwa masa lalu, dan juga akan ada kehidupan
masa depan. Kita perlu tahu, mengenal
dan mempelajari siapa diri kita? darimana? untuk apa? dan akan kemana?.
Maka lahirlah sebuah falsapah hidup: “Purwadaksi”
purwa artinya awal, sedangkan daksi artinya akhir.
Dengan tidak bermaksud untuk menggurui, terkadang
banyak manusia yang lupa akan saudara dan leluhurnya sendiri. Bahkan seperti
melupakan, tidak mau serta tidak menganggap penting dari mana ia berasal?. Tidaklah
heran, jika anak dan cucu kita banyak yang tidak mengenal satu sama lain
meskipun berasal dari satu akar nenek moyang. Sedangkan orang tua kita dahulu
sudah mengajarkan: Kudu silih tepungan
jeung tepungkeun supaya teu pareumeun obor. Tanpa memandang kaya atau
miskin, tak membeda bedakan kelompok karena maknanya bukan itu, yakni : agar
setiap manusia saling mengenal satu sama lain. Karena kita lahir dari rahim
sejarah yang sama. Dari benih yang sama, dari kobaran jiwa leluhur yang sama.
Saya merasa tergelitik oleh sebuah ungkapan saudara
saya suatu hari. Ia merasa malu untuk bergabung dengan kerabatnya, karena
merasa dirinya berada di kelas sosial
dan ekonomi yang berbeda di bawah saudara-saudaranya, yang hidupnya bergelimang
harta dan jabatan. Dia bertanya apakah benar sebuah perbedaan perlakuan seseorang
itu ditentukan oleh jabatan dan kekayaan? bisa ya. Bisa juga tidak. Bisa jadi
benar kenyataannya seperti itu. Bisa jadi hanya sebuah prasangka diri kita
saja. Yang utama dalam persoalan ini, saya (kata saya: bisa menjadi kita) hanya
ingin mengetahui siapa leluhur saya sebenarnya? Bagaimana sejarah kehidupannya?
Dan siapa saja saudara saya? Setelah mengetahui, mungkin ada dorongan untuk memahami,
menghayati, sampai mengamalkan.
II. Sejarah Perjalanan Mochamad Tabri
Dari Jampang, Kabupaten Sukabumi, Hingga Ke Cisewu
Berdasarkan keterangan dari beberapa narasumber,
penduduk Cisewu dahulunya tidak ada penduduk asli (pribumi). Mereka datang dan
menetap dari berbagai macam latar belakang: ada yang mengungsi, berdagang,
berkelana dan sebagainya. Seperti halnya leluhur saya dari garis keturunan bapak (alm. Momon Suryaman
anak Imih, dari Moch Sarji), yakni
bernama Mochamad Tabri. Ia adalah seorang pedagang (Bandar Munding) dari
Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi, kemudian menetap dan melahirkan keturunan
di Kecamatan Cisewu. Serta sangat terkenal di wilayah ini karena kekayaannya.
Pada awalnya ia menginjakan kakinya di Cisewu
sekitar tahun 1800-an, ketika Indonesia masih berada di bawah kekuasaan
kolonialisme Belanda. Ia datang dengan tujuan untuk membuktikan satu informasi
bahwa di wilayah kecamatan Cisewu ada seorang warga yang sangat kaya raya
bernama ibu Oyoh, warga Datar Kamunding, Ranca Tunjung (penulis perlu
mengadakan pengecekan nama tempat ini untuk keakuratan informasi). Memiliki
tujuh pasir kerbau, jumlah yang sangat fantastis dengan diternak secara
liar—cerita ini mengingatkan saya pada Ibnu Salabah ( sahabat Rasulullah yang
memiliki ribuan kambing di sebuah pasir)--Setelah menjumpai ibu Oyoh, Mochamad
Tabri menceritakan maksud dan tujuannya. Terjadilah negosiasi antara keduanya.
‘’Mangga bae munding
mah, abdi oge bade ngical!’’ begitulah ucapan ibu Oyoh,
seperti dicontohkan oleh narasumber, Abdul komar. Dibelilah beberapa ekor
kerbau, harganya berpariasi: ukuran paling besar dibeli seharga Rp 25,00 dan
ukuran sedang Rp 15,00. Harga padi masa
itu Rp 1,00/1 pikul (22,5 kg). Kerbau-kerbau itu dibawalah oleh Mochamad Tabri
ke Bandung-- untuk dijual kembali ke jagal seharga Rp 45,00, dengan perjalanan satu minggu. Tidak
heran karena dulu masih jalan setapak dan hanya mengandalkan jalan kaki. Dari proses
jual beli itu, ia mendapatkan keuntungan rata-rata Rp 20,00/1 ekornya. Dan
hasilnya dibelikan kesejumlah bidang tanah dan sawah di kampung Datar Kadu, Kampung Nagrak, Kampung Arinem-Cigareng dan di
tempat lainya.
Setelah itu, ia pulang terlebihdahulu ke Jampang
Tengah dan dikabarkannya kondisi, situasi serta apa yang telah dilakukanya di
wilayah kecamatan Cisewu kepada istrinya yang baru dinikahinya itu bernama Siti
Halimah, dari Parakan Tugu, Jampang--Ia adalah anak Jaiman, keponakan dari Ayah
Iding, Cucu Eyang Buyut Emod (Tilem1 ) di Pager Maneuh, Cianjur).
Selain itu, tak ketinggalan kedua orangtuanya, yang
bernama Mochamad Kamri (dimakamkan di Cisewu) serta ibu Mislum (dimakamkan di Pamalayan),
dan Mislum mempunyai keponakan (namanya belum diketahui): ia memiliki dua istri
(poligami), dari istri mudanya dikaruniai anak bernama Sanuri, Sanuri memiliki
anak bernama Kardi (almarhum) tinggal di Pasir Ipis, Kardi memiliki anak
antaralain: Tayat (Ucok), Dadang, dan Kamal. Menurut Abdul Komar, Mochamad
Kamri memiliki 2 (dua) orang anak laki-laki, yakni bernama: Mochamad Tabri dan Mochamad Saleh. Di Cisewu Mochamad Saleh dikenal dengan nama Eyang Oko. Panggilan ini diambil dari
nama anak bungsunya yang bernama Oko, meninggal dimasa kecil. Eyang Oko
terkenal karena kekayaannya di kecamatan Cisewu. Konon katanya, hartana bro di juru bro di panto, ngalayah di tengah imah, reumeuy
beuwungeun, ramay alaeun, numpuk duit buncir leuit, estu lain ukur carita.
Selain Oko, ia juga memiliki putra yang bernama Mustopa dan Mustopa memiliki
anak yaitu Eno (Ma Eno) yang menikah
dengan Pak Ecep, Eno memiliki putra bernama Agus, Agus memiliki putra bernama
Hendra Panca Sakti (Asep Sakti) dan Roni.
Menurut Akub Rusmana (Cucu Eyang Tabri), Mochmad
Tabri memiliki seorang kakek yang bernama Eyang
Nur Alim, anak dari Eyang Nurman.
Kabarnya semua makamnya ada di Cianjur. Rusmana menambahkan: bahwa leluhur
Mochamad Tabri ada yang pernah menjadi
istri atau selir tentara Belanda bernama Tuan Peter. Bisa dikaitkan dengan
banyaknya keturunan Eyang Tabri yang memiliki hidung mancung dan rahangnya
lonjong (Perhatikan bentuk hidung: Putra putri Ma Inah dan anak-cucu Mochamad
Sarji, warna kulit: keturunan Aki Komar, Ma Mirah/Ma Ulis, Ma Engkar dan
keturunan lainnya.
Leluhur Mochamad Tabri mayoritas bermata pencaharian
sebagai petani dan pedagang. Olehkarenanya, tak heran jika ia pun memilih
menjadi seorang pedagang dan sampai ia pergi mencari peruntungan ke wilayah
kecamatan Cisewu (sebagaimana telah diceritakan di atas). Usahanya maju pesat,
sehingga hartanya melimpah ruah. Hektaran tanah dan sawah di Cisewu terbeli.
Beda lagi dengan adiknya yang bernama Mohamad Saleh (Eyang Oko), yang memilih
menjadi seorang petani. Sama halnya dengan Sang Kakak, ia juga sukses
dikemudian hari.
Kabar gembira itu disampaikan juga oleh Tabri kepada
mertuanya: Jaiman (Ayah) (yang dimakamkan di Kampung Datar Kadu serta Asnoh [makamnya
di kampung Pamalayan, Desa Pamalayan]). Tak ketinggalan Oko, yang menikah
dengan adik nenek buyut penulis dari garis keturunan ibu ia bernama: Idul/ Sutirah.
Eyang Oko dimakamkan di desa Pamalayan. Keluarganya merasa tertarik atas
pemaparan Mochamad Tabri tersebut, ikutlah mereka bersama-sama ke wilayah Cisewu.
Pada akhirnya mereka menetap serta beranak pinak. Dari pasangan Mochamad Tabri
dan Siti Halimah lahirlah 13 anak yaitu:
1.
Muhamad
Syar’i
2.
Sarbini
Sutisna Wijaya (Aki Lurah ) makam di Kampung Datar Kadu,
memiliki Anak: Asep Sulaeman, Cucu:
Dadang dan Irfan
3.
Warma
Ganda Atmaja (Mama Arinem) makam di Kp. Datar Kadu dan
istrinya dimakamkan di Kp. Arinem-Cigareng.
4.
Moch. Sarji (Bapa Babakan) yang menikah
dengan Warsah (Ma Babakan) dikaruniai beberapa orang anak yaitu: Wasih, Imih, Momor, Medah, Yayah, Akub Rusmana,
Erdan,Japar, Mamar, Anon, Bandi, Aas, dan Gugun (Keturunan lengkapnya
terlampir).
5.
Encur
Ghojali (Pa Kopral) dimakamkan di Kampung Datar Kadu.
Memilki anak bernama Imas menikah denga Asep Rohanda dikaruniai dua orang
putra: Arti dan Ade Isma.
6. Juarsih (Ma Jua)
menikah dengan Abah Gahir (keduanya dimakamkan di Kampung Datar Kadu), memiliki
anak: 1. Engkos, 2. Mimin, Mimin memiliki
anak: Haris Munandar dan Iwan Ruswandi (Punya dua orang anak anataralain:
bernama Putri) 3. Atas, 4. Suparman, 5. Jenar, 6. Rohyat, 7.Dedi, dan 8.Teni
7.
Jumirah
(Mirah/Ma Ulis) yang menikah dengan Niti Prawira dimakamkan
di Kampung Datar Kadu. Ia memiliki anak: 1.
O. Hasanah, 2. Basani, 3. Hj. Idah Hamidah, 4. Karmilah, 5. Hj. Susminingsih,
6. Abdul Gopar, 7. H. Achmad Suhendarsyah (Daftar keluarga lengkap terlampir).
8. Siti Karnasih (Ma Engkar)
tinggal di kecamatan Cidaun. Ia memiliki
anak: 1. Udan, 2. Elan, 3. Resna, 4.
Gana, 5. Kokom, 7. Mimi, 8. Engkus, dan 9. Komara
9.
Jumsinah
(Ma Inah) yang menikah dengan Mochamad Yasin)
10. Angrum (Ma Angrum) dahulu tinggal di Nagrak, desa Pamalayan.Ia
memeliki anak bernama Endang, Endang
memiliki Anak: 1. Erna, 2. Dasep Hikmat (Anak: Danes dan Cendi) 3. Agus Kapal,
4. Deden Farid, 5. Aris.
11. Topa
(meningal dimasa kecil)
12. Mochtar
(meninggal dimasa kecil)
13. Abdul Komar (Apa Komar),
ia memiliki anak: 1. Nunung Kartini
(alm.), 2. Evi Rohaeti, 3. Agus Dadang (alm.), 4. Moja Kartini, 5. Aida
Fitriani, 6. Asep Tatang (Alm.), 7. Tenia Kaniawati, dan 8. Deden Kurnia.
Ia tinggal di Kampung Datar Kadu, desa Cisewu, Kabupaten Garut (Anjeunna masih
jumeneng), Daftar keturunannya terlampir.
Begitulah sekilas perjalanan Mochamad Tabri dari
Jampang ke Cisewu hingga melahirkan keturunan. Dan hampir semua makam-makamnya ada
di wilayah Cisewu: Datar Kadu, Taman Makam Pahlawan Desa Cisewu, dan Makam Umum
Desa Pamalayan.
III.
Sejarah
Perjalanan Jaiman (Ayah) Dari Betawi, Batavia, Hingga Ke Cisewu
Jaiman yang dikenal dengan panggilan Ayah dan konon
katanya bergelar Tubagus (Gelar Bangsawan Banten), ia
merupakan keturunan dari suku Baduy Banten. Keluarganya bisa dilacak di kampung Kanekes dan Cibeo, bapaknya adalah Eyang Buyut Emod. Berdasarkan penuturan Akub Rusmana, anak dari
Muhamad Sarji, keturunan ke-III dari Ayah:
Dahulu keluarga Jaiman dikenal sebagai jawara
(Pendekar atau Puun, istilah di Baduy)—dengan syahadat pun keluarganya bisa
membengkokan besi. Namun ilmu yang ia andalkan hanya ilmu karahayuan
(Kemakmuran, keselamatan). Leluhur Ayah, konon katanya, terkenal dengan ilmu
kebatinan dan keyakinan Islamnya yang kuat. Pernah terjadi perang antar
kelompok di Banten, karena kesaktian mereka, musuh serah bongkokan (menyerah). Kemudian bergabung dengan Sultan Banten
ke-I (?).
Dalam perkembanganya, keluarga Ayah menyebar: ada
yang ke Cirebon dan Kadu Pandak,
dekat daerah Agra
Binta (perbatasan Cianjur dan Sukabumi). Ayah sendiri memilih
untuk mengembara bersama kakaknya yang bernama Ibu Umrah di Betawi-Jakarta
(dulu Batavia). Tapi menurut Akub Rusmana, sebelum Ayah ke Batavia ia pernah ke
Jampang, Ujung Kulon terlebih dahulu.
Dikarenakan banyaknya gerombolan, Jampang tidak aman, ia memilih untuk pergi ke Jakarta dan
tinggalah Ia bersama kakaknya yaitu Ibu Umrah. Dari penuturan Akub Rusmana,
selain ibu Umrah, Ayah pun memiliki saudara se-Nenek yang bernama Eyang Guru Luhur. Beliau mengembara
dari Banten ke Cirebon untuk menyebarkan Islam.
Jaiman masa muda terkenal sebagai orang pemberani
yang anti penjajahan Belanda. Muak dan benci terhadap segala bentuk penjajahan.
Suatu masa ia pernah ditawari jabatan tinggi oleh suami ibu Umrah, salah
seorang bupati Mester di Jakarta namun ia menolak keras dan entah ditambah
masalah besar apa? Sehingga Jaiman kabur kembali ke Banten.Di Banten ia masuk
ke sebuah pondok pesantren, beberapa waktu lamanya ia di sana. Menimba ilmu
agama secara tekun.
Setelah selesai ia tidak kembali ke Jakarta, tapi melanjutkan
perjalanan ke sebuah tempat di kabupaten Sukabumi yang bernama Parakan
Tugu, Jampang Tengah. Menikahlah ia dengan
Asnoh dan dikaruniai 1 (satu) orang anak yang bernama Siti Halimah.
Berdasarkan sebuah riwayat, Ayah ingin sekali memiliki keturunan, ia melakukan
tirakat, dengan cara berpuasa dan lain sebagainya, do’anya dikabulkan Allah: maka lahirlah seorang putri cantik yang
diberi nama Siti Halimah (meninggal di Cisewu dalam usia 155 tahun). Setelah
putrinya dewasa, dinikahkanlah ia dengan seorang putra dari Muhamad Kamri.
Jejaka yang sangat mandiri, pekerja keras dan berprofesi seorang pedagang, yang
bernama Mochamad Tabri (Meninggal di Cisewu dengan usia 105 tahun). Tatkala
mochamad Tabri pertama kali datang ke wilayah Cisewu. Menurut keterangan Abdul
Komar, ia baru saja dinikahkan dengan Siti Halimah.
Menurut salahsatu versi almarhum Japar, anaknya Mochamad
Sarji: Jaiman dikenal memiliki ilmu kedigjayaan serta senjata pusakanya adalah
Wesi Kuning2). Ilmu kebatinannya itu meresap ke adiknya yang bernama
Ayah Iding. Ada sebuah cerita, suatu
hari Ayah Iding pernah dihadang oleh perampok yang meminta paksa lolontong (nasi dibungkus daun) di Batu
Ireng, Cigentur, ia akan memberikan lolontong dengan syarat ikut masuk ke
sebuah batu cadas, ikutlah para perampok tersebut, tapi apa yang terjadi?
Dengan ajiannya Ayah Iding, perampok terpancing dan dimasukanlah mereka ke
dalam tebing cadas hingga tak bisa keluar lagi (diceritakan Akub Rusmana,
Wawancara: 20 Januari 2016) .
Di samping itu, darah pejuang yang sangat anti
kolonialisme sering kali muncul dalam jiwa Ayah tatkala mendengar istilah “Belanda”.
Seperti halnya pada suatu peristiwa,
tatkala datang para tentara Belanda ke Cisewu, menjelang kemerdekaan RI sekitar
tahun 1942. Ada seorang warga yang
memberi kabar kepada Jaiman. Ia marah
besar: ”Awas lo, kalau ngasih tahu ke Belanda gua ada disini gua bunuh lo!,”
ujarnya seraya menunjuk kepada orang tersebut (sebagaimana diceritakan oleh Abdul
Komar). Konon katanya, pasukan KNIL Belanda pernah menanyakan dan mencari nama
Jaiman, mereka mendapat intruksi dari Batavia untuk mencari namanya itu. Sebuah
dugaan, keberadaan Jaiman di kecamatan Cisewu sudah tercium pihak Belanda. Dari
kisah tersebut, membuktikan bahwa Jaiman
benar-benar orang yang sangat diperhitungkan secara politik.
Selama Jaiman (Ayah Siti Halimah)
hidup di Cisewu, ia sering kali memakai bahasa Betawi dengan kental,
ketika dalam berkomunikasinya. Hingga
suatu waktu, menurut cerita Abdul Komar, ada anggota keluarga Ayah yang datang
dari Jakarta bermaksud untuk menjemput Ayah pulang ke Betawi. Namun ia
menolaknya. Malahan dia bilang, “Aku tak mau hidup bersama orang-orang bule itu!”
katanya dengan tegas. Itulah sebuah tanda bahwa Ayah memiliki jiwa yang teguh dan
sangat Anti terhadap Belanda, dan hal itu meyakinkan penulis bahwa Ayah
memiliki identitas budaya Betawi.
IV.
Aom
Muharam ”Dalem Bintang” Bupati Bandung Keturunan Cisewu
Ibu
Umrah merupakan kakak dari Jaiman yang menikah dengan Bupati Mester (Jakarta), ia dikaruniai
putra yang bernama Dalem Haji dan Aom Muharam (berdasarkan penelusuran
Ferdi Setia PH [cucu Abdul Komar bin Mochamad Tabri] dikatakan: Dalem Haji
merupakan Dalem pertama di Bandung, ia pun masih kerabat dari keluarganya dari
garis keturunan bapaknya [Tatang Swargana]). Disampaikan Akub Rusmana, keturunan
ibu Umrah dari Bupati Mester ini menyebar ke Cirebon, daerah Plumbon, kuningan
dan Majalengka.
Menurut versi
Abdul Komar Aom Muharam pernah menjadi Bupati Bandung yang diberi gelar’’ Dalem Bintang’’ (Makam di belakang
Mesjid Agung Bandung [?]). Dalem Bintang merupakan satu penghargaan bagi
orang-orang yang berjasa pada jaman Belanda. Ia dikaruniai dua orang putra yang
bernama Aom Maleh dan Aom Ahmad, dalam perjalanan hidupnya Aom
Maleh pun pernah menjadi dalem di Bandung mengikuti jejak ayahnya. Jabatan
Dalem atau Bupati pada jaman dahulu merupakan dinasti, jabatan turun temurun,
beda dengan sekarang yang dipilih langsung oleh rakyat. Oleh karenanya,
tidaklah heran jika keturunan Bupati Mester Jakarta hampir semuanya menjadi
Dalem.
Beda halnya dengan Aom Ahmad, ia lebih memilih
menjadi seorang tentara, menjadi komandan Bataliyon 031 yang mempertahankan
wilayah Ciwidey, Kabupaten Bandung. Serta pernah bertugas ke Cirebon.---Berdasarkan
penulusuran Ferdi SPH: Aom Ahmad merupakan pendiri Jong Jambi di masa
perintisan kemerdekaan--Ia pun dikenal sebagai sosok prajurit yang disiplin,
mendidik kepada para anggotanya untuk bersikap mandiri. Seperti halnya pada
suatu peristiwa, dalam kondisi keprihatinan dan kekurangan perbekalan di wilayah
pertahanan, ada yang diam-diam menyampaikan kejadian tersebut kepada saudaranya
yaitu Aom Maleh/Aom Aleh (Bupati Bandung). Datanglah bantuan berupa makanan,
pakaian, yang dikirim atas intruksi sang Dalem. Namun setelah datang bantuan,
Aom Ahmad sangat marah: ia melarang para anggotanya untuk tidak menikmati
bantuan tersebut. Bahkan atas sikapnya yang kritis dan reaktif terhadap
penjajah. Ia pernah mendapat sangsi disiplin dengan penurunan pangkat dari Letnan Kolonel menjadi
Letnan Satu, atas sikapnya yang kritis dan reaktif terhadap penjajah.
V.
Penutup
Begitulah cerita perjalanan Mochamad Tabri dan
Jaiman (Ayah), serta keturunannya termasuk kisah Aom Muharam dan Aom Maleh yang
dikabarkan pernah menjadi Dalem (Bupati Bandung). Namun cerita ini, tentu saja
perlu ada bukti yang autentik untuk meyakinkan kita bahwa dua orang ini (Aom
Muharam dan Aom Maleh/Aom Aleh) benar-benar pernah menjadi bupati atau dalem Bandung.
Oleh karena itu, penulis membutuhkan tambahan informasi akurat dari berbagai
pihak, yang punya kepentingan dalam persoalan penelusuran garis keturunan dan
leluhur Jaiman ini. Serta penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada bapak
Abdul Komar keturunan ke II (dua) dari Eyang Jaiman, Ma Edah, Akub Rusmana, dan
narasumber lainnya yang telah menyempatkan waktunya untuk menyampaikan sejarah ini.
Dan besar harapan saya kepada seluruh keturunan Eyang Jaiman (Ayah) untuk
memberikan tambahan informasi yang berkaitan dengan garis keturunannya*** Cikangkung,
21 Januari 2016.
(Dari berbagai sumber)
*)Penulis adalah Penggiat Budaya
dan Keturunan Eyang Tabri dari Mochamad Sarji
GLOSARIUM
1) Tilem artinya meninggal dengan cara
yang tidak biasa. Menghilang, dalam
kepercayaan Sunda pindah ke dimensi alam jin.
2) Wesi
Kuning artinya
besi kuning berukuran kecil yang bisa
dijadikan ajimah/jimat.
STRUKTUR KETURUNAN MOCHAMAD TABRI DAN
SITI HALIMAH
Eyang
Nurman
Eyang Nur
Alim Eyang Buyut Emod ?
Moch. Kamri Mislum
Jaiman Asnoh
Ibu Umrah Bupati Mester
Moch. Tabri Siti Halimah 1. Dalem Haji
? 2. Aom Muharam
1. Aom Maleh
2. Aom Ahmad
1. Muhamad Syar’i
2.
Sarbini
Sutisna Wijaya (Aki Lurah )
3.
Warma
Ganda Atmaja (Mama Arinem)
4. Moch. Sarji (Bapa Babakan)
5.
Encur
Ghojali
6.
Juarsih
(Ma Jua)
7. Jumirah (Mirah/Ma Ulis)
8. Siti Karnasih (Ma Engkar)
9.
Jumsinah
(Ma Inah) menikah dengan Mochamad Yasin
10. Angrum (Ma Angrum)
11. Topa (meninggal dimasa kecil)
12. Mochtar (meninggal dimasa kecil)
13. Abdul Komar (Apa Komar)
0 Comments