Dengan
Dorlok Pun Mahpuh Membunuh Tentara Kompeni
Oleh: Gun Gun Nugraha
Mortir
terus diledakan pasukan Belanda berkali-kali hampir di sepanjang perjalanan. Dari
mulai kampung Genteng (Perbatasan Kecamatan Pangalengan dan Cisewu) sampai
Gunung Batu (Desa Mekar Sewu, kecamatan Cisewu). Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan melewati
sungai Cipicung, menapaki jalan Kihiyang (nama tempat di kampung Cikangkung)
dan Cihampelas (Kampung Cikangkung), kemudian kampung Datar Kadu (sekarang depan
GOR H. Karyat ). Tibalah di kampung Pasir Ipis. Sepanjang jalan itu merupakan
jalan desa yang dipakai warga Cisewu
pada jaman dahulu ketika menuju Cibengang (Desa Mekar Sewu sekarang).
Sesampainya di Pasir Ipis, para tentara
KNIL Belanda yang berjumlah kira-kira satu peleton tersebut: Melepaskan kembali
mortir yang diarahkan ke daerah Pasir Garu (Desa Pamalayan). Ledakannya
menggelegar, terdengar hingga ke pelosok kecamatan. Tewaslah seorang ibu yang
bernama Ibu Emi, terkena serpihan mortir. Ia merupakan warga asli Pasir Garu
yang sedang berada di sebuah tegalan. Mungkin sedang menggembala. Belanda
sengaja melepaskan mortir-mortir tersebut, untuk melemahkan mental masyarakat
dan pasukan pejuang.
Kabar tewasnya ibu Emi dengan cepat
diketahui Belanda. Mereka segera melakukan penyelidikan ke tempat kejadian.
Namun karena waktu sudah mulai malam, dan letihnya perjalanan—mereka
beristirahat terlebih dahulu di lapang Lemah Luhur Desa Cisewu. Bermalam.
Diceritakan Abdul Komar, mantan pejuang RI, para penjajah itu sempat menyembelih
beberapa ekor kuda, sebagai santapan mereka. Berpesta poralah ditempat ini.
Keesokan harinya, Para tentara KNIL
tersebut kembali melanjutkan perjalanannya menuju Cinyumput (Desa Pamalayan).
Tibalah di sebuah tanah datar, letaknya dekat rumah Ibu Iah saat ini. Diceritakan
almarhum Apin (Kakek penulis dari ibu:
Di tanah itu tumbuh beberapa pohon kelapa. Kebetulan sekali para bule
ini senang sekali dengan dawegan (buah kelapa muda). Dawegan berasal dari kata
“Down Gun”, begitulah mereka menyebut. Artinya: turunkan dengan senapan. Asal
kata ini, sesuai dengan apa yang mereka lakukan, disetiap mengambil buah
kelapa: para kompeni itu selalu menggunakan senjata. Terdengar suara tembakannya
hingga ke rumah kakek saya, yang jaraknya puluhan meter. Kata Apin, dalam
sekali mengambil sampai beberapa manggar
(mungkin bahasa Indonesianya beberapa runtuy).
Mereka hanya istirahat beberapa
malam di tempat ini, sembari mengecek informasi tentang korban akibat mortir
yang diledakan di Pasir Ipis dihari yang lalu. Selain itu, mereka pun melakukan
pengontrolan disetiap pos penjagaan (WAPOS). Memang itulah tujun mereka
mendatangi Cisewu, ingin memerika setiap WASPOS di setiap jalan yang dilalui pasukan
tentara Belanda, yang berjumlah kir-kira satu peleton tersebut.
WASPOS adalah singkatan dari Pos Pengawasan. Jika
istilah pada jaman Jepang dinamakan KENSISO, memiliki arti: Pos penjagaan atau
pos pengawasan. Mereka mengecek semua Waspos di sepanjang perjalanan. Mulai
dari Genteng hingga Cisewu. Tempat-tempat pos pengawasan tersebut diantaranya:
Genteng, Pasir Pilar (kecamatan Talegong sekarang, dulu masih masuk wilayah
kecamatan Cisewu), dan Pasir Pilar dekat Gunung Gedogan (Desa Cisewu). Penjaga WASPOS
di desa Cisewu bernama Pak Icang.
Setelah selesai kegiatan mereka, para tentara penjajah
tersebut pulang ke Bandung kembali menggunakan jalan yang dilewatnyai semula.
Menapaki jalanan terjal, melewati bukit yang masih ditumbuhi pohon-pohon besar
diwaktu itu. Sawah-sawah penduduk di Babakan Kihiyang. Saya ingat almarhum Aki
Tarma (Mertuanya Paman penulis), ia pernah menunjukan lokasi jalan yang dilalui
tentara Belanda. Sampai saat ini jalan tersebut masih digunakan warga kampung Cikangkung
menuju pesawahan.
Disamping itu, menurut versi Abdul Komar, di
kecamatan Cisewu tidak ada dan tidak pernah ada markas Belanda. Seperti halnya
telah disampaikan diatas, beliau menegskan bahwa Cisewu hanya pernah dilintasi
saja. Itu pun cuma terjadi satu kali. Pada tahun 1942, mendekati pergantiaan
pendudukan tentara Jepang. Jika bahasa Abdul Komar: dina waktu kakuasaan Belanda katompernakeun.
Reaksi warga dan para pejuang saat
kedatangan para tentara Belanda
Setibanya
para Kompeni ke Cisewu, membuat kepanikan semua warga masyarakat. Mereka
langsung mengungsi ke pinggiran kampung yang masih berupa hutan dan tegalan.
Kampung menjadi sepi ditinggalkan para penghuni. Apalagi malam menjelang. Namun
tidak bagi para pejuang Cisewu: Abdul Komar, Salim Samsudin, Warjo, Apin, Sutisna
Wijaya (Aki Lurah, ayahnya Asep Sulaeman) dan kawan-kawan. Dengan dikomandani
oleh Ecep Rukmana (Kakanya Pak Ahmad Riva’i), mereka bergerak disertai darah
patriotnya yang membara. Menyusun strategi guna menghancuran pasukan penjajah
itu.
Poto : Kedatangan tentara Belanda ke Indonesia
Sepulangnya Belanda dari Cinyumput
dan tiba di kampung Cikawung. Segeralah kelompok pejuang melancarkan serangan
dengan penuh keberanian, meski dengan senjata seadanya. Meski hanya dorlok
---senapan yang berpeluru berbahan dari pecahan besi atau perunggu, berasal
dari kata dor dan colok--- golok, bamboo runcing dan
lain-lain. Mereka tak gentar melawan pasukan musuh yang telah bersenjata modern
pada jamannya. Pertempuran hebat pun terjadilah. Korban dari kedua belah pihak
berjatuhan. Dalam peristiwa ini tiga orang tentara Belanda tewas dan dari
pasukan pejuang beberapa orang luka-luka.
Karena terdesak musuh, para pejuang
pun mundur. Namun tidak sampai disitu. Sepulangnya Belanda ke Bandung. Ecep
Rukmana dan para anggotanya melakukan perundingan. Sebagian anggotanya
mengusulkan untuk menjebol bendungan Cileunca, kecamatan Pangalengan. Agar
Bandung karam dan pasukan Belanda pun mati. Tapi komandan mereka berpendapat
lain, dengan bahasa Sunda ia berkata: “Entong
dibom tambakan Cileunca mah. Sabab, nu bakal jadi korbanna lain para tentara
Belanda wungkul. Warga Bandung oge bakal jadi korban. Tentara Belanda mah ngan
ukur puluhan, ari masyarakat mah rebuan. Mending dibumi hanguskeun bae Bandung
teh ayeuna mah,” begitulah ucapannya, seperti ditirukan Abdul Komar
(wawancara, 12 Januari 2016).
Oleh karena itu, segera mereka
mengontak para pasukan pejuang RI yang berada di Bandung. Sampailah pendapat
tersebut pada Toha (Mohamad Toha). Toha menyambutnya dengan antusias. Ia
langsung mengadakan perundingan di jalan Kembar Bandung. “Ayeuna mah kieu, gudang mesiu Belanda nu di Dayeuh Kolot urang duruk!”
cetus Toha. Teman-teman Toha bertanya: kir-kira siapa yang berani
menghancurkannya? Dan bagaimana caranya?. Toha dengan penuh keberanian ia
menjawab: “Kuring siap!” Menanggapi
jawaban Mohamad Toha tersebut, teman-temannya kurang begitu percaya. Malahan ia
memperolok-olok Toha. Bagaimana mungkin ia berani? karena waktu itu Toha telah
bertunangan dengan seorang gadis cantik asal Bandung juga.
Toha tak memperdulikan ocehan
teman-temannya. Setelah selesai perundingan, pada malam hari diam-diam ia
menyelinap masuk ke sebuah gorong-gorong, tibalah pemuda tersebut di dalam
gudang mesiu milik Belanda yang dijadikan sasarannya. Tanpa berpikir panjang:
Entah bagaimana caranya, tiba-tiba ledakan besar terjadi. Api berkobar menghancurkan
bangunan itu. Ledakan-ledakan bom terus terdengar. Api terus membara, menyambar
seluruh bangunan di sekitar gudang mesiu termsuk rumah-rumah penduduk. Semakin meluas.
Langit menyala. Bandung menjadi lautan api.
Nah, begitulah akhir tulisan ini. Semoga tulisan
sederhana ini bermanfaat untuk kita dan anak cucu dikemudian hari. Kurang
lebihnya mohon maaf. Disamping itu, mohon bantuan pada segenap pembaca ---jika ada
informasi tambahan saya tunggu, untuk memperluas kajian ini. Terimakasih saya
ucapkan kepada bapak Abdul Komar (Aki Komar) yang berada di kampung Datar Kadu,
desa Cisewu, kecamatan Cisewu yang telah menyempatkan waktunya untuk berbincang
dengan penulis. Sampai jumpa ditulisan berikutnya: “Cisewu di Masa Pendudukan Jepang”.***
Cikangkung, 5 Maret 2016
Narasumber:
Abdul Komar, perintis kemerdekaan RI ‘45
1 Comments
trimakasih,betul betul kisah yang heroik...
ReplyDelete