Jaja Sutarna: Pahlawan Yang Diterlantarkan Pemerintah

Foto: Jaja Sutarna (Gun Gun Nugraha)

Bagi sebagian orang, tak akan menyangka Jika Jaja Sutarna (81) adalah seorang tentara. Pria yang akrab dipanggil Aki jaja ini, ternyata telah ikut berjuang menumpas pemberontak DI/TII dari tahun 1951-1959 . Berbagai tempat telah ia jelajahi, untuk mengemban tugas demi tegaknya NKRI. Tapi apa yang terjadi? Setelah perjuangannya selesai, Jaja tidak pernah mendapat penghargaan apapun dari pemerintah. Terkadang ia mengeluh untuk membiayai hidupnya sehari-hari diusia ujurnya itu.
Selain itu, ia seringkali cemburu tatkala melihat para veteran yang disetiap bulan mendapatkan gajih. Meski kebanyakan dari mereka tak pernah mendengar desingan peluru dan merasakan suasana peperangan, . Sedangkn ia sendiri yang telah berjuang menumpas gerombolan DI/TII hingga kedua telinganya tak bisa mendengar, karena kepalanya terbentur batu disebuah jurang saat memburu musuh di Gunung Puntang. Hingga saat ini belum mendapatkan santunan sepeser pun.
            Pria yang pernah bergabung dengan bataliyon 301 kompi 3 yang dikomandani Mayor Rais ini, dengan suara terbata-bata menyampaikan tempat-tempat sewaktu ia bertugasnya antaralain: Sumedang 1953 (komandan Raden Karta), Jakarta, Cirebon, Bandung (Majalaya, Arjasari, dan Banjaran), serta di kecamatan Cisewu : Caringin, Cikarang, dan Selaawi (Komandannya Mayor Ade). Pernah juga ia dialih tugaskan ke Cidaun, Kabupaten Cianjur.
            Ia pun masih ingat dikala bertugas di Cisewu, dikala menumpas ratusan dukun santet diberbagai pelosok Cisewu bersama Durahman (Aki Durahman), Rastim, Rohman, dan para anggota Upas (SATPOLPP sekarang) diantaranya: Karma, Wasa, Sumar, dan Epen. Saat itu Niti Prawira masih menjabat juru tulis Kecamatan Cisewu  serta  Sarbini Sutisna Wijaya (Lurah Hormat) menjadi kepala Desa Cisewu. Selain itu, orang tua kelahiran 1 Pebruari 1935 ini, pernah bertempur dengan DI/TII di Selaawi.  
            Disamping itu, pria yang kini tinggal di rumah Sayudin di Kampung Cisewu, Desa Cisewu, Kecamatan Cisewu ini menuturkan, saat ia menangkap gerombolan di Tegal Lega, Bandung. “Waktu itu saya menumpas pemberontak, pasukan saya satu peleton. Banyak teman-teman saya yang gugur. Alhamdulillah saya selamat dan berhasil menangkap pimpinan gerombolan. Namun ketika mau dibawa ke mobil, dia menyerang kami. Saya tembak hingga tewas,” paparnya.
            Bapak yang lahir dikampung Cigentur-Cisewu itu pun menambahkan, pada tahun 1961 tatkala tugasnya menumpas DI/TII selesai, pasukannya bubar. Ia meminta ijin kepada komandannya untuk pulang ke Cisewu membawa dua istrinya yang dinikahinya di Bandung. Namun, entah apa alasannya komandannya itu tak mengijinkan. Maka Jaja pun pulang sendirian ke kampung halamannya tanpa keluarga dan meninggalkan surat-surat pentingnya selama ia bertugas. Ternyata pada akhirnya, laki-laki renta yang kini bekerja sebagai cleaning service di kantor Desa Cisewu ini menyadari bahwa dirinya telah dibohongi.
            “Saya merasa dikhianati, surat tugas dan surat-surat penting lainnya telah dirampas. Kini saya tidaak mendapatkan apa-apa, padahal saya telah berjibaku bertempur, menaruhkan nyawa demi negara ini. Tapi pemerintah seakan lalai, dan tidak pernah menghargai perjuangan saya. Tapi kenapa veteran-veteran sekarang yang jelas mereka telah berbohong itu,  malahan mendapatkan santunan?” ungkap Jaja(9/3).

            “ aki Jaja pernah diajukan, tapi hingga saat ini SK (Surat Keputusannya) tak kunjung turun, apalagi santunan. Padahal beliau sangat membutuhkan untuk biaya hidupnya sehari. Saya berharap pemerintah segera mengobulkan permohonan aki Jaja ini,” tambah Sayudin saat menemani Jaja Sutarna. (Gun Gun Nugraha)