Masa Kejayaan Layar Tancap di Kecamatan Cisewu
Oleh : Gun Gun Nugraha
“Baru
ekstra ! Baru Ekstra ! “
Begitulah suara MC melalui TOA (pengeras suara), yang membuat kami ingin segera masuk ke area pemutaran film. Apalagi
tadi siang Kang Surya (Ade CS Cartos) sudah wawaran keliling kampung. Dimalam itu, Lapang lemah
luhur desa Cisewu sudah ramai dikunjungi calon penonton. Mereka berdesakan membeli
tiket, harga tiket untuk anak-anak Rp. 250 dan Dewasa Rp. 500. Masyarakat tak
sabar ingin menonton kelucuan Dedi Petet tokoh utama “Si Kabayan Saba Kota, “
serta prilaku gokilnya Doyok dan Kadir.
Kami bertiga semakin gelisah, ketika
orang-orang sudah mulai masuk dan film mulai diputar. Kami tidak memiliki cukup
uang uintuk membeli tiket seharga itu. Kakak saya mengajak mengelilingi area
pemutaran film, yang hanya dibatasi oleh bekas karung plastik. Tanah basah
karena hujan mengguyur siang tadi, membuat kaki berlumuran lumpur. Kami
berhenti tepat dibelakang layar, kakak membuat bolongan kecil dengan puntung
rokok dipembatas, dan kami pun mengintip situasi di dalam area pemutaran.
“ Yuk, kita masuk ! Mumpung Hansip
lagi ke depan !, “ ajak Kakakku sembari menyibakkan karung bagian bawah,
sekiranya bisa merayap. “ Kalian masuk duluan ! “ ujar kakak. Saya dan adikku bergegas
masuk disusul kakak. Kami pura-pura
kencing sebentar untuk mengelabui Hansip (Mang Sanan, Alm. Wak Idi) yang terus
mengawasii keadaan sekitar seraya mengarah-ngarahkan lampu centre. Dengan hati
yang berdebar kami berjalan ke depan layar, dan akhirnya kami selamat bisa
menonton.
Begitulah salah satu kisah kami ketika menonton film
layar tancap, saat uang kami tidak cukup beli tiket. Sebetulnya bukan hanya
kami, tindakkan bolong karung itu dilakukan juga banyak orang. Tak heran jika
panitia seringkali mengalami kerugian.
**
Film layar tancap begitu populer di daerah kami pada
tahun 1988 hingga 90-an. Baik itu pemutaran film yang dikarcis ataupun gratis. Bahkan
hampir disetiap hiburan hajatan, selalu memutar film. Film layar tancap menjadi
hiburan mewah bagi masyarakat di pedesaan yang belum dimasuki Perusahaan
Listrik Negara (PLN) waktu itu. Alias masih disinari cempor (lampu minyak). Antusias warga begitu
besar karena jarang mendapat hiburan.
Lapang Lemah Luhur menjadi saksi bisu kejayaan Layar
tancap dimasa lalu. Menjadi pusat pertunjukan film bagi seluruh warga kampung
dari seluruh pelosok Desa. Berbagai perusahaan rokok, sebutlah salahsatunya
Gudang Garam (dengan jargon : Pria Punya Selera, Harum, Gurih, Nikmat).
Perusahaan rokok ini menjadikan seni tersebut sebagai media promosi produk. Dengan
menyediakan tontonan gratis bagi warga.
Film layar tancap begitu ampuh menghipnotis penonton, membangkitkan minat
terhadap produk-produk yang ditawarkan. Ada beberapa merk rokok yang masih saya
ingat, antaralain : Filasta, Kansas, Niki, Niko, Bentoel, Surya 16, Sriwedari dan Garfit.
Diantara merk tertsebut sudah jarang saya temui di warung-warung.
Selain perusahaan rokok, film layar tancap juga tak
jarang dipakai sebagai media oleh pemerintah pusat. Untuk menyebarluaskan
informasi ke masyarakat. Salahsatunya Program Keluarga Berencana, gagasan itu
bisa cepat diterima oleh warga kampung menggunakan media layar tancap. Mereka
dengan senang hati menyaksikan hiburan yang dibubuhi tawaran pemikiran atau
barang.
**
Judul-judul film dulu pernah dikenal banyak orang,
sebagian masih saya ingat. Diantaranya : Si Kabayan dan Anak Jin, Si Kabayan
Saba Kota, Si Kabayan Saba Desa, dan seri Si Kabayan lainnya, Tutur Tinular,
Mata Malaikat, Nyi Roro kidul, Nyi Blorong, Si Rawing, Ksatria Bergitar, Pedang
Naga Puspa, Pedang Naga Pasa, Saur Sepuh, Janur Kuning dan lain sebagainya.
Pemeran-pemerannya antaralain : Barry Frima, Dedi Petet, Advan Bangun, Rhoma
Irama, Doyok dan Kadir, Dono, Kasino, Indro, Desi Ratna Sari, Selly Marcelina
(Si Sexi), dan lain-lain.
Saya masih ingat, bagaimana ekspresi penonton saat
Berry Frima muncul dengan menunggang kuda dan menumpas para penjahat. Begitu
saktinya ia sehingga tak ada seorang pun yang mengalahkan. Apalagi jika Berry
Frima bermain dengan Advan Bangun, suasana semakin hidup dan bertambah seru.
Cerita cerita dan tokoh-tokoh film tersebut, sering
kami jadikan bahan bercerita di sekolah (waktu itu masih sekolah Dasar). Kami
berkumpul disela-sela istirahat atau sebelum jam pelajaran dimulai. Terkadang
saya merasa menyesal, jika salah satu judul film tidak sempat ditonton. Merasa
ketinggalan.
Tapi semua itu telah terjadi 25 (dua puluh lima) tahun
silam, kejayaan film Layar Tancap hanya menjadi sejarah yang tak pernah dialami
oleh anak-anak hari ini. Tergantikan gadget dan playstation, mereka lebih
banyak mengahabiskan waktunya dengan game dan membatasi diri dengan kehidupan
sosial, memilih menghentikan tradisi leluhurnya dimasa lalu. ***
Cisewu, 05 Juli 2017
0 Comments