SEJARAH CISEWU

Menurut Sesepuh yang merupakan keturunan Dalem Bintang (Dalem yang mendapatkan penghargaan dari pemerintah atas kemampuan dan kecakapan kepemimpinannya) yang merupakan keturunan Dalem Sawidak, serta beberapa sumber lainnya bahwa Cisewu pada awalnya hanya sebuah kampung yang bernama Ciangsara yang berarti kesengsaraan.  Pada waktu pejajahan kolonial Belanda yaitu sekitar abad ke-18 Ciangsara dikenal sangat angker yang menimbulkan kesengsaraan terutama bagi mereka yang dibuang oleh kolonial Belanda maupun para pejuang yang lari ke tempat ini guna melakukan penyusunan kekuatan untuk melawan penjajahan Belanda. Sehingga dikenalah nama Pamubusan yang berarti tempat bersembunyi para pejuang kemerdekaan (Pegunungan Puncak Ali).

Para pejuang yang berada di Ciangsara berasal dari beberapa wilayah yang berada di kekuasaan Kerajaan Padjajaran Jawa Barat seperti Tasikmalaya (Kerajaan Galuh), Nangkaruka (Bungbulang), Jampang-Surade (Sukabumi), dan Bandung. Sedangkan dari  Jawa Tengah berasal dari kekuasaan Kerajaan Solo. Dari asal-usul keturunan penduduk yang berada di Ciangsara (Cisewu saat ini) dihuni oleh masyarakat pendatang, yang mayoritas kaum pendatang tersebut berasal dari daerah Tasikmalaya.

Untuk mempertahankan keturunannya, mereka melakukan perkawinan antar saudara agar garis keturunan mereka tidak terputus. Selain itu perkawinan tersebut bertujuan untuk mempererat silaturahmi, mempertahankan warisan leluhur serta secara politisnya memperkuat persatuan dan kesatuan guna melawan penjajah dari tanah Cisewu.

Mayoritas para pejuang yang berada di Ciangsara (Cisewu) berasal dari keturunan Menak atau Ningrat, itu terlihat dari silsilah keturunan seperti keturunan Wira Atmadja, Sura Atmadja, Natapradja, Singadireja, Raksadireja, Barata, Nataprawira, Natadireja dll. Para menak, wadana dan dalem biasa melakukan musyawarah khusus para dalem di suatu tempat datar/lapang yang sekarang dikenal dengan nama “Datar Dilem” atau pendekatan dari kata datar dan dalem.

Selain musyawarah khusus di “Datar Dilem” yang hanya dihadiri oleh menak dan dalem, ada musyawarah terbuka yang diikuti oleh para Dalem, menak dan masyarakat setempat. Biasanya mereka berkumpul di suatu tempat guna membahas strategi  melawan penjajahan kolonial Belanda serta menyusun strategi pembangunan dan pemerintahan masa itu dan masa yang akan datang. Musyawarah tersebut dilaksanakan di tempat terbuka  dengan beralaskan “samak daun gebang” (tikar). Untuk mempermudah penyebutan tempat perkumpulan tersebut maka dinamakan Cisamak. Selama musyawarah berlangsung para jawara atau para pendekar bertugas menjaga keamanan  dan mengawasi kelangsungan musyawarah, hal itu dilakukan dengan bergiliran atau piket jaga. Tempat jaga tersebut dinamakan Piket (Kampung Piket sekarang) dan Panenjoan (tempat meninjau musuh) yang terletak di gunung Puncak Ali.

Kata Cisewu berasal dari sebuah rencana besar hasil musyawarah para dalem, menak, tokoh masyarakat dan pemerintahan Belanda saat itu yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat, baik Cisewu maupun daerah lainya seperti Cikarang, Cimahi, Cidamar dan  Cianjur Selatan berupa pengairan dan pembangkit listrik tenaga air.

Hal itu telah dilakukan penelitian oleh para dalem, menak, masyarakat dan pemerintahan Belanda dengan memasang patok-patok rencana pembangunan baik untuk pengairan dan pembangkit listrik maupun untuk jalan yang akan dipergunakan (istilah Jalan Suhunan). Mengenai jalan suhunan sudah mulai dirintis dan diperjuangkan oleh seorang dosen Universitas Padjajaran Bandung yang bernama DR.H. GUNAWAN UNDANG, M.Si. melalui Konsep “JAMPARING”. Namun  saat ini masyarakat masih mempercayai sebagai mitos  atau “Cacandran Kolot Bareto”.

 Dalam bentuk miniaturnya kata Cisewu itu dikaitkan dengan sebuah kolam yang dikenal dengan nama “BALONG SIRAH” . Balong sirah saat ini selain digunakan sebagai tempat penampungan air tanah guna untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat, juga dikenal sebagai tempat yang berpetuah bagi orang-orang yang mempercayainya. Konon, air balong sirah dapat digunakan untuk pengobatan alternatif ataupun keinginan lainnya seperti kenaikan pangkat jabatan, jodoh, menjadi pejabat, kekayaan, kesaktian dan lain-lain.
Menurut asal  kata , “Cisewu”  berasal dari dua kata  “Ci”  dan “Sewu” . “Ci” (bahasa Sunda) yang berarti air, sedangkan kata “Sewu” (bahasa Jawa) berarti seribu. Dengan demikian Cisewu dapat diartikan air seribu atau seribu kapiler. Yang orientasinya yaitu dapat memberikan kehidupan atau kesejahteraan bagi ribuan orang di sekitarnya.