Pengaruh Pemerintah
Daerah Terhadap vakumnya Grup Reog Liga Swara, di Desa Cisewu, Kecamatan
Cisewu, Kabupaten Garut
Oleh: Gun gun Nugraha
Pendahuluan
Liga
swara merupakan grup reog yang dulu cukup dikenal di kecamatan Cisewu, bahkan
di kabupaten Garut. Berbagai frestasi pernah di raihnya. Hingga TVRI Bandung
sering mengundang mereka untuk melakukan pementasan. Namun semua itu kini hanya
tinggal sebuah kenangan. Di era reformasi ini, pemerintah daerah sekarang tak
lagi peduli akan nasib mereka. Sebelum menelusuri jejak Liga Swara kita akan
menelah terlebih dahulu apa itu seni reog?
Secara Etimologi Kata R-E-O-G atau
R-E-Y-O-G. Cerita asal mula reog pada versi ini dihubungkan dengan kata - kata
dan pemenggalan serta penggabungan asal katanya. Penulisan kata Reog juga dapat
sebagai Reyog pada dasarnya merupakan perkembangan dari kata dan pengucapan
kata itu sendiri. Saya mengambil dua versi: Ensiklopedi nasional Indonesia dan
Ensiklopedia Sunda.
Menurut Ensiklopedi nasional
Indonesia, kata Reog berasal dari kata rog, rog sama artinya dengan reg,
reg atau reg sama artinya dengan yog. Rog bisa menjadi erog,
herog, erog - erog asem. Sedangkan Reg dapat menjadi horeg
atau reg - regan. Sementara itu kata Yog menjadi hoyog, eyog
dan selanjutnya. Pada dasarnya semua kata - kata tersebut mengandung arti
bergerak atau diguncang atau bergoncang - dinamis.
Jika seni reog dalam ensiklopedi sunda yaitu seni
pertunjukan yang dilakukan oleh empat orang yang masing-masing membawa dog-dog
yang berbeda-beda ukurannya. Yang memegang dog-dog terkecil tersebut tilingtit,
disebut dalang yang menjadi pemimpin pertunjukan. Dogdog yang lebih besar dari
tilingtit disebut panempas, yang ketiga disebut badugblag dan yang besar disebut pangrewong. Yang memegang pangrewong sering disebut bodor yang
biasanya membuat berbagai ulah yang merepotkan atau ngarewong dalang dalam
menjalankan kepimpinannya. Mereka menyanyi dan bergurau sambil memukul dogdog
badugblag dan pangrewong ditabuh dengan telapak tangan.
Seni reog usianya sudah sangat tua,
salah satu yang merujuk hal tersebut adalah adanya bukti artepak pada
relief-relief dapat dikenali berdasarkan rekontruksi atau perbandingan dengan
tari-tarian rakyat zaman sekarang relief di candi Borobudur ada empat orang
laki-laki sedang menari yang semuanya menyandang kendang, begitu pula dari
relief candi Loro Jongrang di Desa Prambanan terdapat empat penari pria
berjalan berturut-turut masing-masing menyandang kendang yang sama ukurannya.
Tari semacam ini mengingatkan kepada yang kita kenal sekarang seni reog di
Sunda (Soekmono,1973: 122). Dijawa Barat kita temui hasil perkembangan sampai
berabad-abad.
Dan dalam perkembangannya itu, para
pemaian reog biasanya memakai nama panggung yang lucu-lucu seperi Abah Tambu,
Abah Jangkung, Abah Lengser. Nama-nama tersebut pernah dipakai oleh grup reog Liga Swara. Nah, bagaimana perjalanan Liga
Swara dari mulai berdiri hingga berakhir.
Liga
Swara: Cerita masa kejayaan
Kelompok seni reog ini berdiri pada
tanggal 28 Oktober 1987 diDesa Cisewu kecamatan Cisewu Kabupaten Garut. Langsung
di beri SK (Surat Keputusan) dari PEMDA Garut, frestasi yang pernah diraihnya:
Pernah juara 1 pada pasanggiri reog, se-kabupaten Garut. Dan beberapa frestasi
lain pernah di raihnya. Mereka sering di undang oleh TVRI Bandung untuk
shooting pagelaran. Grup ini menjadi rekor sebagai pembuka atau pertama bagi
pementasan grup-grup reog berikutnya yang ada di Kabupaten Garut. Semua biaya
mulai dari transfortasi, makan, dan lain sebagainya di tanggung pengundang.
Kelompok ini dulu bisa dikatakan
sebagai Revolusioner bagi kelompok reog lain di kecamatan Cisewu. Yang mewarisi
sepenuhnya tetekon dari pendahulunya,
seperti reog Abah Ukri, Panggugah, Mang Diman (Sela Awi)dan lain-lain. Yang
berkembang sekitar tahun 50-an.
Liga swara, -- yang didukung oleh
Ahmad Darodjah (Duduh), MH Sukmana (Abah Lengser), Deden (Bah jangkung), dan
Use (Abah Tambu), Eep Saepudin, Unang Taswara, Nana dan Unang Warso.--menjadi
insvirator bagi kelompok reog seangkatannya. Beberapa faktor: karena mereka
punya latar belakang berasal dari kaum pendidik. Duduh, Use, Eep Saepudin dan
MK Sukmana sebagai Guru Dasar. Ketiganya sering mengikuti penataran di
Kabupaten. Yang di selenggarakan oleh pemerintah daerah. masa orde baru.
Pengetahuan hasil dari penataran tersebut ia praktekan di kelompoknya dan disebarluaskan
ke grup lain. Pada waktu itu, seangkatan Liga Swara di Kecamatan Cisewu ada 15
grup. Antara lain: Grup Reog Acay (Cisewu), Yadi
dan Temi Grup (Cisaninten), Grup Reog Gilang
(Cisewu), Grup Reog Ayep dan Nanang (Cisewu), Grup Reog Totom
(Cisewu), Mang Aup dan Dodo
(Cisaninten), Kelompok Kurnaen (Pasir ipis), Kelompok Pa Wawan (Kiara Goong),
Grup Reog Ramdan (Cibengang), Dedi (Pamalayan), Pa Ahmad (Cikarang), dan Pa
Ejon (Caringin).
Duduh, pengasuh sekaligus leader Liga Swara, dan teman-temannya seringkali
berkeliling ke tiap kelompok reog yang jaraknya hingga puluhan kilo meter dari tempat tinggalnya. Untuk menginformasikan
hasil penataran. Terkadang kalau kemalaman ikut menginap di rumah sahabat-sahabatnya
di Desa Caringin dan Cikarang.
Jarak dari Wilyah Duduh ke daerah
tersebut memakan waktu 6 jam, jika jalan kaki. Melewati hutan dan jalan yang
terjal, naik turun, berbelok-belok. Bila malam sepi dan gelap. Sebab listrik belum ada saat itu. PLN
baru masuk sekitar tahun 2000. Duduh dan teman-temannya, tidak jarang pulang
larut malam setelah selesai mentrasfer pengetahuannya. Dalam perjalanan hanya
dibantu oncor, sebagai penerang
jalan.
Unsur-unsur yang diterapkan duduh
dalam Liga Swara, sekaligus pengubah bagi sistem pagelaran kelompok yang lain,
di antaranya: segi kostum, tekhnik takol, dan bentuk bodoran.
Pertama, kostum atau busana yang dipakai Ligaswara, memakai bendo atau iket barangbang semplak, kacamata putih,
(khusus bagi dalang, sebutan pemegang
tilingtit, dog-dog paling kecil),
kampret, dodot (ikat pinggang terbuat
dari sarung) dan komprang.
Kedua, tekhnik takol atau
menabuh terdiri dari: a) takol gebrakan atau bubuka, b) kempring, digunakan
mengiringi lagu kidung atau kembang gadung, c) Cikeruhan, mengiringi lagu
bebas, dan d), tepak penutup. Ini semua, merujuk penataran ketika di Kabupaten.
Sedangkan alat musiknya terdiri dari kendang, goong, dan dog-dog. Alat-alat
musik yang di gunakansedikit berbeda dengan Grup Reog atau Ogel Abah Ukri dulu,
yang dilengkapi tarompet, kecrek dan angklung. Konon katanya, bentuk reog
seperti itulah yang asli. Dari segi busana atau kostum, Jika kelompok Bah Ukri,
yang sekarang telah bubar dan semuanya meninggal di makan usia itu, memakai pakaian dengan model dan warna
berbeda satu sama lain. Ciri khasnya, wajah mereka selalu di coreng-coreng.
Setiap pertunjukan reognya selalu disela dengan seni debus. Setiap tahapan,
yang akan di lakukan -- dari mulai bubuka sampai penutup-- terlebih dahulu
diumumkan oleh dalang. Misalnya: Seorang dalang mengumumkan kepada penonton: “Para Panongton ayeuna urang ngalagu kidung
heula ! Atau Ayeuna urang nincak kana
bobodoran”. Begitupun selanjutnya
Ketiga, bentuk bodoran yang dilakukan Liga swara, bersifat pleksibel.
Mampu beradavtasi dengan masyarakat dimana ia menghibur. Gaya lawakannya tidak
mengandalkan fisik lagi. Seperti gaya khas lawakan teater rakyat kebanyakan.
Atau istilah sekarang heureuy kuli.
Seringkali diselingi aksi propaganda, penerus lidah pemerintah. Misalnya:
pensosialisasian KB, masalah pembangunan, dan kebijakan pemerintah lainya. Yang
sebagian di selipkan pada lagu.
Pemerintah
Orde baru
Penyajian pagelaran Liga Swara tidak
bisa dilepaskan dari peranan pemerintah daerah masa orde baru masa itu.
Permerintah dari mulai tingkatan pusat sampai tingakat bawah, kabupaten,
kecamatan , sampai desa. Melalui BKKNI (Badan Koordinator Kesenian nasional
Indonesia) sangat ketat mengawasi perkembangan seni-seni rakyat. Bentuk sentaralisasi
benar-benar dilakukan.
Jika di wilayah Kecamatan. Muspika
(Musawarah Pimpinan Kecamatan) yang terdiri dari Camat, Kapolsek dan Danramil
Aktif memantau seluruh alur kesenian, dari mulai pendirian kelompok sampai
setiap pagelaran. Jika ada bodoran atau kritikan yang terlalu keras langsung di
panggil oleh kepolisian atau tentara. Hal itu pernah teralami oleh ligaswra.
Misalnya: ia pernah melontarkan istilah Buta. “Lamun baheula mah buta teh kabeukina daging jalma lamun ayeuna mah
kabeukina kesang jalma.” Selesai pagelaran duduh dan kawan-kawan langsung
di panggil oleh Danramil. Diintograsi.Tapi masih bisa diselesaikan secara
diplomasi.
Lebih jauh dari itu, Setiap sekenario
bodoran yang sudah di persiapkan Duduh dan kawan-kawan. Sebelum pementasan
diperiksa terlebih dahulu oleh afarat. Bila ada kata-kata yang ‘menjentik’
pemerintah langsung dicoret. Diganti dengan pembahasan lain.
BKKNI Kecamatan pun, yang saat itu di
ketuai Ahmad Riva’i, sangat aktif bergerak mengkoordinir seluruh kesenian
tradisi yang berada di setiap desa. Sehingga bila diperlukan kesenian-kesenian
yang berada di desa-desa tersebut bisa diundang untuk kebutuhan kecamatan. Atau
dibawa ke tingkat kabupaten.
Perkembangan Liga Swara dan kesenian
yang lainnya tidak bisa dilepaskan juga dari peran serta Kepala Desa, Ici
Cahyadi pada masa itu. Ici selalu memonitor seluruh grup reog dan kesenian yang
berada di desanya. Terjun langsung ke lapangan, melakukan pidato dalam setiap
pagelaran kesenian. Didampingi Idi, ketua Pertahanan Sipil (Hansip, Linmas
sekarang). Yang sudah puluhan tahun mengabdikan diri di Desa. Bila Ici tidak
Hadir, ia mewakili memberi sambutan.
Dan sosok Ici Cahyadi pun berperan
besar terhadap berbagai frestasi yang diraih Liga Swara. Dengan latar belakang
karena ia memiliki kecintaan yang sama terhadap seni tradisi.
Kemunduran Liga Swara terjadi mulai
tahun 1996. Ketika masa pemerintahan Kepala Desa Duduh Hermawan. Serta pakum
pasca orde reformasi 1998 sampai sekarang.
Orde
Reformasi
Saat ini bentuk desentralisasi
mengubah bahkan menghancurkan sistem kesenian di daerah. Karena kekuasan untuk
mengembangkan segala hal, baik itu kesenian dan yang lainnya sebagian besar
untuk pengelolaan dilimpahkan pada pemerintah daerah. Atau dikenal dengan
otonomi daerah. Bila pemerintahnya, mulai dari Kabupaten hingga Desa tidak
berferan aktif maka kemandegan akan terjadi.
Sebagaimana teralami oleh Liga Swara dan kesenian tradisi lainnya. Yang
sudah berakhir. Karena pola sekarang
pemerintah bawah harus aktif memantau, membantu perkembangnya, serta
melaporakan ke pusat. Sedangkan pemerintah desa dan kecamatann sekarang apatis
terhadap kondisi kesenian. Jangankan memberi bantuan oprasional,
pengkoordinasian juga tidak. Tak Aneh jika seni tradisi kari urutna.
Berkali-kali Duduh mengeluh dan
mengingatkan kepada Pemerintah
Desa, supaya peduli terhadap
kesenian. Tapi belum
juga ada respon. Anggaran untuk
kesenian tidak jelas jumlahnya.
Meski sekarang Duduh ditunjuk menjadi pengurus LPMD bidang
kesenian. Namun Kades kurang koordinasi. Duduh kini bingung apa yang akan ia
lakukan, berakhirlah masa kejayaaan Liga Swara dan kesenian tradisi lainnya.
Yang tinggal hanya empat buah reog tanpa kulit dan kendang tanpa rarawat di tempat tinggalnya.*** Cisewu 2007
0 Comments