Oleh : Gun Gun Nugraha



                                                                          Poto: Latif Rohyana

JENDRAL ELANG, begitulah ia dipanggil oleh beberapa kawannya. Nama lain dari Latif Rohyana. Siapa sangka sosok yang dikenal pemuda kharismatik ini, memiliki perjalanan hidup yang mungkin membuat banyak orang terharu. Lika liku kehidupannya sejak usia dua  tahun hingga sekarang begitu dramatis. Namun, dengan segala kekurangan yang ia miliki, maaf, kaki sebelah kiri kurang begitu normal, tapi ia mampu mengaktualisasikan dirinya melalui berbagai organisasi yang ia pimpin. Inilah kisah hidupnya.
            Latif Rohyana, lahir di Cisewu-Garut, 20 Januari 1976, pada awalnya lahir dalam kedaan fisik yang normal. Namun, tatkala dimasa kecil ada peristiwa yang membuat dirinya harus ikhlas berjalan dengan sebilah tongkat seumur hidup. Sebab, Ia pernah dibawah jatuh oleh kakak kandungnya disebuah pemandian, kakinya tertindih oleh tubuh sang kakak. Dan tak berselang waktu lama dari kejadian itu, Kuraesin, ibu kandung nya pun meninggal.
            Setelah usia lima tahun, keluarganya baru menaruh curiga, Atif  (nama kecil Latif) belum pula berjalan. Tak seperti teman temannya. Bapaknya, Abas, berusaha sekuat tenaga mengobati Latif dari mulai pengobatan alternatif hingga medis.Namun, menurut seorang dokter di Bandung, Latif tidak bisa disembuhkan, karena ada bagian tulang pinggul yang copot. Dokter menyarankan Atif agar divent atau di amputasi. Tapi ia menolaknya.
            Oleh karenaitu, Uloh atau Saefuloh (Kakaknya) berfikir, karena Latif dimasa itu sudah waktunya sekolah, menginjak usia enam tahun saat itu. Maka Uloh mengusulkan agar latif memakai dua tongkat penyangga, sebelah kiri dan kanan. Masuk lah ia ke taman kanak kanak (TK)  Pertiwi Cisewu. Sejak di TK bakat ia sudah mulai terlihat. Seringkali Atif tampil membaca puisi.
            Selesai TK ia masuk SDN Cisewu 1, saat SD itulah ia pernah mendapat cemoohan dari seorang temannya, Eka namanya, gara gara Atif tak memberikan jawaban tugas pekerjaan rumah ke temannya itu. Hingga terjadi perkelahian, tapi beruntung teman teman Atif yang lain membantu melawan Eka, anak guru SD yang sedang bertugas ke Cisewu.
            Kelas 3 SD ia pindah ke kampung Cibeureum, kecamatan Pengalengan, Bandung. Begitu pun dengan Abas, bapak Latif, yang pernah bekerja sebagai Upas atau sekarang SATPOL PP dan katanya, pernah jadi kepala Desa itu pun ikut juga, setelah Abas menginjak masa pensiun. Namun, setelah lima tahun tinggal disana, Abas kembali lagi ke Cisewu. Tetapi Latif tetap bertahan di daerah perkebunan itu, karena harus menyelesaikan sekolahnya hingga SMP. Dengan segala tantangan dunia yang harus ia jalani. Karena keluarganya hanya menggantungkan hidup nya pada uang pensiunan bapaknya yang jauh dari cukup, membuat ekonomi kelurganya terpuruk.
Dari kondisi itulah, terpaksa Latif harus sekuat tenaga mempertahankan hidupnya sendiri dengan berbagai cara. Sebelum masuk sekolah, karena ia kelas siang waktu itu, Latif pernah menjadi penjual gorengan ke kampung kampung, buatan Yayah, ibu tirinya yang dinikahi Abas saat Latif diusia empat tahun. Tapi meskipun statusnya ibu tiri, Latif merasakan dirinya diperlakukan Yayah seperti kepada anak kandungnya sendiri. Hingga sepanjang jualan, ia pernah mengalami terjatuh dari sebuah jembatan kayu, karena licinnya jalan diguyur hujan, badannya menimpa sungai dan barang dagangannya pun terbawa arus. Beruntung ia selamat.
                                                               **
            Menjelang kelas 3 SMP, Yayah (ibu tirinya) pulang ke Cisewu. Karena tanggung menyelesaikan sekolah, ia pun tinggal bersama Dadang, kakaknya yang bisa dikatakan hidupnya berkecukupan. Dadang memiliki kebun sayuran yang luas. Disanalah Latif setiap hari membantu kakaknya menyiram sayuran, dan seringkali diberi uang saku sebagai upah. Uang Rp.3000 sampai Rp. 4000 lumayan buat Latif bisa membantu biaya sekolah dan uang jajannya.
            Tantangan hidup yang lain, ia sekolah ke SMP dengan berjalan kaki berkilo-kilo meter. Dari  Cibeureum ke Pasir Sinyoh. Melewati ribuan hektar tanah perkebunan teh, terkadang ia melewati jalan raya. Sedangkan teman temnnya banyak yang naik motor. Namun, bagi Latif keadaan seperti itu tak membuatnya surut untuk terus melanjutkan sekolah, hingga lulus. Dengan menuai banyak frestasi. Juara kelas seringkali ia raih.


  Poto: Latif Rohyana dalam sebuah kegiatan
  
            Lulus dari SMP, Latif bercita cita ingin masuk STM sekarang SMK,  jurusan elektronik. Karena ia berfikir, pendidikan keterampilan itu sesuai dengan kondisi tubuhnya. Namun, sayang, bapaknya tak mengijinkan dengan alasan tidak mampu. Latif disuruh pulang ke Cisewu, dan akhirnya ia di sekolahkan ke SMAN 1 Cisewu, sekarang SMAN 12 Garut.
            Mulai sekolah di SMA itulah, jiwa organisasi Latif mulai muncul. Ia aktif diberbagai organisasi di sekolahnya. Antara lain: PRAMUKA dan OSIS. Malah dalam Pramuka itulah Latif dijuluki ‘JendralElang”. Begitupun dengan di masyarakatnya, ia mulai masuk ke organisasi pemuda Karang Taruna, yang pada waktu itu sedang maju. Bersama teman temannya: Jajang Bejo, Agus Kapal, Asep Sakti, Iwan Jhoni, Aa Zenal. Latif Rohyana digodog, dibimbing oleh Asep Iman dalam bidang keorganisasian.
            Lulus dari SMA, ia sempat daftar ke ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia) dulu STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Bandung, sekarang ISBI. Diantar oleh Dadang Herlan, Latif mengikuti test. Tapi menjelang akan pengumuman. Kembali cita-citanya harus kandas, karena orangtuanya memanggil Latif untuk pulang, dan mengatakan bahwa bapaknya tak akan mampu membiayai kuliahnya nanti.
            Meskipun tak sempat memasuki kuliah di ASTI/STSI. Ada pengalaman berharga bagi dirinya, selama enambulan di Bandung tersebut. Dadang Herlan sempat memperkenalkan dirinya dengan dunia seni teater dan sastra. Serta pernah mengikuti lomba baca puisi tingkat Jawa Barat di GK.Rumentang Siang. Dan lolos enam belas besar.
            Dimasa pencarian hidunya itu, Latif pernah juga diajak oleh seorang teman bekerja sebagai sales di satu perusahaan makanan di Banten. Hanya bertahan empat bulan ia mampu tinggal di sana, di sebuah kampung yang bernama Sajira. Di samping bekerja, ia juga sempat belajar silat di seorang Jaro (Jawara). Kemudian ia pulang lagi ke kampung halamannya.
            Setibanya di Cisewu, karena tak ada pekerjaan lain di kampungnya, ia kembali masuk ke Karang Taruna. Membesarkan organisasi yang pernah ia tinggalkan berbulan bulan. Organisasi yang telah menyimpan kegetiran selama hidunya. Betapa tidak? Di Karang Taruna tersebut ia pernah dipanggil anggota Koramil, diintrogasi, dan ditahan bersama sebelas orang temannya. Akibat teman Latif yaitu Agus Kapal memakai baju PPP (Partai Persatuan Pembangunan), yang dianggap oleh pihak afarat bersekongkol dengan dirinya. Maklum di jaman orde baru, peristiwa itu kira tahun 1997-an.

            Selain hal tersebut, masih di KarangTaruna, Latif dan kawan kawannya juga pernah diproses hukum. Disaat terjadi konflik antara pemuda Kecamatan Cisewu dan Caringin. Berujung pada pengrusakan kendaraan milik pemuda Caringin. Ia dan puluhan pemuda Cisewu lainnya dipanggil, dan Latif menyampaikan pendapat agar pelaku dari Caringin segera di tangkap juga. Bila tidak berhasil jaminannya kantor Polisi akan dirusak. Atas dasar pernyataan itulah, ia dituduh oleh Polisi sebagai provokator dan segera ia bersama beberapa temannya di limpahkan ke Polres, untuk ditangani. Dalam proses mencari keterangan itulah, Latif menilai bahwa Polisi telah melakukan tindakan sewenang wenang. Melakukan penyiksaan terhadap dirinya agar mengakui perbuatannya. Ia dituduh sebagai penghinaan terhadap afarat negara dan pengrusakan barang milik orang lain. Akhirnya ia dan kawan kawannya di bawa ke Pengadilan dan di vonis 3 bulan dipotong masa tahanan.  (Bersambung, tunggu bagian ke-II….).