Selayang Pandang
Suatu
malam saya ditelpon kawan lama. Dia meminta saya untuk menulis alakadarnya
tentang Cisewu. Walaupun sekilas dan sepihak, namun kawan itu tetap meminta
kejujuran saya tentang konsisi Cisewu. Dan inuilah cerita itu....cerita tentang
Cisewu. Tentang kekuasaan sebuah rezim.
Jika
tiba di terminal Pangalengan Kabupaten Bandung, menaiki Mikrolet jurusan
Pangalengan –Cisewu. Dengan membayar ongkos dua puluh lima ribu rupiah, saya
bisa pandangi aliran sungai Cilaki, sumbernya dari Situ Cileunca Pangalengan,
mengaliri perbatasan Garut- Cianjur, berakhir dimuara antara pantai Ranca Buaya
dan Jayanti. Hanya itu penghibur lara, atas jurang, lubang –lubang jalan serta
pemukiman yang berada dilembah-lembah, deretan warung ditebing curam dan
rapuhnya perbukitan. Itulah gambaran alam Cisewu dalam benakku !
Cisewu
adalah salah satu Kecamatan terluas di Kabupaten Garut, yakni mencapai 9.483
Ha, dihuni oleh penduduk berjumlah 32.397 jiwa. Menurut data profil Kecamatan
tahun 2007, kepadatannya mencapai 187,45 jiwa per KM 2 atau setara dengan 4.628
jiwa per Desa.Cisewu salah
satu kecamatan induk, Kecamatan yang pernah menaungi Caringin dan Talegong
sebelum keduanya memekarkan diri. Di sebelah Barat, berbatasan langsung dengan
Kab Cianjur, dimana sungai Cilaki menjadi tanda batas. Arah utara di batasi
oleh kecamatan Talegong dan Kecamatan Pangalengan-Bandung. Untuk selatan,
Kecamatan Caringin menjadi batas.Antara Cisewu-Caringin dan Talegong, ketiganya
memiliki sejarah, kultur dan geografi yang hampir sama, kecuali Pantai Ranca
Buaya yang kini menjadi ikon tersendiri bagi Kecamatan Caringin.
Embah Jangkung dan Eyang Papak Leluhur Cisewu
Melalui
perbincangan saya dengan Aki Salim ( Pendidik dan Ulama ) di tahun 2007, pada
awalnya Cisewu hanyalah sebuah kampung bernama Ciangsara. Sekitar abad 18
Ciangsara dikenal sangat angker, menimbulkan kesengsaraan (sangsara), terutama
bagi para mereka yang dibuang oleh Kolonial Belanda, ataupun para tahanan yang
lari dari Kandang Wesi.
Masih menurut Aki Salim, sebelum ditemukannya mata air seribu sebagai cikal bakal nama Cisewu dan penduduk setempat menyebutnya balong sirah. Awalnya pusat pemerintahan berada di Nyalindung, namun menjelang kemerdekaan, dengan berbagai pertimbangan pusat pemerintahan pun di pindahkan Ke Cisewu, dan hingga hari ini tempat itu menjadi komplek pemerintahan kecamatan.
Masih menurut Aki Salim, sebelum ditemukannya mata air seribu sebagai cikal bakal nama Cisewu dan penduduk setempat menyebutnya balong sirah. Awalnya pusat pemerintahan berada di Nyalindung, namun menjelang kemerdekaan, dengan berbagai pertimbangan pusat pemerintahan pun di pindahkan Ke Cisewu, dan hingga hari ini tempat itu menjadi komplek pemerintahan kecamatan.
Disebutkan
sumber lain, sifatnya legenda turun temurun ( tentu sepihak perlu diluruskan/
karena saya peroleh keterangan ini dari salah satu keturunannya), Penghuni
pertama daerah ini adalah dua bersaudara, yakni Embah Jangkung ( kakak ) dan
Eyang Papak ( adik ). Keduanya dibuang dari Tasik oleh Belanda akibat menentang
sistem tanam paksa. Keduanya tinggal di Kampung yang bernama Sirnagalih, bahkan
makam Mbah Jangkung yang terletak di kampung Cihanyir hingga saat ini masih
didatangi peziarah.
Kakak beradik itu mengalami konflik dan terlibat perkelahian sengit. Diceritakan oleh sumber, perkelahian itu dipicu oleh persengketaan batas wilayah. Dan akibat dari perkelahian sengit itu, kelak menjadi cikal bakal nama –nama tempat seperti Cinyumput ( persembunyian), Cihanyir ( bau anyir darah ), Cisamak ( alas tikar tempat berunding ), dan sebagainya.
Kakak beradik itu mengalami konflik dan terlibat perkelahian sengit. Diceritakan oleh sumber, perkelahian itu dipicu oleh persengketaan batas wilayah. Dan akibat dari perkelahian sengit itu, kelak menjadi cikal bakal nama –nama tempat seperti Cinyumput ( persembunyian), Cihanyir ( bau anyir darah ), Cisamak ( alas tikar tempat berunding ), dan sebagainya.
Perkelahian
berlangsung lama dan tidak ada yang kalah. Kemudian keduanya memutuskan
berunding di dareah netral dengan amparan samak atau tikar ( sekarang disebut
Cisamak ). Hasil perundingan itu merugikan pihak Mbah Jangkung, karena Eyang
Papak menguasai tanah yang lebih luas dan strategis di banding Mbah Jangkung
sebagai perintis. Akibatnya, keturunan Eyang Papak kelak lebih leluasa
mengelola wilayah startegis dan memilki akses terhadap kekuasaan dibanding
Keturunan Mbah Jangkung yang memilih merintis lahan di gunung-gunung.
Melawan Mainstream
Terlepas dari cerita tersebut, saya memiliki
pendapat sendiri tentang Cisewu secara umum. Sebelum
tahun 70 an Cisewu nyaris tidak dikenali, dan menjadi tempat yang tidak
diinginkan. Jangankan pemerintah, Kolonial Belanda pun tidak pernah membangun
perkebunan teh skala besar di wilayah ini. Mungkin, karena tempat ini didominasi
oleh perbukitan nan curam. Belanda hanya membangun akses transportasi sampai ke
Genteng-untuk arah Bandung, karena Genteng menjadi batas akhir perkebunan Teh.
Sedangkan ke arah Garut, akses transportasi hanya terbatas di Bungbulang. Jadi
ketika itu, bagi orang Cisewu yang mau ke Bandung atau ke Garut, harus menempuh
perjalanan dengan jalan kaki sejauh puluhan km demi menumpang mobil yang berada
di Bungbulang atau Cukul. Jalan raya mulai dirintis awal tahun 70 an dan mulai
diaspal di tahun 1992.
Belum lama
ini, saya membaca Novel Bumi Manusia karya Pram. Dalam novel itu tertulis,
bangsa kita, terutama kaum priyayi sebagai permata dari sebuah negeri feodal,
mereka berani membentak, menendang, menyiksa kepada saudara mereka yang
kastanya rendah, kasta kuli kaum pribumi. Sebaliknya, priyayi itu, yang sering
digambarkan sebagai ksatria, tunduk patuh kepada Bangsa Belanda, diam tanpa
suara ! bahkan lidahnya rela dijadikan pembersih pantat penjajah demi tanah,
kekayaan dan kekuasaan.
Dalam pandangan subjektif saya, Cisewu tak pernah berubah, kecuali bukitnya yang mulai gundul, sawah mengering dan ladang-ladang mulai tertinggal.
Dalam pandangan subjektif saya, Cisewu tak pernah berubah, kecuali bukitnya yang mulai gundul, sawah mengering dan ladang-ladang mulai tertinggal.
Saya
menduga, Cisewu masih dikendalikan oleh sebuah rezim, sehingga, orang yang
dianggap bukan dari bagian rezim itu tidak akan mendapat fasilitas atau akses
yang lebih baik. Rezim itu menyekolahkan, membiayai, memfaslitiasi sanak
familinya, yang kelak akan mengisi sistem perekonomian, pemerintahan, dan
panggung politik di Cisewu. Anak biasa, anak seorang kuli atau petani, tidak
akan pernah mendapat tempat yang semestinya, meski sampai mati mereka
menorehkan prestasi. Walaupun cerdas, anak kuli akan tetap diposisikan sebagai
kuli.
Dari
sisi bisnis, saya mengagumi langkah Pak Tom, Wawan Glotec, Uloh Sukajaya, Pak
Memed, Pak Adeng, Hikmat, Alm Pak Baskara, Pak Kohar, Bengkel Yana, Asung dan sebagainya.
Mereka menjalankan roda bisnis diluar birokrasi. Sedangkan sebagai pebisnis
lain, mengembangkan bisnisnya dengan cara memanfaatkan jalur birokrasi,
contohnya mendapat modal karena ayahnya pernah menjabat A, atau bisninya
berkembang karena dia memiliki kedudukan sebagai B. Ada juga yang mendapat
pekerjaan terhormat karena keluarganya menjabat sebagai A dan sebagainya.
Dari
sisi konsistensi politik, walaupun saya sangat tidak suka dengan Partai Politik,
namun saya mengagumi langkah-langkah mereka dalam berpolitik. Saya ingat waktu
kecil kepada orang bernama Edi, Dedi Gedoy dan Aki Elin Sirna Galih, mereka
sejak jaman orde baru aktif di Partai Persatuan Pembangunan ( PPP ), tentunya,
saat itu mengandung resiko fisik maupun mental. Ketika yang lain ramai-ramai
menjilat Beringin karena demi keamanan dan jabatan, Edi dan kawan kawan tetap
teguh dalam ideologi yang diyakininya. Saya ingat, ditahun 1995, Edi yang saat
itu masih muda, meski dibawah tekanan, dengan gagah dan tenang, ia mengenakan
peci berlambang bintang berani menjadi saksi dari PPP dalam pengitungan suara
di lapangan Rayak Rama.
Contoh
lain adalah Asep Sujardi, dengan segenap keberanian dan mental yang
dimilikinya, ia kibarkan bendera PDI berukuran besar dihalaman rumahnya di
Cisaninten. Kita tahu, dijaman orde baru, orang yang diluar Golkar dianggap
komunis atau D.I. Apapun yang terjadi dikemudian hari atas diri mereka, namun
saat itu bagi saya, mereka adalah orang yang berani melawan mainstream ( cara
pandang umum ) yg sengaja diciptakan Orde Baru via partai Golkar. Edi, Asep
Sujardi, Dedi Gedoy, Aki Elin dan kawan kawan, adalah orang yang berani mendobrak cara pandang
primitif dalam berpolitik.
Begitu
kira-kira pendapat saya tentang Cisewu, tentu ada yang salah. Namun itu yang
saya tahu. Banyak potensi muncul dari anak-anak petani, anak-anak kuli. Namun
kecemerlangan itu terputus, akibat rezim yang mendominasi. Kalaupun anak-anak
petani dan kuli itu berhasil keluar menembus batas, semata-mata karena mereka
ditolong oleh kedermawanan orang luar.
Dan
jarang sekali, anak muda yang berani menentang mainsteram. Diantaranya masih
mudah ditaklukan oleh Rezim itu sendiri. Sementara waktu, anak-anak kuli diluar
rezim, tak mungkin dapat menikmati akses atau faslitas di tanah kelahiran
sendiri. Sementara waktu, anak-anak kuli dan petani harus beranjak keluar,
carilah ilmu dan modal, kemudian kita kembali untuk berhadapan dengan rezim tua
itu! Berlawanlah ! anak muda ! bahagialah bagi mereka yang berani melawan
mainstream....! ( Tulisan ini entah karya siapa, saya temukan di laptop ) **
0 Comments