Seniman
Bagaikan “Sampah”
(KORBAN TIPUAN
ELIT)
Oleh
: Gun Gun Nugraha
SEJAK
berdirinya negara ini sampai sekarang, nasib kesenian tradisional hanya
dijadikan alat politik bagi kaum elit. Setelah mereka mendapat dukungan penuh,
dan berhasil menduduki puncak kekuasaan para seniman ditinggalkan, dibuang
l,ayaknya sampah. Dan mereka akan kembali dipungut ketika dibutuhkan.
Oleh karena itu, terkadang saya merasa
benci terhadap seniman lain (bahkan saya benci terhadap diri saya sendiri),
ditiap PILKADA dan PILPRES dengan gencarnya mengkampanyeukan calon-calon
pemimpinnya. Ya, saya berfikir positif saja: mungkin mereka simpati dan ikhlas
mengkampanyakeun para jagoannya? Atau mungkin mereka tengah terhipnotis,
sehingga tak sadar sebenarnya mereka tengah tertipu? Serta ungkin mereka
terlena oleh besarnya bayaran kampanye, meski tahu pada akhirnya akan
disingkirkan?. Nu jelas mah butuh duit we
meureun.
Coba kita putar kembali video
dokumentasi DEBAT PILPRES 2014, saksikan janji-janji manis mereka, “Akan
memperhatikan industri kreatif: Seni pertunjukan dan non pertunjukan”. Tapi sampai
sekarang belum ada buktinya. Tidak hanya di PILPRES, dari mulai pemilihan
Kepala Desa, Bupati, dan Gubernur pun sama. Ketika ada maunya mereka datang sampun-sampun ke para seniman minta do’a
dan dukungan. Dengan wajah merayu, memelas, merengek-rengek, sembari
membagi-bagikan uang recehan. Merendahkan derajat sebagai seniman tradisi.
Setelah mereka berhasil, berlaga seolah-olah mereka (para pemimpin) itu sukses
dengan sendirinya alias tanpa dipilih oleh rakyat.
Selain itu, terkadang saya muak ketika
ada Bupati, Gubernur, atau Presiden datang ke kampung-kampung atau ke daerah,
dengan pengawalan berlapis, diiringi kendaraan dinas menghabiskan jalan. Rakyat
pating arelol dari jendela rumah atau
berjejer dipinggir jalan, melambaikan tangan sesekali bertepuk tangan kepada
Sang Penguasa yang sedang melintas. Dan kita merasa bangga, ketika sekedar berhasil
menyalami dia. Bahkan hanya melihat saja, bahagianya minta ampun! Subhanallah.
Padahal jika kita sadar, kita adalah korban tipuan mereka. Seniman dicampakan
begitu saja.
Pada periode yang lalu, harapan kita
mulai bangkit ketika dari pihak seniman ada yang berhasil menduduki kursi
kekuasaan, meski hanya sekedar wakil, baik di tingkat pemerintahan kabupaten
atau pun provinsi. Diki Candra dan Dede Yusuf menjadi harapan besar bagi kemajuan
seni di kabupaten Garut dan Provinsi Jawa Barat. Tapi toh, tak ada perubahan
yang signifikan bagi kesenian. Ya, bisa jadi ada beberapa faktor : Mungkin bertabrakan konsep dengan orang no 1 (satu)
atau….Ah, ngeunah we geus jadi pamingpin
mah diuk ngabaheuhay, tumpang kaki dina korsi (suudzon saya).
**
Mungkin kita masih ingat beberapa tahun
yang lalu, ketika banyak seni-seni tradisi yang diklaim oleh negara lain, sebut
sajalah Malaysia. Pemerintah berang, rakyat ngamuk. Tapi disayangkan hanya hangat-hangat tai Ayam. Setelah itu,
sepi seperti semula (Pengalihan isu bisa jadi).
Bagi saya tidak habis fikir, apakah
mereka tidak tahu tentang nasib duka kesenian, pura-pura tidak tahu atau tidak
mau tahu. Seni-seni tradisi sekarat, mati, grup seni banyak yang bubar. Karena
mereka frustasi, seni tak lagi menjadi tumpuan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, dan masyarakat penopang sudah beralih menggemari dangdut. Dengan
musik hingar bingar, goyangan artis-artis sexi, dan warna perkelahian para
penjoget di atas panggung.
Wajar saja, bila para seniman tradisi
sekarang ini bersikap apriori terhadap berbagai model kampanye, termasuk
janji-janji manis para calon pemimpin. Dan harus ingat, hai Penguasa! Rakyat
anda sekarang ini sudah berfikir pragmatis. Satu suara telah dinilai dengan
uang dan mahal harganya. Itu salah anda sendiri, dan semakin anda meninggalkan
rakyat, maka rakyat pun, khususnya seniman, akan lebih meninggalkan anda.
Disinilah terjadi kerusakan tata nilai bangsa. Zaman semakin edan! Rakyat akan
memiliki pembenaran sendiri-sendiri, karena tak ada lagi yang bisa diikuti.
Kiamat semakin dekat. Naudzubillah suma naudzubillah! Mugia gusti teras
ngabingbing abdi sadaya, Allahu Akbar!***
Cisewu,
14 Juli 2015
0 Comments